Setelah dirawat selama seminggu Cantara diijinkan pulang ke rumah. Badrina mengemasi barang dan pakaian anaknya, sementara Arshaka menyelesaikan administrasi rumah sakit.
Selama seminggu perawatan di rumah sakit Badrina dan Arshaka mencurahkan kasih sayang dan melupakan masalah yang pernah membelit hubungan mereka.
Menyuapi makan Cantara, mengelap tubuh, menceritakan isi buku, menemani tidur dan beberapa bentuk kasih sayang lain ditunjukkan oleh mereka sebagai orang tua.
Arshaka dan Badrina tidak banyak bicara, masing-masing menahan diri. Bila perlu bicara, hanya seperlunya terkait kebutuhan Cantara.
Saat akan pulang dari rumah sakit, Arshaka menyampaikan pada Cantara bahwa ia akan pulang bersama mamanya.
"Papa mau ke mana, ngga pulang juga?" tanya Cantara.
Arshaka kelabakan mau menjawab pertanyaan putrinya. Pasti ke depan akan banyak sekali pertanyaan lainnya.
"Papa ada pekerjaan sayang." Jawaban itu berasal dari Badrina.
"Berarti nanti pulang ke rumah?"
Ini jawaban yang sulit untuk dijawab oleh mereka.
Badrina hanya bisa mengganti topik pembicaraan agar mereka bisa segera teralihkan dari pertanyaan Cantara.
Sebelumnya, Arshaka berniat mengantar kepulangan Cantara dan mamanya ke rumah. Namun, Badrina menolak dan mengatakan akan pulang naik taksi saja. Arshaka tidak memaksakan diri. Ia akan kembali ke kantor setelah dari rumah sakit.
Kini, Badrina dan putrinya tiba di rumah. Rumah yang diserahkan oleh mantan suami untuk ditempati anaknya. Badrina turut tinggal di sana.
"Canta, senang pulang, Nak?" Turun dari taksi Badrina menggenggam tangan anaknya.
"Iya mama senang." Canta senyum memperlihatkan barisan gigi susunya yang rapi.
Badrina mengajak anaknya menuju ke kamar, mengganti pakaian, mencuci tangan dan kaki lalu naik ke ranjang.
Mereka berdua duduk menyender di ranjang kamar. Cantara senang bisa memeluk mamanya seperti saat ini.
"Canta sayang papa dan mama," ujarnya tersenyum.
Kepolosan Cantara membuat air mata Badrina lolos begitu saja. Sesak saja terasa di dadanya mendengar kejujuran sang anak.
"Mama sama papa juga sayang Canta. Bobok dulu ya. Canta capek?" Cantara mengangguk patuh.
"Nanti sore kita jalan-jalan di sekitar rumah. Kalau udah sehat, bisa jalan-jalan ke mall." Badrina tersenyum menyemangati putri kesayangannya.
Kesempatan luang ini digunakan Badrina untuk masuk ke dalam kamar pribadinya. Ia perlu menyusun rencana untuk hidup ke depan, juga bagaimana menghadapi anaknya yang pasti akan menanyakan ada apa dengan papa dan mamanya, kenapa berlainan tempat tinggal.
Badrina tidak bisa menangisi takdir hidupnya terus-menerus. Bukankah itu yang direfleksikannya saat liburan yang terputus lalu?
Dimana pun ia merenung, tidak masalah, lokasinya di mana yang terpenting hatinya merasa nyaman. Kamar tidurnya pun cukup memberi rasa itu, ditambah ada Cantara di dekatnya.
Perenungan diri Badrina bukan pertama-tama tentang anaknya, melainkan tentang dirinya sendiri yang mudah tersulut emosi selama menjadi orang tua.
Badrina mengambil posisi dekat jendela, duduk sambil membaca sebuah buku yang diberikan oleh seorang pria saat liburan lalu. Pria rekan kerja ayahnya Cantara, seorang manajer operasional di perusahaan yang sama dengan mantan suaminya.
Pria itu tahu dengan permasalahan rumah tangga Arshaka. Bukan motif ekonomi melainkan ada kebutuhan emosi Badrina yang belum terpenuhi di masa lalu yang kemudian hadir di hari ini terutama saat ia merasa di bawah tekanan. Pria itu menyebut inner child Badrina yang terluka.
"Ketepatan kita ketemu di sini, Aini." Itu panggilan masa kecil Badrina. Mereka teman sewaktu Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP). Setelah itu mereka pisah kota karena pekerjaan orang tua, hingga akhirnya berjumpa kembali saat telah menjadi rekan kerja ayah Cantara.
"Hai, Danish. Kunjungan kerja atau liburan?"
"Dua-duanya," jawabnya.
Danish Danial nama pria itu. Pria tampan tak kalah dari ayahnya Cantara. Ia lebih muda dua tahun dari ayah Cantara, seumuran Badrina. Danish belum menikah meski telah masuk kepala tiga. Ia betah sendiri sampai nanti berjodoh dengan orang yang tepat.
Biasanya perjumpaan mereka tanpa disengaja. Bila Badrina berkunjung ke kantor mantan suaminya, sesekali tatap muka dengan Danish. Tidak ada yang istimewa dari komunikasi mereka selama ini.
Dua hari liburan mereka jadi teman berbincang. Badrina membuka kembali masa lalu yang keras. Percakapan itu dipancing oleh Danish. Bagi Danish, Badrina membutuhkan teman bicara. Ia hanya mendengar semua cerita Badrina tanpa menasihati.
Sesenggukan Badrina menceritakan kesulitannya untuk mengelola emosi saat dekat dengan suaminya, terutama setelah memiliki anak. Danish merasa berempati terhadap apa yang dilalui Badrina.
Sebelum permohonan cerai talak dilayangkan temannya, Danish telah mengingatkan agar Arshaka dapat melihat problem dari sisi Badrina, tentang masa lalu, kebutuhan yang belum terpenuhi, tentang temperamen, dan perasaan Badrina.
Namun, Arshaka kelewat kesal dan saran Danish hanya akan membuang waktu. Arshaka tidak lagi mengurai itu semua dalam komunikasi yang baik dengan istrinya.
Apalagi sewaktu dituduh berselingkuh, Badrina pernah menampar Arshaka. Meskipun Badrina akhirnya meminta maaf pada suaminya, peristiwa itu menyisakan sakit di hati Arshaka.
__**__
Badrina mulai membaca lembaran demi lembaran buku yang dibacanya. Kadang ia mengulangi kembali paragraf yang membuatnya bingung atau disukai. Sesekali ia mengusap air matanya yang membasahi pipinya.
Kisah orang-orang yang hidup dalam dunia pernikahan, mengalami badai gelombang pada relasi suami, istri, dan anak. Badrina tidak sendirian menghadapi masalahnya.
Sesekali pula ia menyesap teh panas yang mulai mendingin karena pendingin ruangan. Badrina tertarik untuk mendalami isi buku itu, benar-benar terkoneksi dengan masalah hidupnya kini.
Dering notifikasi pesan pendek mengalihkan konsentrasi Badrina. Pesan Arshaka masuk dan mengatakan akan ke rumah besok sore untuk melihat anaknya, Cantara.
Badrina sebenarnya menginginkan agar mereka tidak dulu bertemu, tetapi dia tidak bisa egois sebab Cantara membutuhkan ayahnya. Badrina membalas pesan mantan suaminya dengan jawaban singkat 'silakan'.
Arshaka yang mendapat pesan balasan itu tersenyum senang. Ia diperbolehkan menemui anaknya nanti.
"Hai Shaka...." Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam ruangan Arshaka. Ia adalah teman baiknya dari kecil, Elmira Rahman. Semenjak Arshaka bercerai, Elmira kerap mendatangi kantor Arshaka.
"Eh, Hai! Masuk Mira."
Elmira masuk, mereka berpelukan. Arshaka dan Elmira telah seperti saudara sendiri. Elmira sendiri sudah ditinggal suami karena mengalami kecelakaan tunggal empat tahun yang lalu.
Meski masing-masing telah berkeluarga tidak membuat mereka jauh satu dengan yang lain.
"Sudah makan siang? Aku mau ajak kamu makan di tempat yang hm... makanannya enak banget."
"Kebetulan nih, baru mau pulang, rencananya cari makan."
"Pulang ke mana? Rumah Badrina?" ledek Elmira, perempuan itu tertawa lepas.
Arshaka kikuk. Sebelum hubungan memburuk antara ia dan mantan istrinya, hal biasa seorang suami pulang ke rumah untuk bertemu istri dan anaknya.
"Hehe... rumah Mamalah, kemana lagi." Arshaka meluruskan.
"Tapi, kalau ada restoran yang menunya enak, boleh kita ke sana aja," tambah Arshaka.
Mereka pun keluar dan menuju ke restoran yang dimaksud.
Di sana mereka berbincang tentang perusahaan tempat mereka bekerja masing-masing. Saat akan kembali ke kantor, Elmira ijin ke toilet sebentar. Arshaka melihat Danish dan anggota divisi dibawah manajemennya dan memutuskan menyapanya.
"Hei Danish! Lagi meeting sama divisi?" Arshaka menepuk pundak Danish.
"Eh.. Shaka! Iya tapi udah selesai mau balik kantor. Cuma sebentar makan siang doang. Lo ke sini sendiri?" tanya Danish.
"Ngga... bareng temen."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments