Badrina dan Cantara telah turun ke lobi mal. Mereka tengah menunggu antrian namanya dipanggil untuk bisa menggunakan jasa taksi.
Sesaat Badrina memasuki kendaraan, Arshaka menyusul. Pria itu menahan pintu mobil bagian penumpang belakang yang akan ditutup Badrina.
Posisi duduk mereka sebaris ada Arshaka, Badrina di tengah dan Cantara di ujung dekat pintu, "Jalan, Pak," ujar Badrina pada pengemudi taksi.
Terdengar suara nafas berat Arshaka sedang berusaha menghirup udara. Badrina memilih berdiam sebab begitu lebih baik daripada berbicara malah menuai keributan dalam taksi.
Di perjalanan pulang, Cantara tertidur, bocah itu menyender penuh pada Badrina. Berat Cantara yang hampir mencapai 20 kg membuat posisi duduk Badrina terdesak ke Arshaka.
Badrina menegakkan badannya, memiringkan tubuh membelakangi Arshaka agar posisi tidur Cantara lebih nyaman.
Sebentar saja Badrina kuat dengan posisi seperti itu. Perjalanan macet membuat waktu lebih panjang untuk bisa tiba di rumah Nuraini. Ya, Badrina memutuskan kembali ke sana menuruti pesan Nuraini sebelum mereka pergi ke mal tadi sore.
"Badannya jangan dipaksakan tegak, nanti pegal, sakit pinggang," ucap Arshaka kecil. Pria itu memperhatikan usaha mantan istrinya sedari tadi.
"Senderan ke aku ngga apa-apa kok," sambungnya sedikit terkekeh. Suara bisikan Arshaka bukannya membuat Badrina menurut, malahan dirinya menggeser Cantara ke kanan sedikit agar bisa menjarak dari Arshaka.
Badrina tidak bersedia dekat-dekat Arshaka lagi sebenarnya, tetapi selalu saja ada peristiwa konyol yang membuat mereka harus berdampingan seperti saat ini.
Perempuan itu menahankan tubuhnya menjadi sandaran bagi putri kecilnya, seakan-akan menganggap Arshaka tidak sedang bersamanya.
Sesampainya di gerbang rumah Nuraini, Badrina segera membayar tarif taksi, mengangkut belanjaan, dan menggendong Cantara dengan kesusahan, "Sudah sini Canta sama aku," tawar Arshaka sembari mengulurkan tangannya, setelah taksi melaju kembali.
"Memangnya kuat angkat?" tanya Badrina dingin, perempuan itu khawatir kalau Cantara terjatuh saat digendong oleh Arshaka.
"Jangan ragukan kekuatanku, Rina. Yang sakit bagian bawah, tanganku tidak lumpuh," timpalnya menunjukkan kedua tangannya. "Jangankan Canta, kalaupun kamu minta gendong, aku kuat." Arshaka menepuk-nepuk dadanya.
Badrina mendelik pada Arshaka. Pria itu mengambil alih Cantara dalam gendongannya.
Badrina lebih dulu berlalu masuk ke dalam rumah. Arshaka tersenyum senang mengerjai mantan istrinya yang berekspresi dingin sedari pulang tadi.
Nuraini telah beristirahat, tidak lagi menyambut kedatangan mereka. Badrina meminta Cantara dibawa ke dalam kamarnya saja bukan Nuraini, ia tidak ingin mengganggu kepulasan istirahat mantan mama mertuanya dengan menaruh Cantara ke kamar itu.
Arshaka menaruh perlahan putrinya di ranjang. Badrina segera membuka sepatu dan mengganti pakaian Cantara dengan perlahan. Bocah itu tidak terbangun sehingga Badrina tidak bisa menyeka dan menemani Cantara untuk sikat gigi.
Arshaka masih berada di dalam kamar, berdiri tidak jauh dari mereka. Ia memperhatikan apa yang dilakukan oleh mantan istrinya.
Selesai mengurus Cantara, Badrina mendapati keberadaan Arshaka di kamar. Dirinya keheranan, seharusnya Arshaka menuju kamarnya sendiri untuk beristirahat, "Ada keperluan lagi?" tanya Badrina.
Perempuan itu turun dari ranjang, menggelung rambutnya ke atas kepala, ia rencana akan membasuh diri. Tidak ada respon dari Arshaka.
Badrina menoleh ia mendapati Arshaka telah berdiri menatap tubuhnya, seperti akan memangsanya.
"Hei! Kamu mau apa?" tanya Badrina dengan volume suara tertahan. Badrina melangkah mundur, ambil kuda-kuda untuk segera menghajar Arshaka bila pria itu akan melakukan tindakan yang tidak semestinya.
"Badrina...." ujar Arshaka dengan suara berat dan rendah, mirip bisikan. Ia berjalan perlahan menuju Badrina. Tangan Badrina telah siaga untuk menangkis model pemaksaan apa saja yang akan dilayangkan oleh Arshaka.
Tangan Arshaka terulur ke depan wajah Badrina menuju bahunya. Badrina telah siap menampik gerakan tangan pria itu, tetapi pundaknya telah lebih dulu dicekal Arshaka, "Dapat!", ujarnya.
Badrina terhenyak di tempat, wajah Arshaka begitu dekat dengannya, bahkan aroma tubuh pria itu dapat diendusnya.
"Ada serangga di pundak kamu. Mau lihat?" tawar Arshaka, menunjukkan tangannya yang tertutup.
Badrina membeku mendengar kata serangga. Ia menggeleng tidak mau, panik, dan gemetar membayangkan serangga jatuh di pundaknya.
Badrina memang memiliki histori rasa takut terhadap beberapa serangga seperti kecoa, belalang, lebah, dan kumbang sedari kecil.
"Iiihhh... jauhkan dari aku," ucapnya hampir berteriak. Arshaka menuju jendela dan melemparkan serangga yang tak lain kumbang itu. Ia tidak tega membunuh hewan kecil itu.
Selesai itu, dia kembali pada Badrina. "Sudah... tarik nafas panjang, Rina," arahan Arshaka. "Kumbangnya sudah aku buang," sambungnya berusaha menenangkan Badrina.
Perempuan itu mengikuti apa yang dikatakan Arshaka. Arshaka menuang air ke gelas yang tersedia di kamar Badrina lalu menyerahkannya. Badrina meneguknya hingga tandas sampai terdengar bunyi tegukan air.
"Kamu belum pergi terapi intervensi?" tanya Arshaka.
"Belum sempat. Semenjak Canta penuh bersamaku, belum ada kesempatan buat ninggalin Canta. Kalau terapi 'kan tidak bisa sekali dua kali," terang Badrina setelah minum. Ia mengembalikan gelas kosong pada Arshaka.
Arshaka menatap lekat wajah Badrina, dipandanginya dengan empati. Pria itu tahu banyak penderitaan masa kecil Badrina.
Perempuan itu takut pada serangga karena pada saat kecil bila ia nakal, padanya akan dihadapkan banyak jenis serangga untuk menakut-nakuti agar Badrina menurut.
Badrina pernah menceritakan ketakutannya pada serangga di awal mereka pacaran, sehingga Arshaka selalu siap sedia bila ada serangga mendekat.
Hanya saja, dulu mereka belum memahami bahwa fobia adalah kondisi menyangkut psikologis dan pengalaman semasa kecil Badrina.
Baru-baru ini sebelum perceraian terjadi mereka berkonsultasi pada psikiater untuk mencari tahu apa yang dialami oleh Badrina. Setelah bercerai, tidak ada lagi perhatian pada masalah yang dialami oleh mantan pasangan.
Kini Arshaka sedikit memahami kondisi emosional Badrina hari ini tidak terlepas dari peristiwa sulit di masa lalu.
Arshaka keluar dari kamar Badrina setelah perempuan itu mengatakan ingin membasuh diri. Di kamarnya Arshaka juga melakukan hal sama agar istirahatnya nanti tidak terganggu karena keringat masih menempel di badan.
Selesai itu, sewaktu Arshaka akan beristirahat, pikirannya menyoroti Badrina dan Cantara kembali. Saat itu, masuk notifikasi pesan yang ternyata dari Elmira.
[Sudah tidur, Shaka?]
[Ya, Mira. Bagaimana biaya tadi, berapa besar Mira? Aku akan transfer malam ini] tawar Arshaka langsung ke pokok.
[Ah kamu, seperti orang lain saja. Biar aku yang bayar, anggap saja aku menraktir kalian] respon Elmira.
[Baiklah Mira kalau begitu. Aku ucapin terima kasih buat kamu yang selalu baik pada keluargaku] balas Arshaka lagi.
Arshaka mengakhiri teks percakapan, Elmira sebenernya masih ingin berbincang dengan Arshaka. Namun, mengingat waktu yang hampir tengah malam, Elmira tidak dapat memaksa Arshaka.
Elmira sungguh merasa harus mendapatkan Arshaka bagaimanapun caranya. Dulu ia tidak mampu mengungkapkan perasaannya pada Arshaka sebab ia terlahir dari keluarga tak sederajat meski mereka berteman. Untuk saat ini, Elmira merasa memiliki banyak materi yang membuatnya lebih percaya diri mendekati sahabatnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments