Pagi menjelang matahari muncul, Badrina telah bangun. Segera dirinya beranjak turun dari ranjang untuk menyegarkan tubuh.
Semalam ia sulit tidur nyenyak, kebiasaan baru yang muncul sejak bercerai dari suaminya. Biasanya, istirahat malamnya selama delapan tahun ditemani seseorang, setelah talak dilancarkan Arshaka mereka memilih untuk berkamar sendiri-sendiri sampai sah di pengadilan.
Asisten rumah tangga sedang bersiap menyediakan sarapan ditemani Nuraini di dapur. Badrina juga turut bergabung setelah mengucap salam lalu melakukan apa saja yang bisa ia bantu.
"Canta masih tidur di kamar Mama. Ini hari Sabtu mungkin boleh bangun terlambat, ya," ujar Nuraini sembari memotong wortel. Perempuan paruh baya itu tengah mempersiapkan menu pagi ini sop ayam, makanan kesukaan Cantara dan Arshaka.
Badrina mengangguk, menyetujui perkataan Nuraini.
Dia ditugaskan untuk menyusun piring dan perlengkapan lain di meja makan. Mereka terbiasa sarapan dengan menu lengkap, kata Nuraini kalau tidak makan nasi dan lauk, sejam berikutnya pasti akan lapar lagi. Ya, kebiasaan yang telah terbentuk.
Melihat antusiasme Nuraini dengan kehadiran Cantara di rumah membuat Badrina mengurungkan niat untuk pulang. Ia tidak mau saja diomeli lagi oleh Nuraini, meski apa yang dikatakan oleh mantan mama mertuanya seringkali tepat.
Badrina masuk ke dalam kamar Nuraini, dilihatnya Cantara masih bergelung dalam selimut. Nyenyak sekali tidurnya. Suasana kamar Nuraini menenangkan dengan aroma menyegarkan dan tata barangnya juga rapi.
Ia mengguncang pelan tubuh anaknya, "Canta... sudah pagi, Nak Ayo bangun," bujuk Badrina.
Cantara menggeliat di kasur lalu bangun langsung tersenyum pada mamanya. Badrina membalas senyuman dan mengelus punca kepala Cantara.
"Mama... Papa mana?" tanya Cantara melirik ke pintu. Badrina tidak menyangka pertanyaan pertama Cantara di pagi hari. Semalam wajah itu sedih, kini sirna berganti binar bahagia.
"Papa di kamar," jawab Badrina pendek.
"Aku senang bangun-bangun masih di rumah Oma." Senyum tulus Cantara menggerakkan hati Badrina.
"Mau ke kamar Papa?"
"Iya, Ma...." Dalam sekejap Cantara keluar dari selimut dan turun dari ranjang. "ayo, Ma!" Bocah itu menarik tangan mamanya.
Di kamar tidurnya, Arshaka masih terlelap. Ia malah bisa tidur dengan nyaman dan nyenyak.
Kebiasaan akhir pekan, Arshaka bangun lebih lama.
Terlihat Arshaka tidur dengan telanjang dada. Kaki sebelah kiri tertutup selimut sementara kanan keluar. Tangannya terentang di ranjang. Tidurnya masih lelap padahal sudah pukul tujuh pagi.
"Papa...." Cantara naik begitu saja ke ranjang, sesaat setelah memasuki kamar. Suara kecil Cantara tidak mampu membuat Xabier terbangun dari tidur.
Gerakan anak itu masih sembarangan, ia naik dari kaki Arshaka dan lututnya -tanpa sengaja- mengenai tengah tubuh papanya.
Detik itu juga, Arshaka langsung terbangun dengan suara jeritan kencang. Tubuhnya meringkuk kesakitan, terlihat wajahnya memerah sampai ke leher.
Rasanya Arshaka ingin mengumpat marah, tetapi melihat pelakunya adalah Cantara, dia hanya bisa menggeram tertahan.
"Canta!" Melihat peristiwa itu refleks Badrina mengangkat anaknya dari atas tubuh Arshaka yang kesakitan, lantas mendudukkannya di sisi ranjang kosong.
"Papa kenapa, Ma?" Cantara mendongak heran pada Badrina sewaktu melihat papanya tiba-tiba menjerit, sampai mengelus punggung papanya.
Badrina kenimgungan, ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya pada Cantara.
"Kamu ngga papa?" tanya Badrina. Pertanyaan basa-basi itu mendapat pelototan tajam dari Arshaka. Pasti saja sakit minta ampun.
"Sa...kit..." terdengar seperti rintihan pilu. Badrina harus melakukan apa untuk mengurangi rasa sakit? Tidak memungkinkan dirinya untuk melihat bagian sensitif Arshaka.
"Kenapa?" Nuraini panik begitu sampai di kamar anaknya. Dengan jelas, dirinya mendengar jeritan Arshaka yang tidak biasa.
Badrina menjelaskan kronologis kejadian pada Nuraini dengan detail.
Arshaka kesal dengan perempuan-perempuan di dalam kamarnya, seolah-olah melakukan olah TKP padahal korban dibiarkan tergeletak, tidak ditolong.
"Rina, ambil kompres dingin. Ini bengkak!" ujarnya masih meringis kesakitan memegang organ yang sakit.
Perintah Arshaka memotong pembicaraan antara Badrina dan Nuraini. Segera dirinya berlari ke dapur memenuhi permintaan Arshaka.
Sampai-sampai ART juga bertanya ada apa di balik jeritan Arshaka. Dengan singkat, Badrina hanya menjawab terjadi insiden.
Badrina kembali dengan sebaskom air dingin dan kain. Ia menaruh di nakas samping ranjang. Arshaka masih meringkuk kesakitan.
"Mama keluar dulu bawa Canta, Rina tinggal," titah Arshaka tidak ingin ditolak.
"Tapi --"
"Ngga pakai tapi!" Arshaka membentak Badrina, bukan karena marah melainkan rasa sakit yang mendera.
Nuraini menggandeng Cantara untuk keluar dari kamar papanya. Wajahnya kebingungan, ia merasa bersalah. Cantara hanya bisa menuruti ajakan omanya untuk meningkalkan kamar papanya.
"Tolong peras kainnya." Badrina menuruti perintah Arshaka. Kain yang telah diperas ia berikan pada Arshaka. Pria itu menaruh di bagian yang bengkak di balik selimut yang dikenakannya. Ahh... di telinga Badrina, Arshaka malah terdengar mendesah seperti saat sedang bersamanya.
Badrina melambaikan tangannya berusaha menepis pikiran yang sedang melayang kemana- mana.
Arshaka menyerahkan kain yang suhunya mulai biasa itu kembali pada Badrina. Perempuan itu hanya melihat dan memelototi kain yang dilambaikan padanya, antara mengambil atau tidak.
"Rina! Peras lagi," pinta Arshaka. Badrina bergeming. "Kamu kenapa? Ck." Arshaka mengerti makna diamnya Badrina, "Kalau aku masuk rumah sakit, perawat yang akan melakukannya. Sekarang pertolongan pertama, kamu bisa bantu aku. Wajahmu seperti ngga pernah melihat saja." Mendadak Badrina memukul tangan Arshaka yang memegangi organ yang sakit.
"Awwwwwhhhhhh...." ******* tertahan keluar dari Arshaka sembari menggigit bibir bawahnya.
Badrina mengambil kain dari tangan Arshaka, mencelup ke air dan memeras kompres, kemudian menyerahkan kembali pada Arshaka.
Tindakan itu diulangi berkali-kali dibantu oleh Badrina.
Jam sarapan dilewati oleh Badrina dan Arshaka di kamar. Sarapan mereka diantar ART, sementara Nuraini bersama Cantara.
Bocah perempuan yang duduk manis di bangku makan merasa bersalah.
"Papa tidak kenapa-napa, Canta, ada mama Cantara yang menemani." Begitulah Nuraini menghubur hati cucunya.
Arshaka tidak dapat menikmati sarapan dengan menu kesukaannya itu. Ia malahan sakit kepala dan sedikit mual. Sewaktu Badrina bertanya apakah telah susut bengkaknya Arshaka menjawab dengan gelengan.
"Kamu harus ke dokter," saran Badrina pada Arshaka, "Mana tahu perlu dioperasi," Badrina tersenyum samar, mencoba bercanda pada mantan suaminya.
Arshaka menggelengkan kepalanya. Keringat bercucuran dari tubuhnya, terlihat seperti habis olahraga pagi. Pria itu sedang tidak bisa diajak bercanda.
"Aku temani." Badrina tahu Arshaka kurang senang dengan rumah sakit yang beraroma kuat.
"Jangan ke rumah sakit. Dokter praktek saja," pinta mantan suaminya.
Badrina mencari tahu dari aplikasi dokter jadwal praktek yang dapat dikunjungi. Ternyata, dokter ada pukul sepuluh, terpaksalah Arshaka menunggu.
Badrina menemani Arshaka menggunakan taksi menuju praktek dokter spesialis bedah urologi. Arshaka tidak mungkin menyetir dengan kondisi sakit, sementara Badrina tidak bisa menyetir.
Untuk naik dan turun taksi lalu naik dan turun ranjang harus dibantu oleh Badrina. Kali ini mereka tampak akur.
Sembari melakukan pemeriksaan fisik, Arshaka menceritakan kronologis kejadian serta gejala yang dialaminya. Badrina tidak masuk ke bilik pemeriksaan yang dibatasi gorden putih.
Setelah diperiksa, Badrina kembali masuk untuk menurunkan Arshaka dari ranjang pasien. Mereka duduk di bangku yang berbatasan meja dengan dokter.
"Setelah saya periksa ini kemungkinan kategori cedera ringan, Pak. Gejala sakit kepala dan mual hal yang wajar, itu manifestasi dari refleks vagus Anda yang mengirim sinyal dari organ vital ke sumsum tulang belakang dan batang otak. Anda tidak sampai muntah karena pada masing-masing orang memiliki tingkat toleransi terhadap rasa sakit," jelas dokter.
"Apakah ini bisa menurunkan kesuburan atau kemampuan saya untuk berhubungan, Dokter?" Mendengar pertanyaan Arshaka, Badrina terlihat gelisah. Pertanyaan Arshaka begitu frontal, Badrina berusaha duduk senormal mungkin.
"Apakah Bapak mengalami kesulitan buang air kecil atau ada rasa sakit?" tanya dokter.
"Tidak," jawab Arshaka cepat.
"Kaitan pada kemampuan berhubungan ****, saya pikir tidak berpengaruh bila cedera ringan. Mungkin kalau bengkak serta sakitnya hilang, Bapak dan Ibu bisa melakukannya untuk membuktikan apakah ada penurunan kemampuan," ucap dokter melihat Arshaka dan Badrina bergantian tanpa tahu pasangan di hadapannya bukan lagi suami istri.
Wajah Badrina seketika memerah mendengar perkataan dokter pria itu. Sebenarnya sakit perut hal biasa, tetapi ia dan Arshaka bukan lagi suami istri bahkan mereka telah lama tidak melakukannya saat jelang perceraian.
Arshaka berdehem untuk mengembalikan kesadarannya. Kemudian dokter memberi resep obat penghalang nyeri untuk beberapa hari. Arshaka diminta tetap mengompres dingin setiap hari bagian yang sakit, menggunakan celana longgar agar tidak menekan yang sakit dan menjaga kebersihan organ genitalia.
Bila sakit masih berlanjut setelah obat habis, maka pada Arshaka akan diambil tindakan lebih lanjut oleh dokter tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
lovely
😂😂😂 syukur in Lo shka
2022-10-29
1