Selesai mandi, aku bergegas menuju lemari pakaian yang berada di seberang tempat tidur. Mataku bergerak naik turun, menatap tumpukan baju di sana. Memilah-milah baju mana yang akan kukenakan hari ini. Setelah berpikir selama beberapa detik, akhirnya aku meraih celana panjang berwarna hitam, serta blouse tanpa kancing berwarna merah marun.
Aku kembali melangkah menuju tempat tidur. Meletakan pakaianku di sana dan bergegas memakainya. Setelah selesai aku mulai berdandan. Memakai bedak dan memulaskan perona bibir berwarna nude agar tak terlalu pucat. Tak lupa kusisir rambut panjangku. Membuatnya sedikit bergelombang dengan bantuan catokan.
Aku tersenyum menatap pantulan wajahku di cermin. "Kurasa aku lumayan cantik," gumamku, memuji diri sendiri.
Aku bangkit berdiri. Menyambar ponsel dan juga tas yang teronggok di kasur. Kemudian bergegas keluar.
"Hai, Ale-Ale." Sapa Alan saat aku mengunci pintu.
Aku menoleh, menatap cecunguk itu. Sedikit tercengang melihat penampilannya yang terlihat berbeda. Rambutnya tak lagi berwarna perunggu. Ia mengubahnya menjadi warna hitam legam. Kontras sekali dengan warna kulitnya yang seputih salju. Kali ini ia juga menambahkan anting kecil di telinga kirinya. Alan menyunggingkan senyum saat berjalan ke arahku.
Sial. Kenapa dia tampan sekali. Aku lekas berpaling darinya. Melangkahkan kakiku menuju tangga. Diikuti oleh Alan yang mengekor di belakangku. "Kau mau kerja?" tanya Alan.
"Hm," jawabku singkat.
"Butuh tumpangan?"
Aku menggeleng. "Aku bisa berangkat sendiri."
"Jadi kau menolak tawaranku, nih?"
"Ya."
"Ok. Tidak apa-apa," ucap Alan.
Aku mendelik saat Alan dengan sengaja menyenggol bahuku saat ia berjalan mendahuluiku.
"Sorry, tidak sengaja," elaknya.
Aku mengabaikan ucapannya. Memilih diam sambil terus menuruni anak tangga.
"Oh iya. Kudengar hari ini para ojol dan juga angkutan umum sedang demo besar-besaran, " ucap Alan saat kami sudah berada di halaman.
Seketika langkahku terhenti. Merogoh ponselku di dalam tas dan memencet tombol untuk membukanya. Setelah itu bergegas membuka google, mencari tahu apakah yang di ucapkan Alan benar atau hanya hoax belaka.
Mataku membulat saat membaca sebuah artikel yang memuat tentang aksi mogok masal para angkutan umum dan juga ojol. Ternyata yang di ucapkan Alan memang benar.
Duh, bagaimana ini. Mana mungkin aku ke kantor berjalan kaki.
Aku menatap Alan yang kini sedang memakai helm. Dengan langkah cepat aku menghampiri Cecunguk itu.
"Berikan helmnya," kataku setelah berada di sisinya.
Alan menyeringai. "Tadi kau bilang tidak mau," ledeknya.
"Aku berubah pikiran. Kutarik kata-kataku yang tadi."
"Dasar plin-plan," ucap Alan seraya menyerahkan helm padaku.
Aku lekas memakainya. Sementara Alan menghidupkan mesin motornya. Seketika kuda besi itu meraung. Saat Alan menarik gasnya beberapa kali.
"Naiklah," titah Alan.
Jok di belakangnya lumayan tinggi, membuatku sedikit kesulitan saat menaikinya. Alan menepuk pundaknya, menyuruhku agar berpegangan pada pundaknya agar lebih mudah.
"Sudah siap?" tanya Alan saat aku sudah duduk di belakangnya.
"Ya," jawabku singkat.
"Pegangan yang erat."
Aku meraih ujung jaket Alan, berpegangan.
Alan melepas koplingnya, motor pun melaju cepat. Aku terhuyung ke depan, membentur tubuh Alan. "Ya! Kau mau membunuhku?" bentakku seraya menabok bahu Alan.
"Sudah kubilang pegangan yang erat. Tapi kau tidak mau dengar," sahutnya.
"Bagaimana caranya mau berpegangan erat? Sedangkan tak ada yang bisa kupegang," protesku.
"Kau bisa melingkarkan tanganmu di pinggangku."
Cih. Laki-laki memang selalu cari kesempatan dalam kesempitan. Bisa-bisanya ia menyuruhku memeluknya.
"Tidak mau," kataku, menolak.
"Ya sudah, terserah kau saja."
Alan kembali menambah laju kendaraannya. Lagi dan lagi. Membuatku mau tak mau harus memeluk tubuhnya. Berpegangan erat agar tidak jatuh.
"Tak bisakah kau pelankan sedikit? Aku masih ingin hidup," kataku setengah berteriak.
"Tenang saja. Akan kupastikan kau masih bernafas saat sampai tujuan."
Bukannya mengurangi kecepatan. Alan justru kembali menambahnya. Aku memejamkan mata, memeluk tubuh Alan semakin erat. Kala motor yang kami tumpangi meliuk-liuk di jalan raya. Menyalip puluhan kendaraan roda empat.
Sepuluh menit telah berlalu. Akhirnya kami sampai di depan gedung dimana kantorku berada. Aku lekas turun dari motor. Menghembuskan nafas lega karna aku masih hidup.
Alan membantu melepas helm yang kukenakan.
"Terima kasih," kataku saat benda itu tak lagi menempel di kepalaku.
Aku merogoh tasku, mengambil sebuah dompet dan mengeluarkan selembar uang kertas dari sana.
"Untuk beli bensin," kataku. Menyodorkan uang tersebut pada Alan.
Alan menepisnya. "Aku bukan tukang ojek," ucapnya.
"Aku tidak menganggapmu tukang ojek. Ini hanya sebagai bentuk terima kasihku padamu. Karna sudah mengantarku," kataku menjelaskan. Seraya kembali menyodorkan uang itu padanya.
Alan mengabaikan tanganku yang masih mengapung di udara. Ia malah kembali naik ke motornya dan mulai menyalakan mesin.
"Traktir aku makan malam, jika kau ingin berterima kasih," ucapnya.
"Baiklah. Kau ingin makan dimana?" tanyaku.
"Akan kuputuskan nanti," sahut Alan.
"O iya. Jam berapa kau pulang? aku akan menjemputmu."
"Tidak perlu, Al. Aku bisa nebeng ke teman kantorku saat pulang nanti."
"Kau tidak jadi mentraktirku makan malam?"
"Memangnya kau mau kutraktir malam ini juga?" ucapku bertanya balik.
"Tidak. Nanti saja saat hari kiamat," sahut Alan kesal.
Aku terkekeh. "Sekitar jam enam. Aku akan menunggumu di sini," ucapku.
"Ok. Sampai bertemu lagi, Alea," ucap Alan, tersenyum.
"Hm. Sampai nanti."
"Aku pergi," pamit Alan.
"Hati-hati di jalan," pesanku.
Alan mengangguk. Kemudian menancap gas dan berlalu pergi. Aku menatap kepergiannya sebentar, hingga ia tak terlihat lagi dari jangkauan mataku. Setelah itu barulah bergegas masuk ke dalam gedung.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments