Bab • 12 •

"Hei, kenapa?" bahkan jentikkan jemari Aksa di wajah Arumi untuk menyadarkannya dari lamunan, semakin mengingatkan nya dengan Tania. mereka berdua terlihat mirip dengan tingkahnya.

"Tidak apa-apa." Arumi menggeleng pelan.

"Jadi apakah mulai saat ini kita adalah teman?" tanya Aksa dengan senyuman yang tak pernah luntur.

Arumi mengangguk samar. "Tentu teman suamiku, teman ku juga." jawab Arumi.

***

"Papa sudah menyiapkan kediaman nyaman di jln. Kertajaya, dekat dengan kantor, secepatnya kamu dan Arumi pindah ke rumah yang sudah papa beli."

"Pah, kenapa memutuskan sepihak seperti ini? soal rumah biarkan aku yang memilih sendiri, papa tidak usah ikut campur." keluh Dewa, pertemuan dengan sang panutannya sejak kecil di hotel keluarga malah membuahkan sebuah perdebatan karena keputusan sang Ayah yang mendadak dan juga mendesak.

"Lalu sampai kapan? menunggu kamu bertindak rasanya tidak akan mungkin.Papa tahu alasan kamu ngotot ingin tinggal di apartemen adalah karena kamu tidak ingin melupakan kenangan mu dengan Diana."

"Kamu pikir papa orang dungu yang bisa kamu bodohi?" pak Handoko menatap putra sulungnya itu dengan tatapan menelisik tajam.

Dewa hanya bergeming, tak berniat untuk menanggapi, karena itu benar adanya.

"Harus berapa kali papa menyadarkan mu. Kini kamu sudah punya Arumi sebagai istri mu, lupakan Diana!"

"Melupakan orang yang paling penting di hidup kita, tidaklah semudah itu, pah." lirih Dewa frustasi. spaghetti carbonara yang ia pesan kini tak lagi mengunggah seleranya, padahal sejak pagi belum ada secuil makanan pun yang masuk ke dalam lambung nya.

"Wanita itu sudah mengkhianati mu, apa itu tidak cukup menjadi alasan kamu untuk melupakannya?"

"Pah!" suara Dewa meninggi. Ia sendiri pun terkejut, baru kali ini ia menaikkan oktaf suaranya saat berbicara dengan orang tuanya.

Pak Handoko mengangguk-angguk sejenak dengan raut wajah sulit di artikan. "Papa sudah mengetahui semuanya Dewa. Diana belum mati, dia masih bernafas, tapi dia meninggalkan mu bersama pria lain saat dia bangun dari komanya."

"D-dari mana papa soal itu?" Dewa tergagap, rahasia yang sudah berusaha ia simpan selama dua tahun terakhir ini terbongkar semua.

"Tidak penting papa tahu darimana," kata pak Handoko dengan nada tersirat tajam.

"Yang papa inginkan, lupakan Diana. dan fokuslah dengan Arumi."

"Intinya besok kalian harus mengemasi barang dan pindah kerumah baru, titik!" ultimatum sang Ayah telak. Dan Dewa tidak bisa menolak lagi.

***

Pak Handoko mengibaskan jas yang di kenakan nya sekilas, ia mengusap jenggot yang sudah mulai memanjang di sekitar dagunya, pria berusia separuh abad itu lalu menghubungi seseorang lewat sambungan telepon.

"Terimakasih Aksa, untuk semua informasi yang kamu berikan pada ku."

"Sama-sama paman." suara di seberang sana terdengar serak dan berat.

"Om tidak menyangka Dewa menyembunyikan rahasia sebesar itu selama dua tahun lamanya. Om kira Diana wanita yang baik ternyata ... " pak Handoko menjeda ucapan nya sejenak.

"Tidak masalah paman. Lebih baik mengetahui nya terlambat daripada tidak sama sekali."

"Ya kau benar sekali. Sepertinya keputusan om sudah tepat, Dewa dan Arumi pindah ke hunian baru, agar Dewa terbebas dari bayang-bayang wanita itu dan bisa menjalani kehidupan rumah tangganya bersama Arumi dengan baik."

"Ya, keputusan paman sudah sangat tepat."

Di tempat lain, Aksa tersenyum penuh arti, menaruh ponselnya kembali setelah sambungan telepon bersama pak Handoko terputus.

Ia berharap dengan ini Dewa bisa terbuka mata hatinya, dan menerima Arumi sebagai istri nya. Dia tidak ingin melihat gadis yang kini menjadi temannya itu di siksa lagi oleh Dewa. Apalagi hanya karena alasan Diana.

***

"Argghh, sial!" Dewa menggeram kesal, melempar tas kerjanya ke sembarang arah, ia terlihat sangat menahan amarahnya. Padahal dahulu ia tidak seperti ini, Dewa yang terkenal dulu memiliki sifat yang penyabar dan selalu bisa menahan amarahnya dengan tenang. Entah kenapa, kehilangan Diana juga telah menghilangkan rasa kesabarannya.

Melihat Arumi yang baru kembali saat ia pulang kerja, Dewa buru-buru menghampirinya.

"Darimana kau?!" tudingnya cepat pada gadis yang menenteng Tote bag berwarna merah muda itu.

"A-aku habis dari tokoh buku mas." jawab Arumi tergagap, terkejut karena melihat Dewa yang begitu menyeramkan.

Dewa berfikir sejenak, padahal dia belum memberikan jatah uang untuk Arumi semenjak mereka menikah? lalu darimana wanita itu mendapat uang untuk berbelanja?

Spontan senyum seringai terbit dari wajah tampan itu. "Wanita s u n d a l, padahal aku tidak memberikan uang pada mu, apa keputus asaan telah membuat mu akhirnya menjual diri untuk mendapatkan uang? sampai bisa berbelanja seperti ini--"

Belum habis nafas Dewa untuk berbicara, layangan tangan Arumi di rahangnya membuat suara yang begitu nyaring.

Dewa terkejut karena Arumi yang menampar nya.

"Jaga ucapan kamu mas!" nafas Arumi naik turun menahan gemuruh amarah.

"Kau bisa mengucap kan kata pedas apa saja, tapi tidak dengan yang satu itu."

"Kenapa? apa akhirnya kau tersinggung." Dewa mendengkus. "apa jangan-jangan yang ku katakan itu benar?"

"DIAM!" Arumi meninggikan suaranya seketika. Hal yang membuat pupil mata Dewa membesar dua kali lipat.

"Ingat ya tuan dirgantara. Aku diam selama ini bukan berarti aku lemah, bukan berarti aku tidak bisa membalas apa yang kau perbuat!"

"Sialan!" Dewa lalu menghampirinya, tangannya yang kekar mencengkeram kedua pipi Arumi.

"Semua kesialan yang menimpaku itu semua berasal dari mu, wanita durjana!"

Mata Arumi mulai berkaca-kaca dan memerah. Ia menatap nanar.

"Lepaskan!" entah Dewi Fortuna hadir dari mana membuat kekuatan Arumi seperti dua kali lipat untuk mendorong Dewa.

"Kau bukan Tuhan yang berhak menghakimi seseorang!"

Dewa terkesiap lalu detik berikutnya pria itu tiba-tiba saja tertawa.

"Wah, wah bravo! di mana gadis polos dan lugu yang ku nikahi ini? sekarang kau sudah mulai berani ya?!"

"Terserah apa yang kau katakan! mulai hari ini aku tidak akan tinggal diam saat kau menghina ku!" Arumi lantas berbalik, memejamkan mata sambil menarik nafas dalam, berusaha mendamaikan gemuruh dalam dadanya.

"Lalu bagaimana dengan tantangan 100 hari yang kau berikan? apa akhirnya kau akan menyerah?!" teriak Dewa lantang membuat langkah Arumi berhenti.

"Tidak sama sekali! aku akan tetap berpegang teguh pada tantangan ini, hanya saja sebagai usaha untuk menyelamatkan pernikahan ini, bukan karena aku mencintaimu!"

****

Di sofa Arumi terisak, ia puas-puaskan untuk menangis sebelum akhirnya tidak akan ada tangisan lagi setelah ini.

Ia lalu terperanjat ketika mendengar dering ponsel nya di samping. Tertera nama ayah mertua di sana, buru-buru Arumi menghentikan tangisnya berusaha untuk tidak terjadi apa-apa.

"Ya, papa?" sahut nya saat panggilan di terima.

"Halo Arumi anakku, bagaimana kabar mu baik?"

"Baik pah." tanpa sadar Arumi mengangguk.

"Syukurlah kalau begitu. papa menelpon ingin mengabarkan, besok kamu dan Dewa bersiaplah, kalian akan pindah ke rumah baru yang sudah papa siapkan untuk kalian."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!