Bab • 06 •

"Kenapa? kau tidak mau, bukankah memang sepatutnya makanan yang sudah tidak di makan adalah sampah, dan yang memungut nya adalah pemulung?" Dewa lantas mendengkus. "Dan kau adalah pemulung itu."

Arumi tidak menjawab ia lebih memilih bergeming di tempatnya, matanya menatap gamang selaras dengan setitik kristal bening yang tiba-tiba meluncur, namun ia buru-buru menghapus nya dengan kasar, tak ingin sampai Dewa melihatnya, lalu tanpa mau lagi melihat suami kejamnya itu, ia sudah lebih dulu berbalik, memunggungi nya dan memejamkan mata.

Dewa berdecih lalu melenggang pergi dari sana, sementara Arumi terisak seraya memegang perutnya yang terasa perih.

***

Pagi harinya, Dewa sudah bersiap denghan pakaian kerja nya, kemeja biru di padukan rompi dan jas abu-abu membuat penampilannya sangat menawan, ia berjalan ke depan kaca memasang dasinya juga jam rolex skeleton yang tentunya berharga fantastis di pergelangan tangan kirinya, mematut diri sebentar, sempurna!

Dewa mengambil ponsel untuk menghubungi seseorang, Monalisa, adalah personal assistan nya selama ia menjabat di perusahaan Dirgantara's group sebagai chief executive officer sejak satu tahun terakhir ini, menggantikan posisi sang ayah yang lebih memilih pensiun dini dan kini bertanggung jawab sebagai owner.

Berbincang sedikit mengenai rapat yang akan di adakan nanti, seraya mengambil tas kerjanya dan berjalan keluar kamar, Dewa mengalihkan ponsel dari telinga ketika ia terperangah melihat Arumi yang sedang berkutat di meja dapur.

Gegas Dewa menghampiri, menarik tangan gadis itu. "Sedang apa kau?!" ia mencengkram erat pergelangan tangan Arumi hingga gadis itu meringis.

"Aku lapar ... " lirih Arumi pelan.

"Beraninya kau mengobrak-abrik dapur tanpa seijin ku, kemari!" Dewa menarik Arumi hingga mereka ke ruang tengah.

"Sakit mas, lepaskan!" Arumi berusaha melepaskan cengkraman Dewa yang terasa ingin meremukkan tulangnya.

"Dengar, kau pikir kau siapa hah, beraninya berkeliaran seperti pencuri di apartemen ku?!"

"Aku istrimu!" Arumi menjerit, dengan tegas ia menatap Dewa tak gentar, sudah cukup perlakuan kasar laki-laki itu selama, Arumi tak ingin diam saja saat harga dirinya di injak-injak habis.

"Heh, sudah berani melawan sekarang?" Dewa menatap tajam padanya

"Aku bukan melawan mas, tapi aku sedang memperjuangkan hak ku."

"Hak mu? hak mu yang mana?" Dewa menarik alis dengan pongah.

"Hak ku untuk kau lindungi, hak ku untuk kau beri nafkah, hak ku sebagai seorang istri yang sah di mata hukum dan agama!" Arumi menekan setiap kata-katanya dengan suara lantang.

"Ku pikir kau ini amnesia ya, apa kau sudah melupakan kata-kata ku, pernikahan ini hanya terpaksa, bisa di bilang kau hanyalah istri formalitas, aku terpaksa menikahi mu karena adikku yang meninggalkan mu di pelaminan, tak ada cinta atau apapun di antara kita, hak- hak yang kau sebutkan itu tak berlaku sama sekali." memandang rendah Arumi saat ini.

Arumi berani menatap Dewa dengan nyalang. "Baiklah, bagaimana jika pernikahan yang kau bilang terpaksa ini akan ada cinta di dalamnya?"

"Apakah hak- hak yang ku sebutkan itu akan berlaku?" Arumi sadar ia harus menjadi wanita kuat dan tangguh untuk bisa melawan hati sekeras batu suaminya.

Seperti ada yang lucu Dewa tertawa. " Lelucon apa yang kau katakan ini? tidak mungkin ada cinta dalam pernikahan karena terpaksa, tidak akan mungkin!"

"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini." jawab Arumi lugas. "Termasuk membuat mu jatuh cinta pada ku."

"Heuh, sekeras apapun kau mencoba, aku bukan batu yang akan berlubang jika terus di tetesi air. Di hatiku, sudah ada nama Diana, tidak akan pernah ada wanita lain, camkan itu!" menunjuk wajah Arumi dengan tajam, Dewa lalu berbalik memunggungi.

"Baiklah, beri aku waktu."

Deg! Dewa berbalik kembali.

"Beri aku waktu 100 hari, jika aku bisa membuat mu jatuh cinta, maka aku menang."

"Dan jika tidak?" Dewa menarik satu alisnya.

"Kita akan berpisah. Sesuai keinginan mu." ia tahu jika Dewa pun menginginkan pernikahan hanya saja Dewa ingin membuat nya menderita dulu.

"Bagaimana Mr. dirgantara?" Arumi mengangkat alis, seperti menantang balik.

"Menarik." Dewa menyeringai.

"Baiklah, 100 untuk menaklukkan hati mu, jika kau diam berarti kau setuju."

Satu detik, dua detik, tiga detik, empat, lima ...

"Deal!" Arumi mengangkat tangan Dewa mengajak untuk bersalaman.

"Silahkan jika memang kau mampu," Dewa menantang balik. " Ku pastikan selama itu, aku akan membuat mu semakin menderita."

***

Setelah kepergian Dewa ke kantor, Arumi berinisiatif untuk kerumah mertuanya bertemu dengan Helena untuk mempertanyakan tentang Diana, nama wanita yang selalu di agung-agungkan Dewa.

Nyonya Helena yang sedang menyiram bunga- bunga di taman kecilnya, terkejut akan kedatangan menantunya.

"Sejak kapan kamu datang nak?" ia lalu mempersilahkan Arumi untuk duduk di kursi teras dekat taman.

"Baru saja, mah." Arumi tersenyum sedikit kikuk, rambut panjang nya yang di sampirkan di pundak kiri, menari di liuk angin lembut yang tiba-tiba lewat.

"Ah, belakangan mulai tak menentu, kadang panas, kadang tiba-tiba bisa hujan, atau angin begini, ck." nyonya Helena menggeleng.

Arumi tersenyum, menatap kagum wanita di depannya ini yang terlihat elegan dan anggun meski di umurnya yang tak muda lagi.

"Oh, ya mau di buatkan minum sayang?" tanya nyonya Helena sambil merapikan semprotan air dan gunting setelah merawat tanaman nya.

"Boleh, apa saja ma." Arumi menjawab sekenanya, sejenak ia menghirup nafas dalam, udara di belakang rumah mewah dirgantara begitu sejuk membuat ia rasanya ingin berlama-lama ada di sini, apalagi pemandangan langit biru yang langsung di suguhkan di depan sana, juga taman kecil yang cantik hasil tangan ajaib sang nyonya rumah.

"Oke tunggu sebentar ya." nyonya Helena mengulum senyum lalu berlalu ke dapur sambil membawa perkakas tanaman nya, Arumi menatap kepergian sang ibu mertua lalu memandang ke depan dengan tatapan getir.

"Di hatiku hanya ada nama Diana, tak akan pernah ada wanita lain, camkan itu!"

Kembali mengingat perkataan Dewa, membuat hati Arumi di rasuki berbagai pertanyaan juga rasa iri terhadap Diana, yang membuat Dewa begitu bertekuk lutut padanya. Ia ingin tahu sesepsial apa seorang wanita bernama Diana itu, hingga Dewa begitu memujanya dan tidak pernah melupakannya.

"Taraaa, segelas es jeruk datang, akan menyegarkan mu di siang yang panas ini." dengan sedikit berkelakar nyonya Helena memindahkan dua gelas berisi cairan oranye itu dari baki ke atas meja, kedua wanita itu saling melempar tawa kecil.

"Terimakasih ma." Arumi menarik sudut bibir, ia tidak menyangka di balik sikap elegan yang selalu di tampilkan ibu mertua nya ini, tersimpan sisi humoris juga.

Arumi menenggak sedikit minuman manis sedikit asam itu. Menyegarkan!

"Bagaimana kabar mu? juga Dewa?" tanya nyonya Helena menatap intens pada nya.

"Baik mah, bagaimana kabar papah mertua?"

"Syukurlah. papah? dia baik, akhir- akhir ini dia sedang menggeluti hobbynya, mama terkadang sedikit jengkel karena tidak ada waktu berdua, tapi dia bilang ' kita sudah tua untuk apa romantisan terus? seperti ABG saja'!" menghela nafas nyonya Helena memutar bola matanya malas, sedangkan Arumi tersenyum samar.

"Oh ya, apa yang membawa mu kesini? tidak mungkin kan jika hanya sekedar berkunjung?" seperti bisa menebak isi hati menantunya, nyonya Helena menatap penuh selidik membuat Arumi terperanjat.

"Iya mah ada yang ingin kutanyakan."

"Tentang apa itu?"

"Diana."

Seketika raut nyonya Helena berubah kaku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!