Aku terbangun dari tidur singkatku. Setelah merasakan sesuatu menyapu pipi serta bibirku berulang-ulang. Aku mengerjapkan mata, berusaha mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Begitu mataku terbuka, aku lekas memalingkan wajah, malu. Wajah Kevin begitu dekat dengan wajahku, hanya berjarak beberapa senti saja.
"Maaf. Aku ketiduran," kataku tak enak hati. Membiarkan Kevin menyetir seorang diri. Sementara aku tertidur di sampingnya.
"Aku yang minta maaf, Ly. Sudah mengganggu waktu tidurmu."
"Kapan kita sampai? Apa sudah lama?" Aku bergegas melepas sabuk pengaman. Kemudian merapikan rambutku yang berantakan.
"Tidak. Kita baru sampai, kok."
Dilihat dari ekspresinya, aku ragu kalau Kevin berkata yang sebenarnya. "Kapan tepatnya? lima menit yang lalu?"
Kevin menggeleng. "Sepuluh menit?" tanyaku lagi. Untuk kedua kalinya kekasihku itu menggelengkan kepala dengan senyum mengembang di wajahnya.
Aku membuang nafas berat. Kemudian menatapnya. "Oke ... Bukan lima ataupun sepuluh menit. Apa setengah jam?" kataku, menebak.
Kedua sudut bibir Kevin terangkat ke atas. Tersenyum lebar hingga membuat deretan gigi putihnya terlihat. "Lewat tiga belas menit," sahutnya.
Aku tergelak, mentertawakan diriku sendiri yang tidur sampai lupa daratan. Empat puluh tiga menit jelas itu sangat lama. Bisa-bisanya Kevin berkata kalau kami baru sampai. Aku bergegas turun dari mobil. Di ikuti oleh Kevin yang masih setia menemaniku menyusuri gang.
Langit masih gelap dan jalanan masih sangat sepi. Kami berjalan dengan langkah ringan. Kevin melingkarkan tangannya di pinggangku. Kemudian menyeret tubuhku agar lebih dekat dengannya. "Mau kugendong?" tanyanya.
Aku menggeleng. "Kau bisa encok nanti. Aku empat puluh tujuh kilo."
"Tidak masalah. Aku bahkan bisa membawamu sambil berlari."
"Apa Mas Kevin lupa penerbangan nanti tiga belas jam? Belum lagi perjalanan daratnya, pasti juga akan menyita waktu.
"Kau harus menyimpan tenagamu," kataku.
Kevin mendesah. Kekasihku itu memang kerap mengeluh jika harus berpergian jauh. Namun pekerjaan memaksanya untuk melakukan hal yang tak disukainya itu. "Andai saja aku pergi bersamamu--pasti tidak akan terasa melelahkan," ucapnya.
Aku menoleh, menatap wajahnya. "Fighting!" kataku menyemangati.
Kevin kembali tersenyum. Mengecup rambutku singkat serta mengusap-usap bahuku. Aku ikut tersenyum. Merasa sangat bahagia dan bersukur masih bisa bersamanya. Aku berharap kebahagiaan ini tak akan pernah sirna. Meskipun ia tak bisa kumiliki seutuhnya.
Kevin melepas rangkulannya. Saat kami sudah berada di depan gerbang. "Sudah sampai," kataku, tersenyum.
Kami berdiri berhadapan. Saling menatap satu sama lain. "Kita baru beberapa jam bersama, tapi sekarang harus berpisah lagi," ucap Kevin, lesu. Ia menunduk, menatap kedua tangannya yang menggenggam telapak tanganku.
Aku menatap wajahnya yang tampak tak bersemangat. Kemudian melapas kedua telapak tanganku dari genggamannya dengan cepat. Kevin mengangkat wajahnya, menatapku dengan dahi berkerut.
"Aku tak suka Mas Kevin seperti ini. Bukankah pacarku ini sanguinis. Tidak cocok jika terlihat lemah seperti sekarang." (sangunis adalah salah satu tipe karakter seseorang yang memiliki ciri optimistis, impulsif, aktif, punya energi yang besar, kompetitif dsb)
Aku maju selangkah. Melingkarkan kedua tanganku di pinggang Kevin, memeluknya. "Bukankah Mas Kevin ke luar negeri hanya satu minggu? Kita berpisah hanya sementara, jadi jangan bersikap seolah kita tidak akan bertemu lagi."
Kevin mendekapku erat. Menyandarkan kepalanya di bahuku. "Maafkan aku. Entah kenapa akhir-akhir ini aku sangat menghawatirkanmu. Aku takut sesuatu yang buruk menimpamu, aku takut kehilanganmu, Ly."
Aku melepas pelukan. Menangkup wajah Kevin dengan telapak tanganku yang kecil. "Tak ada yang perlu dikhawatirkan, Mas. Aku akan baik-baik saja disini. Percayalah--aku bisa menjaga diriku sendiri.
"Satu lagi. Aku tidak akan kemana-mana. Aku akan selalu di sini, menunggumu. Jadi jangan takut. Aku tidak akan meninggalkanmu," kataku meyakinkan.
Kevin meraih kedua telapak tanganku yang masih menempel di kedua pipinya. Kemudian Menggenggam serta mengecupnya. "Aku akan segera kembali, Ly," ucapnya sambil menatapku.
Aku tersenyum. "Aku menunggumu, Mas."
Kevin menangkup wajahku. Sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku. Kemudian mendaratkan kecupan di keningku cukup lama. Aku memejamkan mata. Kala Kevin memiringkan kepalanya, hendak mencium bibirku.
Ehem!
Reflek, aku mundur selangkah dan membuka mata. Setelah mendengar seseorang berdehem. Kevin menjauhkan tangannya dari wajahku. Kami berdua sama-sama menoleh. Mencari tau siapa pemilik suara tersebut.
Mataku menyipit, menangkap sesosok pria yang berdiri di dekat gerbang.
Alan--sejak kapan cecunguk itu ada di sana?
"Maaf, tenggorokanku tiba-tiba gatal sekali," ucap Alan. Ia kembali berdehem beberapa kali.
Aku dan Kevin masih menatapnya. Aku tahu apa yang Alan ucapkan hanyalah omong kosong. Laki-laki itu pasti hanya berpura-pura.
"Silahkan lanjutkan apa yang sedang kalian lakukan. Anggap saja aku tidak ada," imbuh Alan.
Aku menatapnya sebal. Dia pikir kami tidak tahu malu!
Aku segera berpaling darinya, beralih menatap Kevin.
"Mas Kevin harus pulang sekarang, jika tidak nanti bisa terlambat," kataku.
"Aku pamit, Ly. Jaga dirimu baik-baik."
Aku mengangguk. "Mas Kevin juga. Kabari aku jika sudah sampai di Amsterdam," pintaku.
Kevin mengangguk. Kemudian mengulurkan tangan untuk mengusap kepala dan juga pipiku sekilas. "Aku pergi sekarang, Ly."
"Iya. Hati-hati di jalan, Mas."
"Always, Ly," sahut Kevin, tersenyum. Melambaikan tangan sambil berjalan mundur. Setelah itu membalikan badan dan bergerak menjauh dariku. Kembali menyusuri gang, menuju mobilnya. Aku memandangi kepergiannya hingga ia menghilang dari jangkauan mataku. Setelah itu membalikan badan dan membuka gerbang yang sudah tak terkunci.
Alan masih berdiri di sana, saat aku memasuki halaman kost yang tak terlalu besar.
"Kenapa kalian tidak menikah saja," ucap Alan.
Aku menghentikan langkah. Menoleh kebelakang serta ke kanan dan kiri. Tak ada siapapun. "Kau bicara padaku?" tanyaku sambil menatap Alan.
Laki-laki itu menggeleng. "Tidak.
"Aku sedang bicara dengan angin," imbuhnya dengan raut kesal.
"Oh ... Ya sudah."
"Tunggu ... Ale-Ale," teriak Alan saat aku kembali melangkah.
Apalagi sih, kenapa dia selalu menggangguku. Dan itu, kenapa dia selalu memanggilku seperti itu. Menyebalkan sekali.
"Apa?" tanyaku seraya berbalik, memandangnya.
"Aku sedang bicara padamu, kenapa kau malah pergi?"
"Bukankah tadi kau bilang sedang berbicara dengan angin? Jadi untuk apa aku tetap di sini."
"Baiklah. Kutarik kata-kataku tadi. Sekarang aku berbicara denganmu."
Dasar plin-plan, gerutuku dalam hati.
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?"
Alan melangkah, mendekatiku. "Aku bertanya padamu, kenapa kau dan kekasihmu itu tidak menikah saja?"
Aku menatapnya, heran. Kenapa dia kepo sekali dengan hubungan kami.
"Hei ... Ale-ale. Kenapa diam saja? Kau tidak dengar?" tanyanya lagi dengan suara lebih keras.
"Kau pikir aku tuli!" sahutku, kesal.
"Aku tidak mengatakan kau tuli."
"Tapi ucapanmu setengah berteriak, telingaku sampai sakit mendengarnya."
"Itu karna kau diam saja, tidak menjawab pertanyaanku. Kukira karna tidak dengar."
"Aku tidak menjawab karna memang tidak perlu kujawab."
"Mengapa tidak? Aku kan bertanya padamu."
"Itu urusan pribadiku, kau tidak perlu tahu."
"Aku tahu itu urusan pribadimu, Alea. Tapi sebagai sesama manusia aku hanya ingin mengingatkan. Jika kalian memang saling mencintai, lekas menikahlah. Daripada terus-terusan berbuat dosa," ucapnya.
Aku tergelak. Alan tampak mengernyitkan dahi, melihatku tertawa. "Dosa? Tahu apa kau tentang dosa?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri.
"Sebelum mengingatkan orang lain, berkacalah terlebih dulu, Alan. Jangan sampai karna mengurusi dosa orang lain, kau lupa akan dosamu sendiri."
"Tentu saja, Alea. Aku selalu mengingat dosa-dosaku."
"Jangan hanya mengingatnya. Tapi juga renungkan dan jangan lakukan lagi dosa ataupun kesalahan-kesalahan itu."
"Jangan khawatir, aku sudah melakukan semua itu."
Aku tersenyum, mengejek. Enteng sekali dia bekata seperti itu. Sepertinya ia memang sudah terlatih berbicara dusta. Hingga kebohongannya itu sama sekali tak kentara. Jika aku tak tahu kekakuannya yang sebenarnya, mungkin aku akan percaya dengan apa yang keluar dari mulut manisnya.
"Benarkah? Lalu apa yang kau lakukan semalam dengan teman-temanmu, Alan? Apa kau lupa kalau merampas milik orang lain itu suatu dosa?" sindirku. Sedikit emosi saat mengingat kembali kejadian semalam. Betapa kejam dan brutal kelakuan keempat temannya yang dengan paksa merampas milik orang lain.
"Apa maksudmu, Alea. Mengapa kau selalu menuduhku merampas milik orang lain. Padahal sekalipun aku tidak pernah melakukannya."
"Berhentilah berpura-pura, Alan. Tak perlu membela diri lagi di depanku. Aku sudah tahu siapa dirimu yang sebenarnya."
Alan berjalan mendekat. Tatapannya tajam, seolah menusukku. "Oh ya ... Apa yang kau tahu tentangku?"
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments