"Bicara di sini aja, Mas ... kita bukan muhrim, gak pantas kalau harus di kamar berduaan," ujar Qonita yang merasa enggan untuk menuruti ajakan David.
David terlihat tidak terima, karena Qonita sudah menolaknya. Dengan kasar ia pun menarik paksa tangan wanita itu, lalu menyeretnya masuk ke dalam kamar.
"Lepas, Mas! Kamu gak bisa memperlakukan aku seperti ini!" Dengan sekali hentakan Qonita pun melepaskan tangannya dari cekalan David.
Ia menatap nyalang pada lelaki yang sudah menjatuhkan talak padanya di malam pernikahan mereka satu bulan yang lalu itu.
"Kamu mau bicara apa, Mas? Kita bisa bicara di luar ... dan kamu gak seharusnya berlaku kasar padaku," ujar Qonita mengulang kalimatnya.
Bukan menjawab pertanyaan dari wanita yang ada di depannya, David justru menjatuhkan tubuh Qonita ke atas tempat tidur dengan kasar.
Dada lelaki berperawakan tinggi tersebut nampak naik turun dengan cepat. Tatapan matanya terlihat penuh dengan hasrat, seperti seekor hewan yang baru saja menemukan mangsa untuk dijadikan santapan lezatnya.
"Kamu mau apa, Mas?" Qonita terlihat panik saat David berjalan perlahan menghampirinya yang masih berada di atas ranjang.
Lelaki itu melepas kaos berwarna putih yang dikenakannya, lalu melemparnya ke sembarang arah.
"Aku masih suamimu ... dan aku masih berhak atas dirimu!" Tanpa ada rasa malu David mengatakan hal tersebut.
Pada saat itu juga Qonita pun langsung mengernyitkan dahi dan kemudian menggelengkan kepalanya.
"Kamu salah, Mas. Semenjak kamu menjatuhkan talak padaku ... pada saat itu juga aku sudah bukan lagi menjadi istrimu!"
Dengan bergegas Qonita pun bangun dan beranjak dari tempat tidur. Ia membenarkan hijabnya yang sedikit berantakan, lalu berjalan menuju pintu kamar.
"Mau kemana kamu?!" David langsung mencekal pergelangan tangan wanita itu dan menariknya kembali dengan kasar.
"Aww, sakit, Mas!" Dengan sekuat tenaga Qonita berusaha untuk melepaskan diri dari cekalan lelaki yang sudah menjatuhkannya talak tersebut.
"Bukankah kamu pintar dalam hal agama? Seharusnya kamu tau, kalau pengadilan belum memutuskan kita bercerai ... maka kamu itu masih menjadi istriku!"
Qonita tidak mengerti dengan apa yang ada dalam pikiran lelaki itu. Bisa-bisanya David berkata demikian, tanpa dirinya memahami semua yang sudah dikatakannya itu.
"Kamu salah, Mas! Apa Mas David gak tau, kalau seorang suami sudah menjatuhkan talak pada istrinya, maka pada saat itu juga wanita itu bukan istrinya lagi!"
David mencibir. Ia meremehkan penjelasan dari Qonita, karena baginya itu hanyalah alasan bagi Qonita menolak untuk melayaninya.
"Banyak alasan! Masih untung aku mau menikah sama kamu. Laki-laki mana yang akan mau pada perempuan yang sudah tidak suci lagi sepertimu?!"
"Cukup, Mas! Terserah, kamu menuduhku seperti apa."
Tanpa menghiraukan David yang terus saja mengoceh, Qonita dengan cepat membuka pintu kamar dan keluar untuk menghampiri kembali ayahnya.
"Pak, ayo kita pulang!" ajak Qonita dengan setengah berbisik pada ayahnya.
Melihat raut wajah Qonita yang seperti tidak baik-baik saja, Pak Lukman akhirnya menuruti ajakan putrinya itu.
"Urus saja semuanya sama kalian. Jangan melibatkan keluarga kami ... pengeluaran kami sudah cukup banyak untuk biaya nikah bulan kemarin," cetus kakaknya David yang masih terdengar judes.
Qonita dan Pak Lukman tidak mempedulikan perkataan kakak David itu. Ayah dan anak tersebut langsung menuju motor yang mereka pinjam dari tetangga, dan bergegas meninggalkan kediaman keluarga David.
Sesampainya di rumah mereka yang sederhana, Qonita dan Pak Lukman disambut oleh Bu Fatmah.
"Bagaimana, Nak?" Bu Fatmah sudah tidak sabar untuk mendengar apa saja yang akan diceritakan oleh putri dan juga suaminya.
Qonita hanya menyunggingkan senyuman tipis pada ibunya. Ia terus melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah dengan cat berwarna putih itu.
Pak Lukman dan Bu Fatmah pun mengekor dari belakang. Keduanya saling terdiam, hanyut dengan pikirannya masing-masing.
Melihat putri kesayangan mereka berdua terduduk di atas sofa usang dengan sorot mata yang terlihat sendu, Pak Lukman dan Bu Fatmah hanya dapat menghela napas panjang.
"Maafkan Nita Pak, Bu. Nita sudah bikin Ibu sama Bapak kecewa dan juga malu," lirih Qonita dengan penuh penyesalan.
Bu Fatmah mengusap punggung putrinya, lalu merengkuh kepala Qonita yang tertutup oleh hijab.
"Sudahlah, Nak. Semua sudah jadi takdir hidup kamu ... dan kamu harus menerimanya dengan ikhlas. Jadikan Allah tempatmu satu-satunya untuk mengadu," ujar Bu Fatmah sembari memeluk tubuh putri semata wayangnya tersebut.
"Jangan terlalu memikirkan omongan mereka yang tidak tau apa-apa. Pikirkan saja kebahagiaanmu sendiri," timpal Pak Lukman.
Mendengar wejangan dari orangtuanya, tanpa terasa buliran air mata pun meluncur bebas secara perlahan dari kelopak mata Qonita.
Ia merasa sangat beruntung, karena mempunyai orangtua yang begitu teramat sangat menyayangi dirinya. Meski dia tidak mendapatkan cinta yang tulus dari lelaki yang hanya beberapa jam daja menjadi suaminya, paling tidak Qonita masih mempunyai cinta yang tulus dari Bu Fatmah dan Pak Lukman sebagai orangtuanya.
****
Tidak ingin berlarut dalam sebuah kesedihan, Qonita pun berusaha untuk bangkit dan menjalani kehidupannya lagi.
"Janda bukan, gadis bukan. Makanya lain kali jangan terlalu murah jadi perempuan," cibir salah seorang tetangga dekat rumahnya.
Qonita hanya mampu mengelus dada dan menarik napas panjang saat mendengarnya. Meskipun dirinya tidak bersalah, tapi mereka yang merasa tidak suka padanya menjadikan fitnahan itu sebagai bahan untuk mengolok-olok wanita muda tersebut.
Dengan tekadnya yang bulat, Qonita mulai belajar untuk mendesain baju. Semua itu ia lakukan sebagai langkah untuk mengisi hari-harinya.
"Assalamu'alaikum!"
Terdengar suara seorang perempuan yang berasal dari depan rumah Qonita.
"Waalaikumsalam," jawab Qonita seraya melangkah ke arah pintu.
Saat daun pintu sudah terbuka, Qonita tersentak ketika melihat siapa yang datang hari itu.
"Qonita," panggil tamu tersebut.
"I-ibu?" Dengan ragu Qonita mengulurkan tangan dan mencium punggung tangan Bu Tuti, ibu dari David.
Tanpa menunggu dipersilakan oleh pemilik rumah, Bu Tuti langsung nyelonong masuk melewati tubuh Qonita yang mematung.
"Nita, kenapa kamu malah diam di sana? Ada Ibu Mertua datang bukannya ditawarin mau minum apa ... ini malah diam saja," ceroscos Bu Tuti dengan tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Mendengar mantan ibu mertuanya berkata seperti itu, Qonita pun bergegas menuju dapur untuk membuatkan es teh manis.
"Sabar, Qonita." Qonita bergumam pada dirinya sendiri.
"Ini Bu, tehnya, silakan diminum."
Mungkin karena sudah merasa kehausan, Bu Tuti pun langsung meneguk es teh buatan Qonita hingga tandas.
Melihat kelakuan Bu Tuti, Qonita hanya melongo.
"Nita. Ibu datang ke sini mau bicara sama kamu," ujar Bu Tuti mengawali pembicaraan.
"Iya, Bu. Apa yang mau Ibu bicarakan sama Nita?"
"David mau berangkat kerja ke luar kota ... tapi dia lagi gak punya duit buat bekalnya. Status kamu masih istrinya, jadi sebaiknya kamu bantu David. Kasih dia duit buat bekal selama di sana," cetus Bu Tuti yang seakan tidak tahu malu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments