Sambil menyeret koper, aku menyusuri gang kecil itu. Ditemani oleh Kevin yang sedari tadi mengomel tentang lingkungan di tempat ini. Yang menurutnya agak kumuh dan jalannya terlalu kecil.
"Masih jauh, Ly? " tanya Kevin, lagi. Entah sudah yang keberapa kali ia bertanya demikian. Padahal kami baru berjalan kurang lebih sejauh dua ratus meter.
"Tidak--sebentar lagi sampai," kataku sambil terus melangkah.
"Apa tidak ada jalan lain, Ly. Ini terlalu sempit," keluhnya. Ia terlihat memiringkan tubuh saat sebuah motor melintas.
"Kenapa tidak lewat jalan besar yang bisa dilalui mobil saja."
"Tidak ada, Mas. Jika ada, aku tak mungkin mengajakmu capek-capek jalan begini," jelasku.
"Nah--kita sampai," kataku tak lama kemudian. Aku membuka gerbang, mempersilahkan Kevin masuk, lalu menutupnya kembali.
"Disini tempat tinggalmu, Ly?" tanya Kevin. Dahinya berkerut saat mengamati bangunan dua lantai yang terdiri dari beberapa kamar itu.
Aku mengangguk. "Lebih tepatnya di sana," kataku sambil menunjuk salah satu kamar di lantai dua.
"Ayo," ajakku pada Kevin. Pria itu berjalan membuntutiku, menaiki tangga kecil yang terbuat dari besi berukiran buah anggur.
Aku merogoh isi tas. Mencari kunci kamar yang sebelumnya kuberi gantungan berbentuk kelinci, berwarna merah muda. Setelah mendapatkan benda tersebut. Aku lekas memasukannya ke dalam lubang kuncian dan memutarnya ke kiri.
"Ayo--masuk," kataku setelah pintu itu terbuka. Aku bergegas menyalakan lampu serta pendingin ruangan. Agar Kevin tak kepanasan saat berada di tempat tinggalku yang baru ini.
Kevin tampak mengamati ruangan ini dengan seksama. Setiap sudut tak luput dari sapuan matanya. "Nggak ada ruang tamu sama dapurnya, Ly?" tanyanya seraya menjatuhkan diri di atas kasur. Ya, hanya tempat itu yang bisa ia duduki.
Aku membuka kulkas, mengambil satu botol berisi air mineral. Lalu berjalan menghampiri Kevin.
"Nggak ada, Mas. Ini kamar kost bukan apartemen."
"Apa tidak ada tempat lain yang lebih bagus, Ly. Ini terlalu kecil dan sempit," keluhnya, lagi.
Aku membuka penutup botol air mineral itu. Lalu menyerahkannya pada Kevin. Kemudian mendudukan tubuhku di sampingnya.
"Nggak ada, Mas. Hampir semua kost-kostan di daerah ibu kota berukuran seperti ini. Malah ada yang lebih kecil lagi dari ini. Di sini sudah lumayan besar," kataku menjelaskan.
"Tapi menurutku ini masih terlalu sempit, Ly," katanya setelah menenggak air mineral hingga tersisa separuh.
Aku tak menjawab. Sebenarnya kamar ini tak seperti yang di katakan Kevin. Ukurannya lumayan luas. Hanya saja pria itu memang sudah terbiasa berada di ruangan yang lebih besar lagi. Jadi itulah alasan mengapa ia menganggap tempat ini sempit.
Kami sama-sama menoleh saat mendengar gelak tawa dari beberapa orang pria, serta bunyi berdebum langkah kaki yang menaiki tangga. Tak berselang lama beberapa orang itu terdengar melintas di depan kamarku.
" Siapa mereka, Ly?"
Aku mengangkat bahu, tak mengerti. "Mungkin tetangga yang tinggal di sebelah," kataku.
"Aku tidak suka kau tinggal dengan laki-laki lain, Ly."
"Aku tidak tinggal dengan mereka, Mas. Aku sendirian di sini."
"Tapi mereka tinggal di sebelahmu, Ly."
"Ya kan di kamar sebelah. Bukan dalam satu kamar denganku."
"Tetap saja mereka satu atap denganmu, Ly."
Aku tertawa. "Memangnya kenapa kalau kami satu atap, Mas?" tanyaku heran.
"Aku takut salah satu dari mereka jatuh cinta padamu, Ly. Seperti teman-teman sekantormu."
Mendengar ucapan Kevin barusan, aku kembali teringat pada Pak Sandi, Direktur utama di perusahaanku. Dulu aku pernah bercerita padanya, kalau dirutku itu pernah mengatakan cinta padaku. Beliau juga berkata bahwa ia serius dan berniat menjadikanku sebagai istrinya. Namun langsung kutolak karna aku sudah bersama Kevin. Selain itu ia juga sudah memiliki istri. Jadi meskipun ia kaya raya dan lumayan tampan tak membuatku lantas menerimanya.
"Itu tidak akan terjadi, Mas. Tidak semua orang akan jatuh cinta padaku. Mas Kevin tenang saja."
"Mungkin saja terjadi, Ly. Kau cantik dan baik. Siapapun bisa jatuh hati padamu, Ly. Di tambah lagi kalian tinggal dalam satu atap. Setiap hari kalian saling bertemu. Bisa jadi bukan hanya salah satu dari mereka yang jatuh cinta padamu tapi bisa juga sebaliknya. Kau yang jatuh hati pada salah satu di antara mereka yang tinggal di sini," gerutu Kevin.
Aku menatapnya heran. Baru kali ini ia berkata panjang lebar. "Apa mas Kevin cemburu?" tanyaku.
"Tentu saja aku cemburu, Ly. Mereka tinggal bersamamu, setiap hari kalian bersama. Sementara aku jauh darimu, Ly. Aku tidak bisa tinggal bersama denganmu dan tak bisa selalu ada untukmu," ucapnya frustasi.
"Ada apa denganmu, Mas. Kenapa bicara seperti itu?" tanyaku agak heran. Tak biasanya laki-laki itu terlihat tak berdaya. Kini ia terlihat tak percaya diri. Berbeda sekali dengan sebelum-sebelumnya.
Kevin menoleh ke arahku. Menatapku dengan wajah cemas.
"Aku takut kau tergoda laki-laki lain, Ly. Aku takut kau pergi meninggalkanku."
Aku memutar posisi dudukku. Sedikit menyerong, menghadap Kevin. "Dengar, Mas. Percayalah--aku tidak akan pernah tergoda oleh siapapun," kataku meyakinkan.
"Hatiku hanya milikmu. Tak ada yang lain dan takkan pernah ada yang lain. Mau setampan atau sebaik apapun laki-laki yang datang padaku. Mereka takkan mampu merubah merubah apalagi menggeser kedudukanmu di hatiku. Bagiku kau satu-satunya dan yang terakhir untukku."
Kevin menatapku, dalam. Membaca seluruh ekspresi di wajahku. Kami saling beradu pandang selama beberapa saat. Hingga akhirnya aku mengakhiri adegan saling tatap itu. Aku memejamkan mata. Seiring dengan wajah Kevin yang kian mendekat. Bisa kurasakan hembusan nafasnya menyapu wajah. Serta kelembutan bibirnya saat menyentuh bibirku.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
Lily Flow
tes
2022-11-01
0