Dan di sinilah akhirnya Alexa melewati ritual malam minggunya. Di sebuah penthouse di lantai tertinggi dari gedung apartemennya. Ya penthouse Devon Brahmana Putra!
Hah! Kok bisa seorang Alexandria berdua dengan laki-laki yang baru dia kenal dalam hitungan bulan bisa sedekat ini? Apakah Devon bisa meluluhkan hatinya?
Benar, akhirnya Alexa luluh setelah tuan muda itu berkeluh kesah tentang kesulitan hidup yang dialami karena kekangan dan penjara yang diciptakan ayahnya. Apa lagi sekarang di saat rumah besar kosong dan dia harus menghabiskan akhir pekan sendiri. Alexa jadi teringat Anthony adiknya yang juga sendiri di Jepang.
Semoga ketika adiknya merasa sepi akan ada juga orang lain yang menemaninya seperti yang dia lakukan pada Devon, doanya dalam hati.
Dari sejak secara kebetulan bertemu di fitness center yang kemudian dilanjutkan dengan minum jus di terrace café di sepanjang jalan taman di depan fitness itu sambil bercerita, akhirnya Devon dibolehkan mengikuti semua aktivitas Alexa. Mulai dari membereskan cuciannya yang menumpuk selama hari kerja di fasilitas laundry koin di basement 1, lalu berbelanja ke mini market sampai makan siang di salah satu café di gedung yang sama.
Saat makan siang Alexa sebenarnya mengusulkan agar mengundang tim analyst untuk bergabung menghabiskan malam minggu di penthouse Devon, namun karena dadakan mereka tidak bisa. Tentunya pada saat menelpon Alexa tidak mengatakan secara langsung bahwa acaranya akan diadakan di penthouse Devon.
Gadis yang memakai celana longgar ala jasmine yang dipadukan dengan sebuah kaos lengan panjang yang oversize berleher sabrina polos warna krem yang melapisi kemben ketat berwarna senada, terlihat sudah duduk nyaman di sebuah sofa panjang yang langsung berhadapan dengan TV layar datar lebar di dinding sambil memegang remote control.
Sementara Devon sedang menyiapkan beberapa makanan kecil serta minuman yang akan menemani mereka menonton serial TV kesukaan Alexa.
Biar saja tuan muda itu repot, toh diakan tuan rumahnya dan aku tamunya, dia juga yang memaksa, gumam Alexa yang tidak berniat membantu kerepotan Devon.
Alexa sebenarnya masih setengah hati untuk berada di penthouse itu. Home sweet home. Walau pun apartemennya cuma tipe studio tapi dia merasa nyaman bisa nonton dengan posisi sesuka hati, mau guling-gulingan atau jungkir balik juga tidak ada yang lihat kalau sekarang tentunya hal itu tidak bisa dia lakukan.
Bunyi getar telepon genggam dari arah meja kaca di depan sofa yang dia duduki mengalihkan pusat pandangan Alexa dari TV layar datar itu ke arah sumber bunyi tersebut. Di sana ada dua ponsel, ternyata yang bergetar adalah miliknya.
Segera Alexa meraih benda berwarna biru muda itu dan mendapatkan nama adik kesayangannya sedang memanggil.
Ah..kenapa dia lupa untuk menelpon adik semata wayangnya itu tadi siang. Senyum merekah di bibir Alexa yang hanya di olesi lipgloss berwarna pink.
“Nobita..ohayogozaimas!" ujar Alexa asal-asalan untuk menggoda adiknya itu.
Suara Alexa terdengar memenuhi ruangan itu, sambungan WA call dari Jepang itu membuat Alexa lupa bahwa dia sekarang berada di tempat orang lain.
“Apa sih Mbak, udah salah kenceng lagi ngomongnya," balas Anthony di seberang sana.
“Panjang umur ya kamu, baru juga dikangenin udah nelpon, pake alat dari kantong doraemon ya," ujar Alexa lagi masih dengan suara senang.
“Hmm, kalo kangen mbok ya adiknya yang ganteng ini ditelpon. Ini cuma ayah sama ibu aja yang dihubungi," balas Anthony pura-pura merajuk.
“Iya maaf, tadi siang pas nelpon ayah sama ibu, sebenarnya mau nelpon kamu sekalian biar video call group tapi sinyal di kebun ayah kayaknya lagi ga bagus, putus-putus.Tapi habis itu HP mbak lowbat, terus di-charge jadi lupa mau nelpon kamu," jelas Alexa agar adiknya tidak meneruskan niat merajuknya.
Sambungan telpon itu pun berlangsung hampir setengah jam. Selain canda mereka yang tidak ada habisnya, Anthony mengabarkan jika minggu depan dia diutus kampusnya untuk pertemuan tahunan mahasiswa penerima beasiswa di Singapura menggantikan seniornya yang tidak bisa hadir.
Dia menanyakan jika mungkin Alexa terbang ke negara Singa itu agar mereka bisa bertemu. Jakarta - Singapura lebih dekat dan murah dibandingkan jika Alexa harus ke Jepang.
Namun sayang jadwal Alexa sangat padat, tidak mungkin untuk mengambil cuti karena sedang ada beberapa proyek yang deadline serta dia masih harus mengurus tuan muda. Untung Alexa tidak keceplosan menyebut tentang pekerjaan tambahannya itu kepada Anthony.
Sementara Devon yang sedari tadi sudah selesai menata makan dan minuman di meja kaca sofa itu telah memosisikan tubuhnya berbaring terlentang di sofa panjang di sebelah sofa yang diduduki Alexa dengan kepala di atas bantalan kursi sambil memainkan ponselnya.
Dia mendengar hampir semua percakapan kedua kakak beradik itu dan bisa meyimpul apa saja yang mereka bicarakan dari kata-kata yang keluar dari bibir gadis itu.
Smartphone itu kemudian berpindah tempat ke sofa di dekat Alexa duduk. Alexa mengalihkan pandangannya ke arah Devon yang terlihat bangkit dari posisinya untuk duduk. Senyumnya kembali merekah terbayang jika Devon adalah sang adik yang baru saja menghubunginya. Tentunya itu membuat Devon heran.
Tumben nih senyum manis pake banget, gumam Devon.
Akhirnya tidak ada yang memperhatikan program acara di TV datar itu, terlihat mereka melanjutkan obrolan.
"Elo sakit Mbak? Kesambet?" tanya Devon
"Berasa dejavu aja, malam mingguan sama Anthony," balas Alexa.
"Kalian deket banget ya," tanya Devon menyelidik.
"Iya lah kan kakak adik. Di mana-mana juga gitu kali."
Pertanyaan Devon terasa aneh di kuping gadis itu.
"Ga semua. Gue sama Mas Adrian ga pernah cocok. Kalo ketemu pasti bertengkar. Cuma Mbak Natasya aja yang bisa diajak kompromi."
Tatapan Devon menerawang jauh.
"Oh ya, kalo mau putar serial TVnya tinggal cari di rekaman aja, tadi sudah di set programnya. Gue ke balkon dulu ya, asem nih."
Devon pun melangkah ke arah balkon meninggalkan Alexa yang kemudian kembali memusatkan perhatiannya ke serial TV yang telah direkam oleh Devon sambil menikmati kudapan dan minuman yang ada di meja.
Serial TV itu selesai namun Devon belum kembali dari balkon. Alexa pun memutuskan untuk menyusul laki-laki itu.
Balkon itu kelilingi kaca, menampilkan pemandangan malam kota Jakarta yang khas, kerlap kerlip lampu dari bangunan pencakar langit dan lampu kendaraan yang lalu lalang. Beda banget sama view apartemen tipe studionya. Di sana juga ada kursi santai dan meja kecil.
Terlihat laki-laki muda itu sedang menghembuskan asap rokok dari mulutnya dan kemudian meneguk minuman kaleng yang tergeletak di meja kecil itu.
Melihat kehadiran Alexa, Devon langsung mematikan rokoknya di asbak dan menjauhkan asbak dari Alexa, megibas-ngibaskan tangannya seolah-olah menyuruh asap rokok yang tersisa untuk pergi dari sana. Devon tahu jika Alexa tidak suka bau rokok.
“Pantes ya para owner ga pernah melepas penthouse untuk dijual," ujar Alexa yang kemudian duduk di kursi santai yang kosong.
“Mau beli berapa biji, Buk?" goda Devon tergelak.
“Sekilo dulu deh," jawab Alexa yang dibarengi tawa kedua insan itu.
Alexa melirik ke kaleng minuman di meja, kemudian mengambil dan membukanya.
“Eh, Mbak..itu…" Terkejut Devon coba menghentikan niat Alexa.
Gadis itu tetap menegak minuman itu. Ekspresi muka menahan pahit terlihat di wajahnya, tapi dia tidak berhenti. Sekali lagi dia meneguk minuman itu dan kemudian meletakan kembali di meja.
Devon memperhatikan dengan setengah takjub.
Ini Alexandria versi mana lagi nih, gumamnya.
“Tenang! Satu kaleng ga akan bikin mabuk kok," ujar Alexa santai menjawab raut muka keheranan di wajah Devon.
“Udah lama ga minum, terakhir sebelum Anthony ke Jepang. Ini ritual kami sesekali, tapi kalo minum hanya boleh di rumah ga boleh di tempat lain dan ga banyak-banyak," kenang Alexa.
“Enak banget punya kakak kayak elo, Mbak. Adik elo beruntung banget," ujar Devon takjub.
“Aku lakuin itu buat diri sendiri. Sebagai kakak, aku bertanggung jawab memberi contoh yang baik dan memastikan dia di jalan yang benar. Batasan dan kekangan pada jiwa muda bisa jadi boomerang. Jadi aku pilih untuk mengikuti dan mendampingi. Dia harus tahu dunia luar juga tapi dengan cara yang benar."
Ucapan Alexa seperti embun yang menetes di dada Devon yang sempat teringat kekesalannya dengan Adrian kakaknya.
Mereka pun berbincang sambil menikmati paduan bir dan kacang sambil menatap pemandangan malam yang semakin larut.
“Kalo boleh memilih, gue lebih baik dilahirkan di keluarga elo aja deh, Mbak. Pasti akan disupport jadi diri sendiri dan bisa bebas mau jadi apa," ucap Devon sambil mengunyah kacang yang sudah dia buka pelan-pelan.
"Hei, anak muda! Ga semua hal dalam hidup yang sudah kita rencanakan bahkan dicita-citakan bisa berjalan sesuai harapan. Tapi kita harus tahu kapan harus merubah rencana menyesuaikan dengan keadaan. Ada masa untuk memperjuangkan tapi tahu kapan batas waktunya. Nikmati aja, bahkan….,"
Belum sempat Alexa menyelesaikan kalimatnya, Devon sudah memotong.
"Bahkan selalu ada cara untuk membuat hidup berwarna dari sesuatu yang membosankan sekali pun!" potong Devon meniru ucapan dan gaya bicara Alexa waktu di awal pertemuan mereka.
“Apa sih copas – copas slogan orang”, ujar Alexa sambil melemparkan kulit kacang ke arah Devon yang membuat laki-laki muda itu tergelak dan membiarkan kulit kacang itu menyentuh dadanya.
“Kalo orang tua ngomong dengerin!" Alexa pura-pura ngomel.
“Jadi ga bosan nih ngurus bocah”, goda Devon.
“Demi trip ke Alexandria mana mungkin”,
Waduh keceplosan.
Wajah Alexa langsung pias. Raut wajah Devon langsung seperti keselek kacang mendengar jawaban spontan itu.
“Trip?Jalan-jalan?” tanya Devon kemudian.
“Iya.. ayah kasih nama aku sesuai nama kota di Mesir jadi pengen ke sana. Makanya kerja mesti rajin biar bisa ngumpulin duit," kilah Alexa walau pun tidak jujur seratus persen.
“I see, jadi gue juga harus ke kota Devon dong," balas Devon sambil tertawa.
“Oma kasih nama gue juga karna mau mengenang kota kelahirannya di Inggris," jelas Devon lagi.
Sejurus kemudian mereka berdua pun sibuk dengan lamunan masing-masing. Devon terkenang Charlotte istri kakeknya yang sangat dekatnya. Sementara Alexa merasa lega bisa membuat Devon tidak bertanya lebih jauh tentang bonus yang dijanjikan Theo itu.
Kedua muda-mudi beda usia itu pun terlihat sama-sama menguap terserang kantuk. Pantas saja karena jam di pergelangan tangan Devon sudah menunjukan pukul 3 dini hari. Devon meminta Alexa untuk tidur di kamarnya karena dia tau Alexa alergi debu sementara kamar lain di apartemennya jarang dibersihkan. Alexa menolak dan memilih untuk tidur di sofa di ruang TV.
Devon pun mengambilkan bed cover untuk selimut dan bantal untuk gadis itu. Tidak butuh waktu lama Alexa pun sudah tertidur pulas di sofa, sementara Devon masih berbaring terlentang di tempat tidur sambil menatap langit-langit kamarnya. Memori otaknya masih memutar rekaman kebersamaan dan perbincangannya dengan Alexa hari ini.
Devon melangkah keluar dari kamarnya menuju ruang TV, mata lelahnya menatap wajah polos gadis yang seumuran kakak perempuannya yang sudah tertidur pulas.
Ia meraih selimut Alexa, menarik kain putih itu perlahan sampai menutupi bahu Alexa yang terlihat terbuka. Alexa terlihat bergeming saat Devon melepaskan earphone yang masih terpasang di telinganya, namun lelaki bertubuh tegap itu tidak memindahkan ponsel yang masih digenggamnya.
Setelah itu Devon beranjak ke sofa tempat dia duduk sebelumnya. Dia pun membaringkan tubuhnya di sana dan perlahan mulai terlelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 158 Episodes
Comments
Etik Widarwati Dtt Wtda
wahhhhh ngenip ini alexa
2024-06-06
0
fifid dwi ariani
trus bahagia
2022-10-18
0
anotherbyl
Terjabarkan dengan rapi🤩
2021-11-04
3