Malam harinya, secara khusus pak Handoko dan istrinya nyonya Helena datang berkunjung ke rumah baru pasangan yang bisa di bilang masih pengantin baru tersebut.
"Bagaimana nak, apa kalian suka dengan mansion ini?" pak Handoko bertanya pada kedua pasutri itu di meja ruang tengah, yang bahkan bisa memuat ratusan orang di sana, saking luasnya. Ada jam antik besar yang berdiri di pojok ruangan juga lukisan-lukisan antik, hasil tangan interior kelas atas.
Ia manggut-manggut seraya menatap takjub. "papa sengaja mengambil nama tengah mu untuk nama mansion ini, bravo! bravo!"ucap pak Handoko pada putranya seraya berdecak beberapa kali.
"Ini terlalu berlebihan pah." jawab Dewa, pria itu melongos panjang memijit pelipisnya sekilas.
"Loh apanya yang berlebihan? papa sudah memperhitungkan dan menyiapkan semuanya dengan matang, lihat istri mu saja menyukainya? benarkan nak?" beralih pada Dewa, pak Handoko menatap Arumi meminta persetujuan nya.
"Iya, pa." hanya itu yang mampu terlontar dari mulut Arumi.
"Nah, kan. Menantu ku ini memang yang terbaik." pria dengan jambang menjuntai itu terbahak sejenak merasa bangga. Berkacak pinggang ia memperhatikan lagi setiap sudut ruangan lalu berdecak kagum, sebenarnya mansion ini sudah di persiapkan nya berbulan-bulan lalu, rencana nya memang ini akan menjadi tempat tinggal Dewa bersama istrinya kelak. Yang akan dia jodohkan, tak di sangka takdir malah mendatangkan Arumi, jodoh yang tak pernah pak Handoko sangka untuk putranya yang sudah lebih dari dua tahun tak bisa melupakan mantan kekasihnya.
"Anggap lah ini sebagai kado pernikahan dari pihak keluarga dirgantara," ucap pak Handoko menatap langit-langit, menerawang.
"Oh ya, ada satu lagi," katanya kemudian.
Dewa mengerling. " Apa lagi sekarang?" gumamnya merasa papanya terlalu excited padahal ia dan Arumi yang menjalani pernikahan ini.
Pria tua itu kemudian bertepuk tangan sekilas isyarat pada bawahnya untuk masuk, dua orang pria berseragam hitam lalu datang beriring-iringan membawa sebuah benda panjang bersegi yang di tutupi kain putih.
Beralih pada Bu Helena yang duduk tak terlalu jauh dari suaminya, ia nampak tak minat dengan apa yang sedang terjadi dan terlihat ogah-ogahan, sesekali wanita berpenampilan anggun itu akan mengibas-ngibaskan tangannya ke udara, Arumi menyadari itu.
"Nah letakkan di sini." pak Handoko mengerahkan para pekerja itu dengan wajah yang sumringah.
"Buka!" titahnya, lalu di bukalah tirai putih itu, kini terpampang sebuah figura foto besar yang mana terdapat Arumi dan Dewa saat pemotretan mendadak seusai resepsi saat itu.
Arumi yang menggunakan gaun pengantin putih menyapu lantai dengan penutup kepala nya tampak cantik mengenggam bunga mawar putih di tangan kiri sedangkan tangan kanannya di masukkan ke lingkaran tangan pria di samping nya yang nampak sangat tampan walaupun hanya memakai kemeja putih dengan setelan jas dan celana berwarna hitam. Mungkin senyum itu terlihat bahagia namun sebenarnya senyum yang terpatri di wajah mereka hanyalah ke pura-puraan belaka.
"Cocoknya di taruh di mana?" bermonolog pak Handoko lalu mengarahkan nya di dinding dekat tangga.
"Di sini seperti nya bagus." gumamnya mengusap dagu. "Pajang fotonya di sini." titahnya kemudian yang langsung di sanggupi oleh para pekerja itu.
Dewa menghela nafas melihat tingkah laku ayahnya yang seperti mengalami puber kedua, kenapa dia yang malah terlihat bersemangat?
"Pas!" pak Handoko membentuk jemarinya seolah itu adalah kamera nya mengarahkannya pada foto pernikahan Dewa dan Arumi yang kini terpasang.
"Pah, hentikan!" pekikan Dewa tiba-tiba membuat hening mendadak.
"Apa yang mau papa buktikan? pernikahan ini akan sia-sia saja pa."
"Apa maksudmu?" wajah pak Handoko mendadak kaku dan datar.
Dewa menghela nafas raut wajahnya tak bisa di tebak. "Pah, aku sudah membuat kesepakatan dengan Arumi. pernikahan ini hanya akan berlangsung 100 hari, yang mana jika aku tidak jatuh cinta padanya selama itu, maka kami akan bercerai dan kalian para orang tua tidak bisa menghalangi itu!"
Plak! semua orang terperanjat, menahan nafas mereka ketika pak Handoko melayangkan tangannya pada rahang Dewa hingga begitu telak.
"Mudah sekali kau mengucapkan perceraian, apa kau tidak tahu makna pernikahan hah?!"
Arumi memejam, kini semuanya menjadi runyam. Ia tak menyangka Dewa bisa mengungkapkan ini semua pada orang tuanya.
"Papa pikir aku tidak muak? selama ini aku yang selalu menanggung semua kesalahan Yudha termasuk terpaksa harus menikahi wanita yang sama sekali tidak ku cintai, papa pikir aku tidak lelah?" setelah sekian lama memendam Dewa akhirnya mengeluarkan apa yang ia rasakan selama ini.
"Papa kira kamu tulus menerima Arumi sebagai istri mu." pak Handoko menggeleng tak habis fikir.
***
"Jadi kamu nak yang membuat tantangan konyol itu?" pak Handoko menatap Arumi yang kini hanya diam menunduk, setelah mengeluarkan isi hatinya Dewa pergi, entah kemana. Semua orang hanya bergeming tak ada yang bersua selama beberapa saat. Kini seperti terdakwa pak Handoko mempertanyakan segala hal yang terjadi pada Arumi.
"Maaf pah ... " hanya itu yang bisa di ucapkan Arumi, lidahnya terlalu keluh untuk mengeluarkan kata-kata lain.
Di luar dugaan, pak Handoko menangkup kan kedua tangannya di depan dada, wajah yang selalu garang terlihat itu mendadak melunak dengan mata memerah.
"Arumi, maafkan kedua putra ku, aku gagal mendidik mereka hingga menjadi pria brengsek yang menyakiti mu. Yudha, Dewa dua-duanya telah bersalah pada mu, tolong maafkan pria tua ini yang tidak bisa mendidik mereka." lirih pak Handoko membuat Arumi terkesiap.
"Pah, apa yang papa lakukan?" buru-buru Arumi menghampiri, bersimpuh lalu mengenggam tangkupan tangan pak Handoko.
"Papa merasa sangat bersalah padamu Arumi, papa pikir dengan menikah kan mu dengan Dewa semua menjadi baik-baik tapi ternyata salah."
"Tidak pa, ini bukan salah papa." Arumi menggeleng seraya terisak, tak sanggup melihat pemandangan menyakitkan ini.
Pak Handoko memeluk Arumi, mencurahkan rasa bersalah nya selama ini.
"Maaf kan pria tua ini." lirihnya lagi.
"Tidak, papa tidak salah. Ini semua sudah garisan takdir, manusia hanya bisa berencana Tuhan yang menentukan semua nya."
Pelukan terlerai, pak Handoko sudah menganggap Arumi putrinya sendiri, ia mengusap rambut Arumi dengan sayang.
"Nak, bisakah kau bertahan dulu, papa yakin hati sekeras batu Dewa hanya bisa di luluhkan oleh mu. Papa tahu permintaan papa terlalu menuntut, tapi kamulah harapan papa."
"Selama ini Dewa hidup seperti tidak memiliki tujuan hidup, ia selalu di tutupi bayang- bayang mantan kekasih nya. Mungkin dengan rasa cinta yang kamu berikan membuat Dewa bisa luluh. Papa mohon padamu nak."
Arumi mengangguk. " Iya pa, baiklah." lalu pak Handoko kembali memeluk sang menantu, yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Nadin Nisa Rismaya
next
2022-10-25
1
Puji Lestari
kenapa harus bertahan,,seandainya tau gimana Dewa memperlakukan Arumi.masih bisa Arumi bertahan kl saja Dewa radak punya hati la ini yg di dapatkan siksaan,cacian hinaan.
2022-10-25
1