Lima puluh menit telah berlalu. Kami masih dalam perjalanan. Entah kemana Cecunguk ini akan membawaku. Aku tak mengenal jalanan yang kami lewati kali ini. Yang kutahu jalanan itu tidak beraspal. Tanahnya pun tidak rata. Banyak gundukan serta kubangan di sana sini. Disisi kanan kiri jalan itu banyak di tumbuhi pohon mahoni berukuran besar dengan dedaunan yang rimbun. Semakin jauh kami melintas, jalanan itu semakin sepi. Penerangannya pun semakin minim. Tak ada lagi gedung maupun pertokoan di sepanjang jalan itu. Hanya ada beberapa rumah warga. Itu pun setiap rumah jaraknya lebih dari sepuluh meter.
"Sebenarnya kita mau kemana, Al?" tanyaku penasaran. Mengapa sudah sejauh ini tapi belum sampai juga.
"Kau akan tahu setelah sampai nanti."
"Apa masih jauh?"
"Tidak. Sebentar lagi sampai."
Alan membelokan setir. Melewati jalanan setapak yang di tumbuhi rerumputan liar. Jalanan itu sangat gelap. Tak ada penerangan sama sekali. Alan hanya mengandalkan sorot lampu dari motornya. Kedua sisi jalan itu merupakan perkebunan tebu yang menjulang tinggi.
"Kenapa jalanannya seperti ini, Al? Sepi dan gelap sekali." Aku mencengkram tubuh Alan, memeluknya semakin erat. Ketika angin kencang menerpa tubuhku.
"Kau takut?" tanya Alan. Menoleh ke arahku, sebentar.
Aku mengangguk. Jalanan kali ini menurutku cukup menakutkan. Bukan hanya gelap dan sepi. Suara-suara binatang yang entah burung atau apapun itu terdengar menyeramkan di telingaku. "Bagaimana kalau ada begal?"
Alan terkekeh. "Kenapa kau malah tertawa? Memangnya aku sedang melucu," kataku sebal.
"Kalau kita di begal aku tinggal menyerahkanmu," ucap Alan.
"Ya! kau pikir aku barang yang bisa kau serahkan begitu saja," bentakku, kesal. Aku menabok pundaknya dengan tas cukup keras. Membuat Alan mengaduh kesakitan.
"Ampun, Lea. Sakit. Aku hanya bercanda," ucapnya.
"Candaanmu tidak lucu."
"Ya sudah, maaf." Aku tak menjawab, masih kesal.
"Kau tidak perlu khawatir. Aku jago bela diri," imbuhnya.
Beberapa saat kemudian kami kembali melintasi jalanan beraspal. Jalanan pun kembali terang. Aku menghela nafas lega. Akhirnya lepas juga dari jalanan yang menyeramkan tadi.
"Apa itu, Al?" tanyaku. Menunjuk sebuah tempat yang begitu luar biasa memanjakan mata. Warna warni lampu LED berpendar menghiasi pepohonan besar.
Mataku tak berpaling, terus saja memandangi tempat itu tanpa berkedip. Hingga tak sadar, tahu-tahu Alan sudah menghentikan motornya.
"Ayo turun," perintahnya.
Aku menurut. Turun dari motor tanpa mengalihkan pandangan dari tempat itu. Begitu takjub dengan apa yang kulihat ini. Begitu banyak pepohonan dengan berbagai ukuran. Ada yang kecil, ada juga yang sangat besar. Seperti yang ada di hadapan kami. Kutebak pohon ini adalah pohon beringin. Biasanya pohon seperti ini tampak menyeramkan. Tapi di tempat ini justru sangat indah. Akar-akarnya yang menggantung di lilit lampu led berwarna kuning. Membuatnya tampak sangat indah. Setiap pohon di situ di hias lampu dengan warna yang berbeda. Ada yang berwarna ungu, merah serta biru elektrik. Aku baru mengalihkan pandangan saat Alan melepas helm di kepalaku.
"Tempat apa ini, Al?" tanyaku, lagi. Kali ini aku menatapnya. Laki-laki itu tersenyum. Mengulurkan tangan, merapikan rambutku dan menyelipkannya ke belakang telinga.
Aku menggeliat. Merasa geli saat jemarinya menyentuh telingaku. Alan kembali menjatuhkan tangannya. Membalikan badan untuk melihat pemandangan di belakangnya. "Namanya taman hutan," ucapnya.
"Ini beneran hutan, Al?" tanyaku. Masih tak percaya dengan yang kulihat. Ini lebih terlihat seperti taman di banding hutan.
"Ini memang hutan. Coba kau lihat pohon-pohon besar itu." Aku mengedarkan pandangan, mengikuti arah yang di tunjuk Alan.
"Pohon eboni, sonokeling dan juga pohon damar berukuran sebesar dan setinggi itu hanya tumbuh di hutan," jelas Alan.
"Tapi ini lebih terlihat seperti taman Al." Aku kembali menatap sekeliling. Melihat kursi panjang yang tersebar di beberapa sudut. Ada yang di bawah pohon sonokeling. Ada juga yang berhadapan dengan hamparan bunga-bunga. Bahkan di tempat ini juga di sediakan ayunan yang di bingkai bunga rambat.
"Tempat ini memang sengaja di desain seperti taman. Supaya menarik pengunjung."
"Pemilik tempat ini pasti jenius. Ini ide yang sangat luar biasa. Dia sangat berhasil," kataku. Kembali menatap sekeliling. Memperhatikan beberapa pengunjung yang tampak sangat menikmati tempat ini.
"Terima kasih," ucap Alan.
Aku menoleh, menatapnya. "Aku memuji pemilik tempat ini, Al. Bukan dirimu."
"Oh. Kukira kau memujiku jenius karena mengajakmu ke tempat seperti ini," ucapnya, tersenyum.
Aku ikut tersenyum, melihat kepercayaan dirinya yang patut di apresiasi. Dimana pun dan kapan pun laki-laki ini memang selalu percaya diri.
Kami kini berjalan menelusuri jalan setapak. Semakin masuk ke dalam hutan.
"Mengapa kau mengajakku kemari, Al? Bukankah kau ingin di traktir makan?"
"Aku ingin makan di sini. Kudengar makanan disini enak-enak."
Langkahku terhenti, terkejut dengan penuturannya. Aku memutar tubuh, menghadap Alan. "Disini juga ada yang jual makanan, Al?"
Alan mengangguk. "Ada live musiknya juga," ucapnya.
Lagi-lagi aku di buat takjub dengan apa yang di suguhkan di tempat ini. Bukan hanya pemandangan yang indah. Tapi ada wisata kuliner dan hiburannya juga. Pantas saja pengunjung di sini sangat ramai.
Kami kembali melangkah. Berbelok ke kiri menuju tempat khusus yang menjadi wisata kuliner. Beberapa stand makanan ada di sana. Mulai dari sate, ayam bakar, seafod dan juga jajanan lainnya. Ditempat itu juga di sediakan banyak meja dan kursi. Sehingga pengunjung bisa makan dengan nyaman.
"Apa yang tidak ada di sini, Al? makanan ada, hiburan juga ada. Jangan-jangan di sini ada hotelnya juga," kataku, sembarangan. Aku menunduk, memperhatikan bebatuan kecil tersusun rapi yang mengapit jalan setapak itu.
Alan tertawa. "Kalau hotel tidak ada. Tapi kalau mau menginap bisa tidur di tenda-tenta itu."
Aku mengangkat wajah. Menatap apa yang di tunjuk Alan. Kembali tercengang saat melihat deretan tenda yang berdiri kokoh di ujung sana. Membuatku tak bisa berkata-kata lagi.
"Kenapa kau terus-terusan terkejut seperti itu? Apa kau belum pernah lihat tempat seperti ini sebelumnya?" tanya Alan. Memandangku sekilas.
"Sebelumnya aku memang tidak pernah mengunjungi tempat seperti ini," kataku, mengakui.
"Oh ya?" ucap Alan tampak terkejut.
Aku mengangguk. "Ini pertama kalinya aku datang ke tempat seperti ini."
"Lalu apa yang kau lakukan dengan pacarmu selama ini? Apa kalian hanya menghabiskan waktu di dalam kamar?" ucap Alan dengan tawa mengejek.
"Hei ... kami tidak seburuk yang kau kira," kataku, membela diri.
"Kalau begitu apa yang sering kalian lakukan?"
"Belanja, makan atau nonton film. Itu yang biasa kami lakukan," jawabku.
"Itu saja?"
Aku mengangguk, mengiyakan.
"Kurasa ada yang ketinggalan," ucap Alan.
Aku menatapnya. "Apa?"
"Tidur bersama. Kau lupa menyebutkan yang satu itu," tuturnya.
"Tidur bersama seperti apa yang kau maksud?"
"Berhentilah pura-pura tidak mengerti. Kau pasti sudah tahu apa yang kumaksud," ucap Alan, menyeringai.
Aku terkekeh. Mulai mengerti apa yang ia maksud. "Sudah kukatakan, kami tak seburuk itu, Al. Sampai sekarang aku bahkan masih virgin."
"Aku tidak percaya."
"Percaya atau tidak itu urusanmu, Al. Aku juga tidak memaksa agar kau percaya padaku."
"Kau mau makan apa, Al?" tanyaku. Ketika kami sudah berada di stand yang menjual makanan. Aku dan Alan duduk saling berhadapan. Menatap buku menu di tangan masing-masing.
"Kau saja yang pilih," ucap Alan. Meletakan kembali buku menu yang ia pegang ke meja.
"Kan aku yang traktir. Jadi kau yang harus pilih, Al."
"Aku bisa makan apa saja," ucapnya. Ia menyandarkan tubuhnya di kursi. Kedua tangannya terlipat di dada. Matanya tampak menyapu sekeliling.
Mau tak mau aku yang memilih menu. "Kalau sate bagaimana, kau mau tidak?" kataku. Menyebut satu menu yang pertama kali kulihat.
"Boleh," sahutnya dengan wajah datar.
"Mau yang ayam atau kambing?" tanyaku, lagi.
Alan kembali menatapku. "Terserah, yang mana saja. Asal kau suka," ucapnya. Ia bangkit dari duduknya.
Aku menatapnya. "Kau mau kemana?" tanyaku saat ia hendak pergi.
"Mau ke toilet. Kau pesan saja makanannya. Aku akan kembali," ucapnya. Ia melangkah pergi.
"Jangan lama-lama," kataku. Tak ingin berlama-lama seorang diri.
Alan tak menjawab. Ia hanya mengacungkan jari, membentuk tanda ok.
Aku memutuskan memesan makanan. Setelah itu menunggu sambil bermain hp. Aku menoleh, saat seseorang menyebut namaku. Terkejut saat melihat Alan berada di atas panggung. Cecunguk itu duduk di kursi dengan sebuah gitar di pangkuannya. Apa yang ia lakukan di sana? Apa mau nyanyi, batinku bertanya-tanya.
"Lagu ini khusus untuk wanita cantik di sana, yang sedang menatap ke arahku," ucap Alan dengan pengeras suara. Ia menunjuk ke arahku. Membuat beberapa orang di depannya ikut menoleh, menatapku. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan, malu.
"Untuk wanitaku di sana, tolong singkirkan tanganmu. Karena aku tak bisa menatap wajah cantikmu," ucap Alan, lagi.
Orang-orang kembali menoleh, menatapku. Beberapa orang bersorak dan juga terdengar siulan dari sana. Membuatku semakin malu. "Apaan sih Alan," gumamku seraya memalingkan wajah. Meskipun aku tahu itu hanya gombalan, tapi entah mengapa aku tetap senang mendengarnya.
Saat sudah tenang, aku kembali menatap Alan. Ia mulai memetik gitarnya. Menyanyikan sebuah lagu yang di populerkan oleh andmesh kamaleng berjudul cinta luar biasa. Aku tercengang, mendengar suara Alan yang ternyata sangat merdu. Beberapa orang tampak ikut bernyanyi bersamanya. Aku terus menatapnya. Tak ingin berpaling sedetik pun darinya. Saat bernyanyi Alan beberapa kali melayangkan senyum, membuatnya semakin mempesona. Namun seketika senyum itu lenyap. Kala mata kami bertemu. Wajahnya berubah serius. Kami bersitatap cukup lama.
Ada apa denganmu, Al? Mengapa kau menatapku sedalam itu?
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments