Nuraini keluar dari kamar Arshaka, ia menutup pintu dengan kencang. Badrina mendorong tubuh Arshaka hingga pria itu terhempas ke lantai lalu berlari cepat menuju kamar kecil. Badrina berusaha menetralisir rasa malu yang muncul dalam dirinya.
Badrina berjalan hilir mudik sambil menggenggam jubah mandi di bagian dada. Keningnya ditepuk-tepuk sebagai ungkapan sesal. Perempuan itu merutuki dirinya yang begitu mudah tersulut api emosi negatif.
Badrina menyadari ada persoalan tidak beres yang menyangkut psikisnya. Badrina menolak pemikiran bahwa ia mengalami gangguan. Namun, terbukti emosi begitu cepat menguasai otak dan tubuhnya.
Pikirannya kembali melayang pada kejadian di sekolah Cantara tadi. Bagaimana Badrina terlibat baku hantam dengan orang tua murid tanpa kesadaran pikiran penuh. Syukur saja pakaiannya tidak robek ditarik karena mendapat perlawanan. Ada Arshaka di sana yang membantunya.
Badrina menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia takut dengan imajinasinya barusan, bila sempat tidak ada mantan suaminya. Apakah Badrina seharusnya mengucap terima kasih pada Arshaka yang menyelamatkannya dari kemungkinan insiden dengan akhir memalukan?
Arshaka keluar kamar setelah beberapa menit menunggu Badrina yang tak kunjung menampakkan diri dari kamar kecil.
Arshaka keluar menuju ruang keluarga. Di sana dirinya mendapati Nuraini berdiri membelakangi dirinya.
"Ma, aku bisa jelasin yang mama lihat tadi," ucap Arshaka langsung ke inti.
Nuraini membalikkan badannya. "Beri Mama penjelasan," tuntut Nuraini sembari duduk di sofa.
"Tadi itu ada kesalahpahaman di antara kami, Ma. Bukan sesuatu yang serius," ungkap Arshaka sembari mengendikkan bahu.
"Astagfirullah Arshaka, kalau kalian masih suami istri mama memaklumi. Mama khawatir kamu memaksa Badrina!" sesal Nuraini, menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Memaksa?" Arshaka mencoba memproses perkataan ibunya. "Oh... bukan Ma ini tidak seperti yang Mama --"
"Sudah, Shaka! Tidak usah mengelak!" potong Nuraini dengan mata melotot.
Arshaka melongo, ia menilai Nuraini telah salah paham melihat peristiwa di antara pasangan mantan suami istri itu.
Tidak lama kemudian, Badrina datang. Ia duduk menjauhi Arshaka, rasa dirinya masih malu. "Ma, aku minta maaf dengan apa yang terjadi tadi. Aku tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukannya pada Shaka. Dia yang memulai duluan, Ma," lirih Badrina sembari tertunduk.
Nuraini memelototi putranya, Arshaka melambaikan tangan ke kiri dan kanan tanda tidak bersalah. Arshaka ingin menghentikan Badrina sebab ucapannya bermakna ganda.
"Aku diliputi emosi lalu melampiaskannya pada Shaka, Ma. Aku perlu berlatih mengendalikan diri. Maafkan aku, Ma." Badrina terus berbicara, ia benar-benar menyesali sikapnya yang tampak kekanakan saat berbicara dengan Arshaka tadi.
Arshaka menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menutup matanya.
"Baik Badrina. Terima kasih pengakuan kamu. Mama harap ini tidak terjadi lagi sebab kalian bukan lagi suami istri. Harus dapat saling menahan diri. Bila perlu saat kalian bertemu, ada kehadiran pihak lain menghindari kejadian seperti tadi," ucap Nuraini memaklumi. Badrina mengangguk menyetujui perkataan Nuraini.
Arshaka menunduk memijat pelipis, ia menghembuskan udara dari mulutnya, meringis mendengar percakapan ibu dan mantan istrinya.
Arshaka tidak berniat untuk mengoreksi, ia membiarkan percakapan itu mengalir begitu saja.
"Shaka, Mama ingatkan agar tidak menggoda Badrina," ucap Nuraini, ia tampak menunjuk-nunjuk Arshaka. "Ya sudah, Mama mau jemput Cantara sebentar ke taman. Jangan macam-macam, Shaka!" tekan Nuraini sebelum meninggalkan ruang keluarga.
Arshaka menghela nafas panjang dan mengusap wajahnya sesaat sebelum menyenderkan punggung ke sofa.
Badrina menoleh pada Arshaka, ia kebingungan mendengar ucapan mantan ibu mertuanya. "Apa maksud Mama, 'tidak menggoda'?" tanya Badrina.
Arshaka balas menatap Badrina. "Mama pikir aku menggoda kamu," jawab Arshaka menunjuk dirinya dan Badrina sembari mengulas senyum miring.
Badrina terbeliak menyadari ada kesalahpahaman dalam percakapan bersama Nuraini tadi. Kedua tangannya menutup mulut yang sedang menganga. Badrina terdiam, dirinya makin merasa malu pada Arshaka.
Pesan singkat masuk ke dalam ponsel Arshaka ada panggilan dari kantor.
"Oke Rina, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Arshaka sambil menyimpan ponselnya di kantong pakaian kerjanya. Arshaka berdiri sebelum pergi disempatkannya berujar, "Aroma body lotion kamu wangi, aku suka."
Arshaka benar-benar membuat Badrina seperti kepiting rebus, parasnya memerah dan menghangat.
"Oh ya, aku benar-benar serius menyarankan kamu untuk ke psikiater. Bila kami belum siap, kamu bisa mencari informasi tentang ee... perihal emosi, spesifik emosi yang kamu alami." Arshaka merapikan pakaiannya yang sedikit kusut.
Sepeninggalan Arshaka, Badrina duduk termenung. Perkataan Arshaka seperti pecutan baginya untuk memperhatikan dirinya sendiri. Ingatannya kembali pada buku yang pernah diberikan Danish padanya saat ia pergi berlibur lantas Badrina melangkah menuju kamar dan mencari buku itu.
Berbinar mata Badrina menemukan buku yang dicari, ia semakin tertarik ingin mendalami konten buku yang isinya terhubung dengan apa yang dialami Badrina. Badrina duduk di depan meja riasnya, sesekali ia memandang cermin dan berbicara sendiri membahas pengalaman masa lalunya.
Buku itu berisi tentang bagaimana mengasuh ulang diri sendiri. Tumpukan luka batin yang dibawa sedari kecil tidak hilang seiring berjalan waktu, bahkan ketika dewasa luka itu malahan menemukan salurannya bila tidak disembuhkan. Bagi Badrina, itulah dirinya. Itulah yang kini dialaminya.
Tanpa sadar telah satu jam Badrina membolak-balik buku itu. Ia bertekad untuk menyelesaikan dengan membuat rutinitas membaca dalam jadwal hariannya. Kalaupun akan menemui ahli tentang kejiwaan, setidaknya Badrina datang bukan dengan kondisi hampa.
Badrina merasa miris mengingat pertengkarannya tadi dengan mama Parama. Dirinya memang masih sulit menerima Cantara dibuat menangis oleh orang lain. Namun, ia menyadari dirinya adalah tipikal orang bersumbu pendek yang mudah terpantik emosi besar.
Menaruh keningnya ke meja rias beralas lengan, Badrina menimbang bagaimana besok ia membawa Cantara ke sekolah. Anak itu bisa jadi mendapat perundungan kembali. Badrina merasa sangat bersalah dan menyesal. Dirinya yang bermasalah, Cantara harus turut menanggungnya. Badrina mengantuk-antukkan kepalanya agar keluar ide yang baik.
"Mama... mama kenapa?" Cantara panik mendapati kening mamanya beradu dengan meja.
Badrina terkejut, "Canta sudah pulang. Oma mana?" Badrina bertanya balik.
"Oma di dapur, Ma, mau siapin makan malam kata Oma," terang Canta, "Mama tadi kenapa?" tanya Cantara kembali.
"Oh, itu tadi Mama pikir kalau kening berbenturan dengan meja, otak Mama makin pinter, ternyata salah." Badrina terkekeh, tidak berniat untuk membohongi anaknya. "Udah sore, Canta mandi ya, Nak," bujuk Badrina.
"Ma, em... besok Canta ngga usah sekolah ya." Badrina yang telah berdiri kembali duduk, mengamati wajah Cantara.
"Kenapa? Bisa diceritakan perasaan Canta ke Mama?" Badrina mencoba memahami sisi perasaan putrinya.
"Canta belum mau bertemu dengan Parama, Ma," Cantara menunduk, "Canta menjadi tidak suka dengan Parama," lanjutnya.
Badrina terpaku dengan kalimat terakhir anaknya. Itu pula yang dirasakannya sewaktu bersitegang dengan mama Parama.
Badrina mengelus kepala Cantara, "Nanti Mama sampaikan pada Papa ya," pungkas Badrina.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments