Aroma ikan bakar dan juga beberapa menu lainnya menyeruak, menusuk hidung siapa saja yang berada di sekitarnya. Angin sepoi-sepoi menerjang tubuhku yang hanya berbalut kaos tipis. Membuatku beberapa kali menggelinjing kedinginan.
Kevin menanggalkan jaketnya, lalu memberikannya padaku. "Pakai ini," ucapnya.
Aku langsung memakainya. Hangat sekaligus wangi. Aku mengendusnya beberapa kali, menghirup aroma parfum yang sudah bercampur dengan bau tubuhnya.
"Mas Kevin pakai parfum apa? Wanginya enak sekali."
"Kau suka?"
Aku mengangguk. "Suka sekali."
"Kalau begitu besok aku belikan untukmu."
"Tidak usah, Mas. Aku tidak membutuhkannya. Lagipula ini kan wangi parfum laki-laki."
"Memangnya kenapa kalau parfum laki-laki? Tidak ada larangan juga kan kalau perempuan pakai parfum laki-laki."
"Iya, sih."
"Permisi Kak--ini makanannya," ucap pelayan warung yang kami sambangi. Aku memundurkan tubuhku sedikit. Memberikan ruang untuk pelayan agar lebih mudah menyajikan pesanan kami. Pelayan yang pertama membawa sepiring nasi serta dua piring lain berisi cumi dan ikan bakar lengkap dengan sambal serta lalapannya. Setelah itu di susul oleh temannya yang membawa sepiring cah kangkung serta dua gelas es jeruk.
"Terima kasih," kataku setelah pelayan warung itu selesai membawakan pesanan kami. Namun tak berselang lama pelayan itu kembali datang dan meletakan seporsi udang saus padang dan juga ayam bakar.
Aku mendongak, menatap pelayan itu. "Loh--saya nggak pesan ini, Mas," protesku menunjuk hidangan yang baru tiba.
"Masnya yang pesan, Kak," ucapnya seraya menunjuk Kevin dengan sopan.
Aku beralih menatap Kevin yang tersenyum padaku. "Kau suka udang dan juga ayam bakar, kan? makanlah," ucapnya.
"Terima kasih atas pengertianmu, Sayang. Mas Kevin selalu tau apa yang aku suka. Tapi bukankah kali ini makanannya terlalu banyak?"
"Kau tidak harus menghabiskannya, Ly."
Iya aku tahu. Tapi ini namanya pemborosan.
"Dimana sendoknya?" tanya Kevin.
"Di sini tidak menyediakan sendok, Sayang. Lagipula lebih enak makan pakai tangan langsung."
"Tapi tanganku kotor. Harus cuci tangan dulu," ucap Kevin sambil celingak-celinguk ke kanan dan kiri.
"Mas Kevin cari apa?"
"Tempat cuci tangan. Apa tidak di sediakan juga?"
"Ada, kok."
"Dimana?"
"Disini," kataku. Menunjuk mangkok kecil berisi air serta potongan jeruk nipis di hadapan Kevin.
Kevin mengernyitkan dahi. Dari reaksinya bisa kupastikan ini pertama kalinya melihat dan baru tahu fungsi dari mangkok kecil berisi air ini. "Apa tidak ada yang lebih besar lagi? untuk satu tanganku saja sepertinya tidak muat," ucapnya.
Aku terkekeh. Menatap telapak tangan Kevin yang memang besar jika di bandingkan dengan tanganku. Seimbang dengan tubuhnya yang tinggi dan juga besar. Akan tetapi tidak gemuk.
"Jangan di masukin semua. Mas Kevin bisa mencuci tangan seperti ini." Aku mencelupkan tangan kanan ke mangkok kecil itu. Sedikit meremas jari-jariku, lalu memercikan air yang tersisa.
Kevin mengikuti semua yang kuperagakan dengan gerakan yang sedikit kaku. Setelah itu mulai menikmati makanannya.
Baru beberapa kali suapan, kami berdua di kejutkan dengan suara keributan yang terjadi di seberang jalan. Aku menoleh, mengamati apa yang terjadi di depan sebuah toko elektronik kecil yang sudah tutup. Di sana tampak seorang pria bertubuh kurus jatuh tersungkur di hadapan empat orang laki-laki yang berpenampilan seperti preman. Aku memejamkan mata, kala salah satu dari preman tersebut melayangkan tinjunya ke wajah pria kurus tersebut.
Aku lekas berpaling, kembali fokus pada makananku. Namun telingaku tetap bisa menangkap apa yang terjadi di seberang sana. Kudengar pria kurus tersebut mengaduh kesakitan dan memohon maaf berulang kali. Akan tetapi sepertinya para preman itu tak kenal ampun. Mereka tetap memukul, bahkan menendang pria kurus itu hingga membentur rolling door di tempat tersebut.
Seketika selera makanku lenyap. Jantungku dag dig dug tak karuan. Ada rasa takut sekaligus tak tega melihat dan mendengar kekerasan yang terjadi tepat di depan mataku. Aku kembali menoleh ke seberang jalan. Pria kurus itu tampak sudah tak berdaya. Sudut bibir serta hidungnya tampak mengucurkan darah. Membuatku ikut meringis seolah merasakan kesakitannya.
"Jangan dilihat," ucap Kevin. Aku lekas memalingkan wajah, beralih menatap Kevin yang terlihat santai dan tetap menikmati makananya. Seolah tak terjadi apapun.
"Bukankah kita harus menolongnya? Kenapa orang-orang hanya melihat?" ucapku pada Kevin. Setelah beberapa kali memergoki orang lain juga menoleh dan menyaksikan aksi pengeroyokan tersebut. Namun reaksi orang-orang tersebut sama seperti dirinya dan Kevin. Hanya melihat, tak berbuat apapun bahkan ada yang terkesan acuh. Aku mulai mempertanyakan hati nurani setiap orang. Termasuk Kevin, kekasihku. Mungkinkah dunia kini sudah berada di akhir zaman? Hingga rasa tolong menolong kini sudah punah. Orang-orang seakan tak peduli dengan keadaan sekitar mereka.
"Itu bukan urusan kita, Ly. Jangan ikut campur atas masalah orang lain."
"Bagaimana jika orang itu mati?"
"Jika itu terjadi akan ada yang mengurusnya, Ly. Kita tak perlu terlibat."
Aku menatapnya tak setuju. "Jika sesuatu yang buruk menimpaku atau keluarga Mas Kevin, apa Mas Kevin juga akan diam saja?"
Kevin menoleh, menatapku. "Apa maksudmu?" tanyanya.
"Jika aku di perlakukan buruk seperti pria kurus itu, apa Mas Kevin juga akan diam saja?"
"Jika itu terjadi padamu, akan kupastikan pelakunya mendapatkan ganjaran setimpal, Ly. Jangankan membuatmu babak belur, kulitmu memar sedikit saja akan kupatahkan tangan ataupun kaki yang menyakitimu itu," ucap Kevin serius.
"Tapi itu kan urusanku, bukan urusan Mas Kevin. Bukankah Mas Kevin tak ingin ikut campur masalah orang lain?"
Kevin meletakan makanannya. Ia beralih memandangku dengan tatapan tajam, membuatku menciut. Rahangnya tampak mengeras, menandakan pria itu marah. "Apa aku orang lain bagimu?"
"Bahkan hidup dan matiku saja akan kuserahkan padamu, Ly. Jika itu memang harus kulakukan untukmu. Lalu Bagaimana Mungkin aku diam saja jika orang lain menyakitimu. Menyakitimu sama saja dengan menyakitiku, Ly."
Aku membeku. Menatap Kevin dengan perasaan haru. Sebesar itukah cinta Kevin padaku? ia bahkan rela memberikan hidup dan matinya hanya untukku. Tanpa Sadar air mataku luruh. Bukan karna sedih melainkan karena aku sangat bahagia hingga membuatku ingin menangis. Aku segera berpaling sambil menyeka air mataku sebelum Kevin menyadarinya.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments