Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali menginjakan kaki di tempat ini lagi. Banyak kenangan indahku bersama Kevin terjadi di tempat ini. Ketika kami masih berstatus pasangan kekasih.
"Terima kasih," ucapku saat Kevin membukakan pintu dan menyuruhku masuk terlebih dulu.
Ruangan ini masih terlihat sama, seperti sebelum kutinggalkan. Dapur kecil di sisi kanan. Vas bunga kaca terlihat masih bertengger disana. Kali ini vas bunga itu kosong. Dulu, akulah yang selalu mengisi vas tersebut dengan bunga Lily yang dibelikan oleh Kevin.
Kevin melepas tas yang masih menggantung di pundakku. Kemudian meletakannya di lemari yang berada di sisi kiri, yang letaknya bersebelahan dengan tembok kamar mandi.
Aku berjalan menghampiri sebuah ruangan yang sedari tadi menyita perhatianku. Sebuah ruangan yang dulu kami jadikan ruang tamu. Tempat dimana kami sering bersenda gurau. Kupandangi seluruh isi ruangan itu. Bukan hanya tata letaknya saja yang masih sama, tapi semua barang-barangnya pun masih tergeletak di tempat yang sama. Sofa bulu abu-abu, rak buku yang berisi beberapa novel kesukaanku serta akuarium yang hanya dihuni oleh dua ikan kecil. Kali ini ikan tersebut tampak lebih besar dari sebelumnya. Bahkan foto kami berdua masih menggantung di dinding yang sama.
"Kenapa masih menggantungnya disini--seharusnya kau melepas dan membuangnya." Kataku. Memandangi foto tersebut. Sebuah foto yang diambil ketika kami berlibur ke Paris. Kami berdua sangat bahagia kala itu. Tergambar jelas di foto ini karna kami sama-sama tersenyum lebar.
"Aku takkan membuang apapun yang menyangkut tentang kita berdua," Sahut Kevin.
"Alia pasti marah kalau melihatnya."
"Tak bisakah kau berhenti menyebut namanya, Ly?"
"Kenapa?"
"Aku tak ingin membahas orang lain, selain kau dan aku."
"Dia istrimu, Mas. Bukan orang lain."
"Aku tidak peduli, Ly. Secara tertulis dia memang istriku. Tapi aku tidak pernah menganggapnya istri. Bahkan semenjak kami menikah sampai sekarang aku tidak pernah menyentuhnya."
Sebagai kakak kandung Alia, seharusnya aku marah. Sebab Kevin mempermainkannya. Akan tetapi aku justru merasa lega dan bahagia. Itu artinya Kevin masih sepenuhnya mencintaiku.
Kevin menghampiriku. Membalikan tubuhku agar berdiri berhadapan dengannya. Ia menggenggam kedua tanganku. Aku menatapnya.
"Bisakah kita kembali seperti dulu, Ly?" tanyanya.
"Aku mencintaimu dan aku yakin kau pun masih mencintaiku," imbuhnya.
"Aku memang masih mencintaimu, Mas. Tapi kita tak mungkin kembali seperti dulu." Aku melepas genggamannya. Kemudian berpaling, membelakanginya.
"Mengapa tak mungkin, Ly. Kita sama-sama saling mencintai."
"Kau sudah menikah, Mas. Dan yang kau nikahi adikku. Tidak mungkin seorang laki-lagi menikahi dua kakak beradik sekaligus. Itu tak boleh terjadi."
"Aku tahu, Ly. Dan aku tak akan pernah menjadikan kalian berdua istriku sekaligus."
"Lalu apa maksud dari perkataanmu sebelumnya, Mas. Apa kau berniat menjadikanku simpananmu?"
"Aku tak pernah berpikir seperti itu, Ly. Kau bukan simpananku. Kau lah pemilik jiwa dan ragaku. Tunggulah beberapa bulan lagi. Setelah Alia melahirkan aku akan menceraikannya. Kumudian aku akan menikahimu, Ly."
Mataku membulat sempurna. "Itu tidak benar, Mas. Apa kata orang-orang nanti."
"Masabodo dengan tanggapan orang-orang, Ly. Kita yang menjalani. Kita yang merasakan. Kenapa harus memikirkan apa kata orang lain."
"Tapi ...."
"Berhentilah memikirkan orang lain, Ly. Kau harus memikirkan kebahagianmu sendiri. Kebahagiaan kita, Ly."
"Tapi aku takut." Ya, banyak hal yang kutakutkan bila itu terjadi. Tentu saja Ayah dan Ibu akan menentang hubungan kami. Terlebih Alia. Entah apa yang akan ia lakukan terhadapku jika kami berdua menikah setelah ia baru bercerai. Belum lagi omongan tetangga dan juga kerabat dekat. Membayangkannya saja rasanya aku tak sanggup. Disisi lain aku mencintai Kevin. Aku tak ingin kehilangan dirinya dan juga cintanya. Aku ingin hidup bahagia bersamanya.
Kevin menarik tubuhku, membawaku dalam dekapannya. "Jangan takut, Ly--aku bersamamu," ucapnya.
Dering ponsel mengejutkan kami berdua. Kevin merogoh saku celananya. Mengambil benda pipih yang sedari tadi bergetar. PAPA. Tulisan dilayar tersebut. Kevin melepas pelukannya. Menggeser ikon gagang telepon berwarna hijau itu ke kanan, dengan salah satu ibu jarinya. Kemudian menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
Kevin berbicara dengan Ayahnya selama beberapa menit. Setelah itu kembali mendatangiku yang sedang membongkar isi koper.
"Papa menyuruhku datang ke rumah," ucapnya setelah mendudukan tubuhnya di sebelahku.
"Pergilah--jangan membuatnya terlalu lama menunggu."
"Kau mau ikut?" Tanya Kevin.
"Mama pasti senang kalau melihatmu datang. Sudah lama juga kau tidak mampir ke rumah, Ly."
"Aku ingin ikut--tapi akan terasa aneh jika aku datang bersamamu, Mas. Besok atau lusa saja aku mengunjungi Papa dan Mamamu."
"Baiklah--kalau begitu aku pergi dulu," pamit Kevin. Ia mengecup keningku sebentar, lalu bangkit berdiri dan bergegas pergi.
"Hati-hati di jalan," pesanku saat Kevin sedang memakai sepatu. Pria itu tak menjawab. Namun bisa kudengar suaranya saat ia menutup pintu.
Setelah kepergian Kevin, aku termenung. Memikirkan hubungan terlarang kami. Berulang kali aku meyakinkan diri. Bahwa yang kulakukan tidak salah. Kami berdua saling mencintai. Ya, aku yakin cinta tak akan pernah salah. Tinggal menunggu waktu. Semuanya akan kembali seperti semula. Aku dan Kevin akan kembali bersama dengan akhir yang bahagia.
.
.
.
.
Jangan lupa tap ❤ agar tau update terbaru.
Likenya juga biar makin semangat lanjutin ceritanya. Terima kasih 😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments