Jantungku berdegup kencang. Seiring dengan langkahku yang semakin cepat. Saat di pertigaan, aku berbelok ke kiri melintasi jalan setapak yang lebih sempit dari sebelumnya.
Sesekali aku menoleh kebelakang, mengecek berandal yang membuntutiku itu. Semakin dekat. Aku memutuskan untuk berlari. Namun terlambat, pria itu lebih dulu berhasil menyusulku. Ia menepuk pundaku dengan mantap.
Aku mundur selangkah, memejamkan mata dan menutupi sebagian wajahku dengan tas yang kubawa. "Tolong jangan sakiti aku," pintaku memohon. "Ini--ambil saja tasku. Semuanya ada di dalam. Uang beserta ponsel milikku. Ambil saja semuanya asal jangan menyentuhku," kataku dengan ketakutan luar biasa.
Aku tersentak, saat Cecunguk itu menepis tanganku dengan kasar.
"Kau pikir aku perampok?" ucapnya.
Aku membuka mata, sedikit mendongak untuk menatapnya yang beberapa senti lebih tinggi dariku. Tampan. Itulah kata pertama yang terlintas di kepalaku saat pertama kali menatap wajahnya dengan jarak sedekat ini. Hidung mancung bak perosotan di taman kanak-kanak. Bibir kecilnya sangat cocok dengan bentuk wajahnya yang kecil. Alisnya terlihat tegas walaupun saat itu tertutup poni. Sorot matanya tajam, karna ia memiliki bentuk mata monolid. (Monolid adalah bentuk mata yang tidak memiliki garis lipatan secara natural pada kelopak)
Fokus Alea, fokus! Batinku. Saat aku terlena oleh ketampanan Cecunguk itu.
"Jadi kau bukan ....?" Sengaja tak kulanjutkan kalimatku. Aku takut pria di depanku itu marah lagi jika aku menyebutkan kata rampok padanya.
"Tentu saja bukan," sahutnya.
"Masa ganteng-ganteng begini ngerampok," imbuhnya menyombongkan diri.
Idih, narsis, ejekku dalam hati. "Lalu kenapa kau mengikutiku?"
"Memangnya siapa yang mengikutimu? Aku sama sekali tidak mengikutimu," bantahnya.
"Jika kau tidak membuntutiku, kenapa kau ikut lari saat aku juga berlari?" cecarku.
"Apa aku tak boleh lari?" tanyanya kesal. "Kau ini lucu sekali," imbuhnya dengan tawa mengejek. Membuatku kesal.
"Tapi kau menakutiku."
"Kenapa kau takut padaku? Memangnya aku ini setan!" balasnya tak mau kalah.
"Ya sudah. Sana pergi--jangan mengikutiku lagi," kataku.
"Siapa juga yang mau mengikutimu, GR sekali."
Setelah selesai berdebat. Aku kembali melangkah dengan cepat, menuju kost. Namun, bisa kurasakan kalau pria itu masih mengikutiku. Aku kembali menghentikan langkah dan berbalik menatap pria itu lagi. "Katanya kau tidak mengikutiku, tapi kenapa masih saja berjalan di belakangku?" tanyaku kesal.
"Sudah kubilang aku tidak mengikutimu."
"Tidak usah mengelak. Jelas-jelas kau sedang membuntutiku," tuduhku.
"Harus berapa kali kukatakan padamu? Aku tidak mengikutimu."
"Kalau begitu, kenapa masih di sini? Lewat jalan lain saja--jangan berjalan di belakangku."
Pria itu tak menjawab. Ia berjalan mendekatiku dengan tatapan tajam. "Stop! Jangan mendekat," titahku padanya.
Lagi-lagi Cecunguk itu tak menggubris ucapanku. Ia terus berjalan mendekat, mengikis jarak diantara kami. Aku berjalan mundur, menghindari pria itu yang kini hanya berjarak kurang dari dua meter di depanku. Aku terus melangkah mundur, seiring dengan langkahnya yang kian mendekat. Hingga akhirnya langkahku terhenti saat punggungku membentur dinding belakang sebuah rumah yang menjadi pembatas gang tersebut.
Cecunguk itu meletakan kedua telapak tangannya ke dinding, mengunci tubuhku.
"Jangan macam-macam denganku!" kataku sok berani. Padahal jantung sudah dag dig dug tak karuan.
Cecunguk itu membungkukan badannya sedikit. Mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi badanku. Lalu mendekatkan wajahnya dengan wajahku. Sangat dekat. Hingga bisa kurasakan hembusan nafasnya yang menerpa kulit wajahku.
"Memangnya apa yang akan kau lakukan, jika aku macam-macam denganmu?" tanyanya dengan senyum aneh.
"Aku akan membunuhmu," ancamku.
"Uuu takut," sahutnya dengan nada mengejek.
"Sebelum kau membunuhku--aku yang akan membunuhmu lebih dulu," ucapnya dengan wajah serius.
Aku menelan ludah. Wajahku mungkin sudah pucat pasi. Seiring dengan kakiku yang mulai gemetar. Aku memejamkan mata, takut luar biasa. Ayah ... Kevin ... Atau siapapun--Kumohon tolong aku.
Tak lama kemudian aku kembali membuka mata. Kala mendengar Cecunguk itu tertawa terbahak-bahak.
"Kau takut, ya? Padahal aku bercanda," ucapnya masih dengan tawa kecil.
Aku tak menjawab. Air mataku yang sejak tadi sudah menggenang karna takut akhirnya tumpah juga.
"Hei ... Kau menangis?" tanyanya saat melihat air mataku luruh.
Bukannya menjawab aku justru semakin terisak. Rasanya semuanya bercampur menjadi satu. Antara marah, kesal dan juga lega. Marah dan kesal karna Cecunguk itu mempermainkanku. Lega karna itu hanya lelucon.
"Jangan menangis--aku hanya bercanda," ucapnya lagi. Kali ini ekspresinya tampak menyesal.
"Mengapa bercandamu seperti itu? Ini sama sekali tidak lucu. Kau membuatku takut setengah mati," kataku masih terisak.
"Maafkan aku ... Aku tidak tahu kalau kau akan mempercayai kata-kataku."
"Kau tahu .... Kupikir hari ini aku akan mati," kataku, masih menangis.
"Iya. Aku minta maaf. Sekarang berhentilah menangis. Jika orang lain lihat, mereka akan menyangka aku berbuat macam-macam padamu," ucapnya.
Aku berhenti menangis. Kemudian menyeka air mata dengan kedua punggung telapak tanganku. "Nah ... Kalau begini, kan cantik," ucapnya kekanakan.
"Ayo kita pulang," ajaknya.
"Kita?" kataku sambil mengernyitkan dahi.
"Iya. Bukankah kau juga mau pulang?"
Aku mengangguk. "Ya sudah, ayo kita pulang bersama," ucapnya sambil melangkah. Aku ikut melangkah di belakangnya.
"Memangnya kau juga tinggal di sekitar sini?" tanyaku.
Cecunguk itu mengangguk. "Tepatnya di sebelah kamarmu.
Aku berlari kecil untuk mengejarnya. Kemudian berjalan sejajar dengannya. "Jadi kita tetangga?" tanyaku tak percaya.
Cecunguk itu berhenti melangkah. Ia menoleh ke arahku. "Kau benar-benar tidak tahu kalau kita bertetangga?"
Aku menggeleng. "Mungkin karna kau terlalu sibuk dengan pacarmu," ucapnya sambil kembali melangkah.
"Jadi--kau juga mengenal kekasihku?"
"Kenal sih, tidak. Hanya tau saja. Karna kami beberapa kali berpapasan di tangga."
"Ngomong-ngomong siapa namamu?" Tanyanya sambil menoleh padaku. "Aku Alan," imbuhnya seraya mengulurkan tangan.
Aku membalas uluran tangannya. Kami saling menjabat tangan. "Aku Alea."
Setelah itu kami saling melepas tangan masing-masing dan kembali berjalan menuju kost.
"Namamu seperti minuman," ucapnya.
"Minuman?" kataku, bingung.
"Iya. Apa kau tidak tahu?"
Aku menggeleng. "Memangnya ada minuman yang sama dengan namaku?"
"Ada lah. Itu loh, minuman teh yang memiliki banyak rasa-rasa. Ada stroberi, jeruk, mangga dll. Biasanya banyak di temukan di warung-warung kecil," jelasnya.
Aku berpikir keras. Mencari tau minuman mana yang ia maksud.
"Apa minuman yang kau maksud itu Ale-Ale?" kataku setelah ingat teh yang memiliki banyak rasa itu.
"Iya. Itu dia. Sama kan kaya namamu."
"Beda, lah. Kalau itu kan dua kata. Terus huruf 'a' nya kurang satu," bantahku.
"Sama. Coba saja kau sebut namamu dua kali berturut-turut."
"Aleaaleaaleaale," gumamku. Menyebut namaku sendiri secara berturut-turut. Sesuai apa kata Cecu ... maksudku Alan. Setelah di pikir-pikir iya juga ya.
"Benar, kan kataku. Ale-ale," ucapnya senang.
"Jangan menyebutku seperti itu," larangku.
"Kenapa? namamu kan bagus Ale-ale," ucapnya tertawa.
"Hei--berhenti mengolok-olok namaku."
"Ale-ale," ejeknya lagi. Aku melayangkan tangan, bersiap memukulnya. Namun ia berhasil menghindar sebelum tanganku mendarat di punggungnya.
Ia menjulurkan lidah, mengejek. "Enggak kena," ledeknya. Setelah itu berlari menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarnya.
"Tunggu pembalasanku, Alan," tekadku. Aku menaiki tangga, menuju kamarku. Sesampainya di lantai atas. Aku menghampiri kamar Alan. Menendang pintu kamar Cecunguk itu sebentar lalu berlari masuk ke dalam kamarku dengan terburu-buru. Mengabaikan suara Alan yang berteriak kesal.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments