Tidak lama setelah itu Elmira datang, berdiri di samping Arshaka. Elmira beradu pandang dengan Danish, tidak menyangka mereka kembali bertemu. Perempuan itu kembali menetralkan mimik keterkejutannya. Elmira dan Danish saling mengenal juga, Danish teman mendiang suaminya.
Bahkan di saat terakhir, mendiang suaminya berpesan agar Elmira dijaga oleh Danish dengan menikahi perempuan itu. Danish dianggap memiliki emosi yang baik sebagai suami dan Elmira akan mudah mencintai Danish sekiranya mereka menikah.
Elmira tidak setuju bahkan menghilang dari hidup Danish dua tahun ini dan tidak menyangka berjumpa di restoran ini bersama Arshaka.
Danish sedikit canggung, ia juga mampu menormalkan kembali rasa dalam dirinya.
"Okelah Shaka, gue duluan. Harus balik kantor lagi," pamit Danish pada Arshaka tanpa menyapa Elmira.
Sepanjang perjalanan menuju kantor Arshaka, Elmira menanyakan tentang Danish.
"Tadi teman kamu kerja?"
"Ia. Manajer bagian operasional. Orangnya baik masih single loh. Mau aku kenalin ngga?" Arshaka melirik, Elmira yang dilirik tak bereaksi berlebihan terhadap apa yang didengarnya.
"Mau jodohin aku ceritanya," respon Elmira kemudian.
"Ya, kali aja kamu mulai buka hati setelah 4 tahun ini."
Elmira tertawa, Arshaka pun demikian. Perkataan Elmira selanjutnya membuat suasana dalam mobil diliputi keheningan.
"Kenapa ngga kamu saja, juga single kan?"
Elmira perempuan yang berani. Belum ada genap sebulan perceraian Arshaka, ia langsung mengambil jalan cepat meskipun disampaikan dalam keadaan bercanda.
Elmira telah lama menyimpan rasa dengan sahabatnya, Arshaka, sayangnya status pernikahan Arshaka membuatnya tidak leluasa untuk mendekatinya. Dengan status Arshaka kini, tidak ada lagi sebenarnya penghalang untuk mereka berdua dekat sebagai kekasih.
"Udah sampai nih. Kamu langsung balik ke kantor lagi?" Arshaka tidak menanggapi perkataan Elmira tadi.
"Iya, aku ngga naik ya. Mm... aku harap perkataan aku terakhir bisa kamu pertimbangkan, Shaka."
Elmira keluar dan menuju mobilnya dalam parkiran bawah. Arshaka masih diam dalam mobilnya hingga bunyi klakson mobil di belakang menyadarkan lamunannya.
Sore sehari setelahnya, Cantara sedang bermain ditemani Badrina. Badrina telah memberitahu pada anaknya bahwa ayahnya akan ke rumah menemuinya.
Arshaka menepati janji, ia datang ke rumah lama mereka. Pria itu disambut Cantara, diajak ke ruang keluarga. Badrina beranjak ke dapur dan menyiapkan minuman dan makanan ringan untuk dicicipi.
Badrina memberi ruang untuk pertemuan antara ayah dan anak. Ia menjauh tidak terlibat dalam percakapan. Badrina memutuskan masuk ke dalam kamarnya. Ia memilih duduk membaca buku yang diberikan Danish. Badrina tertarik untuk mulai memahami dirinya sendiri, mengasuh ulang dirinya yang di masa kecil tidak terpenuhi kebutuhan emosinya.
Belum lagi ada 30 menit membaca, ketukan pintu kamarnya mengalihkan konsentrasinya. Ia membuka pintu dan mendapati anaknya Cantara. Gadis kecil itu masuk dan menutup pintu.
"Mama... aku dan papa menunggu mama. Mama lama sekali ternyata sedang di kamar," jelas Cantara.
Badrina mengira setelah berjumpa ayahnya, Cantara akan fokus saja bermain bersama Arshaka.
"Ooh... Mama sedang ingin istirahat, Sayang."
"Mama sakit? Aku panggil papa ya." Cantara yang membalik tubuhnya, panggilan Badrina menghentikan langkah kecilnya.
"Eeh... Canta ngga usah. Mama hanya lelah saja."
"Kalau begitu mama minta pijat sama papa," usul Cantara antusias.
Cantara hanya mengatakan apa yang sering ia lihat dari papa dan mamanya. Meski mereka sering ribut, sebenarnya suami istri itu juga saling perhatian dulunya.
"Canta, ngga usah ya, Nak. Sebentar saja mama istirahatnya."
Cantara diam hanya menatap manik mamanya, ia sebenarnya tidak menemukan pertanda lelah di wajah mamanya. Ia melihat mamanya baik-baik saja.
Cantarq menunduk sedih dan tidak memaksa Badrina lagi, meskipun ia rindu ingin bermain ditemani papa dan mamanya.
Bocah itu merasa dirinya harus mengerti kondisi mamanya yang butuh istirahat. Cantara memutar tubuhnya, menjinjit membuka pintu tanpa pamit menuju tempat sang ayah.
Badrina serba salah, helaan berat keluar dari hidungnya. Ia sedang tidak ingin bertemu dengan ayah anaknya. Namun, hati anaknya malah terluka melihat ia tak mau menghabiskan waktu bersama.
Badrina memilih keluar dari kamar dan melihat Cantara dalam pelukan ayahnya. Mereka diam tak bersuara, Arshaka mengusap-usap kepala Cantara. Bocah perempuan itu mengabaikan permainan favoritnya karena kesedihan mendominasi hatinya.
"Canta...."
Cantara menoleh ke belakang, mamanya datang, seketika kegirangan menyelimuti Cantara. Suasana hatinya mendadak bangkit gembira.
"Mama... mau ikut bermain sama aku dan papa?" Mudah sekali berubah suasana hati anak-anak, batin Badrina.
"Iya... istirahat mama sudah selesai. Canta main apa?"
"Sini, Ma... aku sama papa lagi main scrabble sekalian belajar huruf dan bahasa Inggris, Ma." Binar bahagia terpancar dari Cantara.
Ya, Cantara meski usia 5 tahun, ia telah mengenal huruf A-Z. Meskipun demikian, Badrina tidak pernah memaksa putrinya untuk belajar membaca. Namun, mereka menyediakan alat stimulasi edukatif agar Cantara menggemari pengenalan huruf dan bahasa.
Badrina duduk di sebelah Cantara, yang duduk di tengah-tengah antara papa dan mamanya. Pasangan mantan suami istri itu terlihat kikuk. Mereka mencoba menyamankan diri masing-masing.
Cantara begitu senang, lama ia tak merasa bisa bersama papa dan mamanya. Sewaktu permainan scrabble selesai, Cantara barulah bersedia melanjutkan bermain boneka sendirian.
"Kamu tadi ngga enak badan?" tanya Arshaka
"Hm... ngga... tadinya pingin istirahat. " Badrina tidak ingin banyak bicara pada mantan suaminya. Arshakalah yang banyak bertanya pada Badrina, itu pun dijawab pendek dan tidak berbalas tanya.
Tiba jam makan malam, Badrina mengajak Cantara makan setelah melakukan ritual mandi sore. Arshaka ingin pamit pulang, tetapi Cantara tidak terima.
"Mengapa sih papa pergi lagi, ini 'kan sudah malam?"
Mereka tidak tahu akan memberi jawaban apa.
"Kemarin itu mama pergi, sekarang papa yang pergi. Kenapa sih? Canta ngga suka sendirian." Cantara melipat tangannya di depan dada.
Cantara mulai menangis, ia tidak memahami kondisi yang baginya janggal seperti saat ini. Badrina berusaha memeluk putrinya, tetapi ditepis lalu menangis tersedu.
Arshaka mengambil sikap, ia mengajak Cantara makan malam.
Bocah itu tetap menolak, ia malah melempar mainannya ke sembarang arah untuk meluapkan emosinya. Arshaka akhirnya mengatakan akan tinggal bersama Cantara. Anak itu senang hati mendengar kalimat papanya.
"Bener, Pa? Papa ngga bohongin Canta?" Sesenggukan Cantara berbicara.
"Iya, Papa janji."
Cantara menyimpan tanda tanya dalam hatinya melihat hubungan papa dan mamanya yang tidak seperti biasanya. Namun, dia sendiri bingung mau katakan apa kepada orang tuanya.
Arshaka bersedia menemani anaknya bermain di kamar, sampai Cantara tertidur sendiri akibat kelelahan.
"Canta sudah tidur?" tanya Badrina. Arshaka duduk di sofa tepat di sebelah Badrina, mereka di ruang tamu.
"Sudah." Arshaka menjawab.
"Kita harus bicarakan status kita kepada Canta. Aku tidak mau dia bingung dan terus meminta kebersamaan seperti dulu. Itu hanya akan menyakitinya." Badrina membuka pembicaraan, ia mengusulkan sesuatu.
Arshaka menatap Badrina. Dirinya juga serba salah dalam hal ini, emosi sesaat rupanya telah membawa efek yang tidak diduga sebelumnya. Mereka seperti tidak siap dengan yang namanya perceraian. Arshaka menyugar rambutnya hitamnya.
"Mm... Rina, apakah aku bisa bicara sebentar. Ini serius!" pinta Arshaka pada mantan istrinya.
"Apa katakan saja," jawab Badrina tanpa menoleh.
"Bisakah kita... Bisakah kita bicara tentang rujuk? Demi Canta," kata Arshaka perlahan, ia masih menatap mantan istrinya dari samping.
Mendengar permintaan Arshaka, Badrina rasanya ingin marah. Mantan suaminya begitu mudah mengucap cerai, kemudian ingin menariknya kembali.
"Kamu pikir pernikahan ini permainan! Kamu mau rujuk demi Canta, supaya Canta tenang dan nyaman. Kamu ada berpikir tentang aku!?" Badrina membalas sengit tatapan suaminya. Nafas Badrina tersengal naik turun.
"Ya, Canta masih terlalu kecil untuk berusaha memahami kita. Perceraian ini akan sangat melukainya." Arshaka memperjelas alasannya untuk meminta rujuk.
"Lantas, pelajaran apa yang kamu dapat dari relasi kita yang tidak sehat? Memangnya kamu sudah siap terima aku dengan segala emosiku yang naik turun?" tanya Badrina terkekeh menantang Arshaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments