"Mengalah, lah untuk adikmu, Lea. Hitung-hitung belajar hidup mandiri," ucap ibu padaku.
Alia lagi--Alia lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati, jampi-jampi apa yang digunakan adik sialan itu untuk menguasai kedua orang tuaku. Bak kerbau dicucuk hidungnya. Kedua orang tuaku selalu tak berkutik, seolah tak ada pilihan lain selain menuruti keinginan putri bungsu kesayangannya itu. Tanpa mempertimbangkan opini dan perasaanku. Seperti sekarang. Demi menuruti keinginan Alia, ibu memaksaku agar sementara tinggal di tempat lain, selama Alia dan Kevin tinggal dirumah ini.
"Kenapa aku yang harus selalu mengalah, Bu?" kataku keberatan.
"Kau kan Kakaknya. Kau yang lebih dewasa, Lea," sahut Ibu.
Aku memutar bola mata. Tak habis pikir dengan apa yang baru saja diucapkan oleh ibu. Memangnya Alia itu masih kanak-kanak? jeritku dalam hati.
"Alia sudah menikah, Bu. Dia sudah besar," kataku, mengingatkan.
"Kenapa bukan dia dan suaminya saja yang keluar dari rumah ini."
"Adikmu sedang mengandung, Lea. Siapa yang akan menjaganya jika suaminya sedang tidak ada di rumah. Kau kan tahu, Kevin sibuk bekerja. Terkadang juga harus pergi keluar kota."
Makanya jangan manjakan dia, Bu. Anak sebesar itu tapi tak bisa menjaga dirinya sendiri. Kenapa dia tak kembali menjadi bayi saja. Makiku dalam hati.
Aku bergegas masuk ke kamar. Meninggalkan ibuku dengan perasaan kesal. Percuma saja berdebat panjang lebar dengan ibu ataupun ayah. Keduanya sama saja. Yang mereka pikirkan hanya Alia Alia dan Alia saja.
Dengan cepat aku mengepak beberapa pakaian yang kubutuhkan. Kemudian memasukannya kedalam koper bersama dengan barang-barang lainya kedalam koper. Setelah selesai kutarik koper itu dan bergegas keluar.
"Kau pergi sekarang, Nak?" tanya ibu saat aku keluar kamar.
"Bukankah ibu memintaku lekas pindah?" tanyaku tak perlu jawaban.
"Tapi tidak harus sekarang juga, Lea. Kenapa buru-buru sekali. Memangnya sudah dapat kontrakannya?"
"Aku akan mencarinya. Kalau sampai malam belum dapat juga. Lea bisa menginap di hotel untuk sementara."
"Tunggu sampai ayahmu pulang dulu, Nak. Ayahmu yang akan mengantar sekaligus membantu mencarikan tempat tinggal untukmu."
"Tidak perlu, Bu. Aku bisa mencarinya sendiri. Aku bukan anak kecil yang apa-apa harus minta ke orang tua." Sengaja kutambahkan penekanan saat mengucapkan kalimat terakhir. Dengan maksud menyindir Alia.
"Biarkan saja dia pergi sendiri, Bu. Lebih cepat lebih baik," Alia menimpali.
Ingin rasanya kuremas bibir kecilnya itu. Andai saja dia bukan adik kandungku. Atau jika saja ayah dan ibu tidak ada, sudah kujambak gadis sialan itu.
"Kau mau kemana, Ly?" tanya Kevin saat kami berpapasan dihalaman rumah.
"Mau kabur?" tambahnya saat ia melihat koper yang kubawa.
"Alia tidak mau satu atap denganku."
"Kenapa?"
"Tanyakan saja pada istrimu."
"Ayo kita bicarakan lagi di dalam," ucap Kevin sambil menarik koperku.
Aku menahannya. "Tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Ibu yang memintaku pergi dari rumah," kataku, sedih. Ya, permintaan Alia kali ini membuatku merasa seperti di usir oleh keluargaku sendiri. Aku merasa terbuang, tak berharga. Seolah tak ada yang menginginkanku.
Kevin berbalik, menatapku sendu. "Biar aku yang bicara pada Alia dan Ibu," ucapnya. Ia meraih tanganku, hendak membawaku kembali masuk ke dalam rumah.
Aku menepisnya. "Biarkan aku pergi, Mas. Aku muak terus berada di sini. Batinku tersiksa setiap kali melihatmu dan Alia. Di tambah lagi perlakuan ayah dan ibu yang tak adil terhadapku. Aku lelah berpura-pura bahagia dan bersikap seolah aku baik-baik saja."
"Maafkan aku, Ly. Aku tidak tahu kalau kehadiranku justru menyiksamu," Kevin mengulurkan tangan, mengusap lembut kepalaku. "Bersabarlah, tunggu sebentar lagi. Aku berjanji akan membahagiakanmu."
Aku tidak mengerti maksud dari perkataan Kevin. Enggan bertanya juga maksud dari ucapannya itu.
"Kau mau tinggal dimana, Ly?"
"Dimana saja. Di tempat terpencil sekalipun tidak apa-apa. Asal aku bisa diterima dan dianggap oleh orang lain."
"Masuklah ke mobil--aku akan mengantarmu."
"Tidak usah, Mas. Aku naik taksi saja."
"Masuk!" titah Kevin yang segera kuturuti.
Aku duduk di jok depan. Bersebelahan dengan Kevin yang sudah bersiap didepan stir. Ia menyalakan mesin, memutar balik kendaraannya dan melesat pergi meninggalkan halaman rumah kedua orang tuaku.
"Kita mau kemana?" tanyaku ditengah perjalanan.
"Apartemen," jawab Kevin singkat.
Meskipun Kevin hanya mengatakan apartemen, tanpa menyebutkan nama. Tapi aku sudah bisa menduga apartemen mana yang akan kami tuju. Sudah pasti apartemen Linggarjati. Sebuah tempat yang menyimpan semua kenangan indah yang pernah kami lalui bersama selama hampir lima tahun. Dan tempat itu pula yang menjadi saksi bisu perbuatan terlarang yang dilakukan oleh Kevin dan Alia. "Aku tak mau tinggal di sana."
"Hanya sementara. Jika sudah menemukan tempat tinggal yang cocok dan aman, kau boleh pergi. Aku tahu kau bahkan belum tahu akan tinggal dimana malam ini, Ly."
"Aku bisa bermalam di hotel."
Kevin tak menjawab. Ia kembali menancap pedal gas. Membuat laju kendaraan yang kami tumpangi menjadi lebih cepat.
"Awas!" Jeritku saat sebuah mobil dihadapan kami tiba-tiba berhenti.
Mobil yang kami tumpangi berdecit, akibat mengerem terlalu cepat. Kevin membanting stir ke kanan menghindari mobil di depannya. Mobil pun berhenti, setelah menabrak pembatas jalan. Kami berdua sama-sama terpental kedepan. Beruntung saat itu kami sama-sama mengenakan sabuk pengaman. Jika tidak mungkin kami berdua berakhir di rumah sakit.
"Sialan!" umpat Kevin kesal. Ia menoleh padaku. Mencondongkan tubuhnya untuk mengecek keadaanku.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan wajah panik.
"Aku baik-baik saja."
"Syukurlah," ucapnya, lega.
"Bagaimana denganmu? Apa ada yang luka?" tanyaku sedikit cemas. Sebab sekilas aku sempat melihatnya meringis seperti menahan sakit
"Tidak. Aku baik-baik saja," sahutnya.
"Tunggu disini sebentar." Kevin melepas sabuk pengamannya. Kemudian membuka pinta dan melenggang keluar.
Aku memperhatikannya dari dalam mobil. Kulihat ia menghampiri pengendara mobil yang berhenti mendadak itu. Kevin tampak mengucapkan beberapa kalimat yang tak bisa kutangkap dengan jelas. Namun bisa kupastikan ia sedang memaki sang supir yang mengendarai mobil suv itu. Kevin sempat menunjuk ke arahku. Kemudian beralih ke tubuh pria berambut cepak itu. Pria itu mengatupkan kedua telapak tangan, meminta maaf.
Tak lama kemudian Kevin kembali. Ia lekas masuk ke dalam mobil. Wajahnya masih terlihat marah. Membuatku takut untuk bertanya.
Kevin kembali melajukan mobilnya. Menyalip mobil di depan tadi yang rupanya berhenti karena mogok. Kali ini Kevin melajukan mobilnya pelan, sesuai dengan permintaanku.
.
.
.
.
Jangan lupa tap ❤ agar tau update terbaru.
Likenya juga biar makin semangat lanjutin ceritanya. Terima kasih 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments