Badrina berjalan tergesa-gesa dengan perasaan khawatir, setelah pihak sekolah menelepon memberi tahu putri kesayangannya menangis terus-menerus. Tidak ada guru yang mampu menenangkan bocah itu.
Cantara duduk menangis sesenggukan di sofa, membelakangi semua orang yang ada dalam ruangan. Ia memilih menghadap tembok putih ruang guru sambil tangannya memilin-milin ujung rok sekolahnya.
Keterkejutannya akan ucapan Parama tentang kedua orang tuanya membuat hati Cantara dirundung sedih.
Seragam sekolahnya tidak hanya basah oleh air mata melainkan hidung berair dan keringat yang mengucur. Cantara tentu saja tidak terima perkataan Parama yang mengatakan papa mamanya bertengkar dan kini sudah bercerai.
Badrina terengah masuk ke dalam ruang guru, setelah mengucapkan salam. Mendengar suara mamanya, Cantara berlari menghambur ke pelukan Badrina. Tangisnya makin kencang dan pilu, kata yang keluar dari bibir Cantara tidak terdengar jelas sama sekali.
Badrina turut berkaca-kaca, ia mengelus-elus kepala Cantara. "Ada Mama di sini, Canta," ujarnya lalu Badrina berlutut menyetarakan tinggi badan dengan Cantara.
Perempuan itu belum tahu apa yang menjadi penyebab putrinya menangis. Meskipun begitu penasaran, Badrina lebih dulu menenangkan anaknya yang terlihat dilanda kesedihan sebelum menanyakan permasalahan yang terjadi pada para guru.
Cantara sedikit lebih tenang, setelah mendapat pelukan dari Badrina. Mereka berpindah duduk di sofa, berpelukan. Tidak banyak kata dari Badrina, tinggal isakan kecil keluar.
Badrina ingin menanyakan pada guru, tetapi ia khawatir bila dijelaskan kronologinya, Cantara akan kembali menangis bila mendengarnya. Badrina menahan diri untuk itu.
Tidak lama setelah kedatangan Badrina, Arshaka datang dengan langkah panjang menuju ruang guru. Dirinyapun dihubungi oleh pihak sekolah.
Dalam peraturan sekolah, bila ada anak yang bermasalah maka kedua orang tua/wali akan dihubungi. Untuk siapa yang datang memenuhi panggilan menjadi keputusan keluarga.
Arshaka mengambil posisi untuk duduk di bangku tunggal, "Canta sayang." Arshaka mengelus kepala sampai punggung Cantara.
Anak itu tidak mendengar papanya tadi datang sebab Arshaka langsung masuk begitu sampai. Para guru yang menyaksikan mulai menilai-nilai kedua orang tua Cantara tidak seperti pasangan cerai pada umumnya.
"Papa...." Cantara berpindah dari pelukan Badrina ke Arshaka. Cantara terisak-isak kembali.
"Parama bilang... papa sama mama Canta bertengkar... lalu bercerai. Canta bilang tidak... tapi Parama bilang bercerai," adunya dengan isakan tidak begitu jelas pada Arshaka. Cantara yang dipeluk mendongak melihat Arshaka yang syok mendengar penuturan putrinya.
Meskipun ucapan Cantara dibarengi isak tangis, Badrina memahami pemicu anaknya menjadi seperti saat ini. "Parama bohong kan, Pa." Cantara meminta keterangan dari papanya. Arshaka terhenyak, tidak bisa menjawab hanya berpandangan dengan Badrina.
Badrina mengepalkan tangan lalu ia keluar dengan emosi menggelegak. Perempuan itu mencari Parama di antara anak-anak bertepatan jam pulang sekolah.
Pandangannya jatuh pada seorang anak laki-laki bertubuh bongsor yang digandeng seorang perempuan menuju parkiran.
Badrina melangkah lebar, saat telah dekat ia menarik tangan Parama untuk menghadapnya, "Apa yang kamu bilang pada Canta?" tatapan sengit itu membuat bocah laki-laki itu takut.
"Hei! Apa-apaan menarik tangan anak saya!" Perempuan yang tidak lain mama Parama menghardik Badrina. Tidak terima anaknya diperlakukan kasar.
"He... Keluarga tukang gosip, Anda tahu anak Anda mengatakan sesuatu yang tidak sesuai umurnya. Apa yang Anda ajari pada anak Anda?" Ucapan Badrina penuh duri, ditancapkan pada ibunda Parama. Parama yang ketakutan bersembunyi di balik tubuh mamanya.
"Memangnya apa yang terjadi?" Mama Parama tidak tahu menahu permasalahan yang terjadi, bahkan pihak sekolah tidak mengatakan apapun padanya.
Badrina heran berarti tidak ada teguran pada Parama melalui orang tuanya.
"Anak saya, Cantara, tidak berhenti menangis karena mulut anak Anda." Tunjuknya pada Parama. "Umur lima tahun bicara soal perceraian, siapa yang mengajari anak itu? Saya yakin orang tuanya tukang gosip atau pengonsumsi berita gosip televisi!" Badrina berang terus menyerang mama Parama.
Mama Parama tidak terima dilabeli tukang gosip, ia langsung menerjang Badrina dengan menarik kemeja depannya. Badrina berhasil mengelak lalu memelintir tangan mama Parama. Suara kesakitan mama Parama seketika membuat bocah itu menjerit keras.
Perhatian banyak orang terserap pada kejadian itu. Arshaka melerai sebelum terjadi pertikaian yang lebih parah. Tadi ia menitipkan Cantara pada seorang guru dan memintanya untuk tidak membawa keluar.
Arshaka telah menduga amarah Badrina memuncak, begitu mendengar penuturan putrinya. Ia berusaha memberi penjelasan pada Cantara sebelum keluar mengejar Badrina.
Perundungan dari orang lain pernah dialami Badrina sewaktu kecil. Tidak ada yang membelanya kala itu, kini perempuan itu tidak akan diam saja saat kejadian itu menimpa Cantara.
"Rina, lepaskan!" tegas Arshaka, ia meringis melihat Badrina seperti ingin mematikan lawan di hadapannya. Parama sendiri telah diamankan menjauh oleh guru.
Dengan usaha keras Arshaka, pelintiran Badrina terlepas. Hanya saja, mama Parama kepalang marah, ia menyerang balik Badrina.
Arshaka cepat menarik Badrina dari belakang untuk menjauh, terpaksa ia memeluk mantan istrinya dari belakang. Kaki dan tangan Badrina berusaha menendang dan mencakar mama Parama yang juga kesetanan.
Arshaka benar-benar kewalahan mengatasi kekuatan fisik mantan istrinya yang dipicu oleh amarah. Belum lagi mama Parama yang terus-terusan maju. Tidak lama, mama Parama ditahan oleh dua orang guru dari belakang tubuhnya. Mereka dibawa menjarak agar tidak terjadi perkelahian fisik lebih lama.
"Lepaskan aku!" teriak Badrina sembari mengurai lilitan tangan Arshaka di perutnya.
Badrina dilepas oleh Arshaka. Ia membalik tubuhnya lalu menyemprot Arshaka dengan kata-kata ketus. "Kamu kenapa tidak biarkan aku menghajar perempuan itu. Dia yang menyebabkan Cantara menangis!"
Arshaka bisa melihat kilat amarah bercampur dengan luka. Ia merasa kasihan pada Badrina bukan lagi balik memarahi. Arshaka merasa gagal tidak memerhatikan emosi mantan istrinya selama ini. Ternyata hal kecil bisa saja membuat Badrina menjadi pelaku kriminal.
Bagi Arshaka masalah seperti ini bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Namun, ia melihat tidak bagi Badrina.
"Kita pulang!" suara Arshaka terdengar tegas tetapi rendah.
"Tidak mau pulang bareng kamu!" sanggah Badrina dibarengi nafas kencang.
Arshaka tidak mungkin membentak atau memarahi balik mantan istrinya di depan publik, "Kali ini turuti aku Badrina Aini," Arshaka melayangkan tatapan mendalam ke manik mata Badrina.
Menghela nafas, Badrina berjalan menuju ke ruang guru, "Ayo Canta, kita pulang, Nak," ujar Badrina. Ia melangkah keluar ruangan tanpa mengucap salam pada para guru yang terlihat takut.
Badrina menilai para guru memandang kasus ini seperti kejadian biasa-biasa. Orang tua Parama ternyata tidak dipanggil, mereka melenggang pulang karena guru tidak memberitahu apapun pada orang tua Parama. Sementara anaknya harus menuai kesedihan dan mungkin setelah ini entah apa yang akan terjadi pada mental Cantara.
Apakah para guru tahu bahwa mereka berusaha keras untuk memilih waktu tepat untuk menyampaikan masalah perceraian mereka pada Cantara tanpa campur tangan siapapun?
Apakah para guru tidak bisa memanggil orang tua Parama dan menyatakan kekeliruan mereka sampai-sampai Parama mengonsumsi berita yang tidak sesuai usianya, bahkan menjadi penyebar gosip di sekolah?
Pola pengasuhan macam apa yang diterapkan di rumah Parama? Badrina tidak habis pikir untuk itu semua.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
lovely
kendalikan emosi mu bandrina
2022-11-16
2