Pagi ini langit tampak gelap. Gumpalan awan hitam menyelimuti sebagian wilayah di ibu kota. Aku lekas turun dari motor. Melepas helm yang kugunakan untuk melindungi kepalaku saat berkendara. Kemudian menyerahkannya pada pengemudi ojek online yang baru saja kutumpangi.
Aku merogoh saku celana. Mengeluarkan dua lembar uang kertas yang telah kusiapkan sebelum berangkat tadi. "Ambil saja kembaliannya, Pak," ucapku saat memberikan uang pecahan lima puluh ribu itu.
Driver yang berusia paruh baya itu menerima uang tersebut dengan wajah sumringah. "Terima kasih, Neng," ucapnya.
"Sama-sama, Pak," balasku, tersenyum.
"Saya permisi, Neng."
"Silahkan, Pak."
Driver itu menyalakan mesin, memutar stang dan berlalu pergi. Kembali menyusuri jalanan yang cukup padat.
Aku melangkah masuk ke dalam gedung. Membalas salam security yang menyapaku. Kemudian berdiri di depan lift, menunggu elevator itu terbuka.
"Hai, Alea." Sapa Jordi, teman sekantorku yang kini menjabat sebagai manager di perusahaan kami.
"Pagi, Pak Jordi," balasku pada pria yang kini berdiri sejajar denganku.
"Jangan panggil Pak--panggil Jordi saja. Kita kan seumuran."
"Tapi Pak Jordi kan atasan saya, rasanya tidak sopan kalau saya hanya memanggil nama."
"Ini bukan di kantor, Lea."
"Kita sedang menuju ke sana, Pak."
"Baiklah--terserah kau saja, Le," ucap Jordi menyerah.
Pintu lift terbuka. Kami berdua masuk ke dalam, bersama beberapa orang lainnya yang sama-sama bekerja di dalam gedung ini.
Setelah pintu tertutup, lift mulai bergerak naik ke atas. Membawa kami semua menuju kantor kami masing-masing. Sesekali pintu itu kembali terbuka, saat ada yang turun di lantai tujuh dan lantai dua belas. Setelah itu kembali naik dan berhenti di lantai lima belas. Aku dan Jordi keluar bersamaan.
"Siang nanti kau mau makan dimana, Le?" tanya Jordi saat kami berjalan menuju tempat kerja kami.
"Entahlah--aku belum memikirkannya."
"Bagaimana kalau kita makan di restoran seberang gedung ini, mau tidak? Kudengar makanan di sana enak-enak," ajak Jordi.
"Aku yang traktir," imbuhnya.
"Ok--Deal," kataku.
"Apanya yang deal?" sambar Naira yang baru tiba. Ia meletakan tas diloker meja kerjanya. Kemudian menjatuhkan bokongnya di kursi kerjanya, tepat di sebelahku.
"Pak Jordi mengajakku makan siang di restoran seberang. Kau mau ikut?" tanyaku.
"Pak Jordi yang traktir," imbuhku.
"Mau lah. Siapa coba yang nggak mau di ajak makan gratis," tutur Naira.
"Baiklah--nanti siang kita kesana bareng, ya," ujar Jordi.
"Ok," sahut Naira. Sementara aku hanya mengangguk.
"Sampai ketemu nanti, Alea," ucap Jordi sebelum menuju meja kerjanya.
"Iya ... sampai nanti," sahutku.
Setelah kepergian Jordi, aku mulai di sibukan dengan pekerjaan yang entah mengapa tak ada habisnya. Hampir setiap hari berkas-berkas menumpuk di meja kerjaku.
Sebagai copywriter (penulis iklan) di perusahaan advertising tentu saja pekerjaan ini cukup menguras pikiran. Aku harus memutar otak, mencari dan memilih kata-kata ataupun kalimat yang tepat untuk setiap iklan yang sedang kami kerjakan.
Tanpa terasa empat jam telah berlalu. Sudah waktunya kami istirahat untuk makan siang. Aku menggeliat, membentangkan kedua tangan untuk melemaskan otot-otot punggung dan bahu.
Jordi kembali menghampiriku dan juga Naira. Kami pergi ke restoran yang sudah kami sepakati pagi tadi, bersama-sama.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di tempat tersebut. Karna memang letaknya tak jauh dari kantor.
"Kau mau pesan apa, Le?" tanya Jordi.
"Emm ... apa ya?" kataku menimang-nimang. Banyaknya menu membuatku bingung mana yang harus kupilih.
"Katanya soto di sini enak, loh, Le," ucap Naira.
"Oh ya?" kataku menoleh pada Naira.
Naira mengangguk. "Kalau begitu aku pesan itu saja," kataku, memutuskan.
"Pakai nasi tidak?" tanya Jordi.
Aku menggeleng. "Sotonya saja," sahutku.
"Kalau aku mau nasi ayam bakar," ucap Naira.
"Ok--tunggu sebentar biar aku yang pesan," ucap Jordi. Pria itu melangkah ke tempat pemesanan makan. Sementara aku dan Naira menunggunya di meja nomor sembilan yang sedang kami tempati.
Saat sedang menunggu pesanan tiba aku sedikit terusik dengan suara berisik yang berasal dari meja di sebelah kami. Aku menoleh sebentar, menatap empat pria yang menempati meja tersebut.
Pria pertama yang kulihat bertubuh gempal dengan tato naga dilehernya. Sementara dua pria di sebelahnya memiliki tubuh yang kurus. Tebakanku dua pria kurus itu kakak beradik atau semacamnya. Sebab keduanya memiliki wajah yang mirip. Mata sipit, hidung lumayan mancung dan juga bibir yang kecil. Keduanya tampak imut, menurutku. Sementara pria yang satunya lagi, yang duduk membelakangiku. Pria itu berkulit putih, terlihat dari tangannya yang tak tertutup kain. Saat itu pria tersebut mengenakan celana panjang, dipadukan dengan kaos hitam dan juga jaket kulit berwarna maroon. Rambutnya di cat tembaga. Tubuhnya tinggi dan juga proporsional.
Aku buru-buru berpaling, kala pria yang tengah kupandangi itu membalikan badan dan balik menatapku. Kami sempat beradu pandang selama beberapa detik.
Jantungku terasa dag dig dug saat tertangkap basah olehnya. Untuk mengalihkannya, aku bercengkrama dengan Naira. Sambil sesekali melirik ke arah pria itu lagi, melalui ekor mataku.
Tak berselang lama, pesanan kami pun datang. Satu porsi soto ayam untukku, serta dua porsi ayam bakar milik Naira dan Jordi.
Kami pun segera menyantapnya. Mengisi perut kosong kami yang sejak tadi berteriak minta diisi.
"Tunggu! Bayar dulu dong, Bang," seru seseorang dengan lantang. Kami bertiga menoleh, menatap pemilik suara tersebut. Seseorang yang merupakan salah satu pegawai di warung ini. Tatapan pelayan itu tertuju pada keempat pria yang tadi duduk bersebelahan denganku.
"Kau bicara pada kami?" tanya salah satu pria yang menurutku imut, tadi.
"Iya. Habis makan bayar dulu, dong. Jangan main kabur aja," ucap pelayan itu, lagi.
Pria bertubuh gempal itu maju, mendekati pelayan tersebut dengan tawa mengejek. "Apa kau tidak tahu kami siapa?" ucapnya.
"Memangnya aku harus tahu kalian siapa? Yang jelas kalian harus bayar dulu sebelum pergi."
Pria berambut perunggu itu pun ikut maju, menghampiri pelayan tersebut. Matanya tertuju pada name tag yang tertancap di seragam kerja pelayan tersebut. "MUHAMAD LUTFI," ejanya sambil memegang name tag tersebut.
"Anak baru," imbuhnya.
"Memangnya kenapa kalau aku anak baru!" balas pelayan yang bernama Lutfi itu, dengan nada menantang.
Pria berambut perunggu itu tersenyum, meremehkan. "Kau terlalu galak. Tidak cocok bekerja di tempat ini," ucapnya.
Tak lama kemudian tampak manager restoran ini berlari tergopoh-gopoh menghampiri kelima orang yang sedang bersitegang itu. "Mohon maaf, Mas. Dia masih baru. Jadi belum tau Mas Alan itu siapa," ucap sang manager pada si pria berambut perunggu.
"Ajari dia agar lebih sopan," ucap pria berambut perunggu yang rupanya bernama Alan itu.
"Siap, Mas. Sekali lagi saya minta maaf,"
Ucap sang manager. Entah apa yang telah dilakukan si pria bernama Alan itu. Sampai-sampai manager tersebut tampak begitu segan padanya. Bahkan manager tersebut juga membiarkan mereka berempat itu lolos begitu saja tanpa harus membayar makanannya terlebih dulu.
Sepeninggalan mereka, aku, Naira dan juga Jordi kembali melanjutkan makan yang sempat terjeda akibat keributan tadi.
"Menurut kalian apa yang membuat manager itu membiarkan mereka pergi?" tanya Jordi di sela makannya.
"Mungkin salah satu dari keempat pria itu merupakan anak dari pemilik restoran ini," sahut Naira.
"Kalau menurutmu bagaimana, Le?" tanya Jordi, lagi.
"Kalau menurutku manager itu takut. Mungkin para cecunguk itu pernah mengancam mengobrak-abrik restoran ini atau semacamnya," ujarku menduga.
"Keduanya masuk akal," sahut Jordi.
"Kenapa kita jadi membahas berandal itu. Ayo cepat habiskan makanannya. Sebentar lagi jam makan siangnya berakhir," kataku mengingatkan.
.
.
.
.
Jangan lupa tap ❤ agar tau update terbaru.
Likenya juga biar makin semangat lanjutin ceritanya. Terima kasih 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments