Hanny telah kembali ke rumahnya.
Dan kini Alina hanya diam di ruangan Hero, sesekali ia akan menatap ke arah Hero secara diam-diam. Alina berharap jika apa yang kini ia lakukan tidak diketahui Hero, ia juga berharap agar laki-laki itu tidak sadar akan tatapannya yang tidak henti-hentinya menatap dalam ke arah laki-laki itu.
“Aku nggak tahu siapa orang yang berhasil memiliki hati Kakak. Betapa beruntungnya wanita itu karena bisa memiliki hati Kakak, Andai jika orang yang Kakak cintai adalah Alina, betapa beruntungnya Alina saat saat itu,” gumam Alina. Ia menatap Hero dengan tatapan mata yang terlihat sangat dalam.
“Kenapa kamu menatap saya?” tanya Hero tiba-tiba yang langsung membuat Alina gelagapan karena ia ketahuan sedang menatap seorang Hero dengan tatapan dalamnya.
“Akh! maaf dok, saya tidak bermaksud apa-apa,” jawab Alina langsung dengan gelagapan.
Hero hanya mengangkat salah satu alisnya, ia lalu menatap ke arah Alina dengan tatapan yang cukup intens.
“Apa yang kamu bicarakan dengan Bunda?” tanya Hero tiba-tiba. Ia memasang wajah serius seolah merasa ingin tahu dengan apa yang Alina dan Hanny bicarakan.
Alina yang mendengar itu hanya diam beberapa saat, ia bahkan tidak menyangka jika Hero akan bertanya hal itu padanya.
“Kami ..., kami hanya membahas hal biasa,” jawab Alina, ia bingung harus mengatakan apa.
Karena hal yang dibahas oleh Hanny adalah tentang orang itu, orang yang dicintai oleh Hero. Dan Alina sendiri tidak tahu dengan sosok wanita yang dicintai oleh Hero.
“Hal biasa?” tatapan yang tak yakin kini Hero tunjukan pada Alina. Hal itu semakin membuat Alina merasa tak nyaman.
“Iya Kak, kami hanya membahas hal biasa,” jawab Alina berusaha setenang mungkin dalam menjawab.
“Bukan cerita tentang seorang wanita?” tanya Hero lagi-lagi berhasil membuat Alina terkejut.
“Maksud Kakak apa?” Alina bukan bermaksud untuk berpura-pura tidak mengerti, ia hanya ingin Hero lebih menjelaskan maksud perkataannya secara detail.
“Seperti yang kamu ketahui, jika saya memiliki orang yang saya cintai di masa lalu, tapi sayangnya dia kini telah meninggal,” untuk pertama kalinya setelah sekian lama Hero berbicara panjang lebar pada Alina.
“Kak, bisakah kita tidak membahas masalah ini di tengah jam kerja?” pinta Alina yang merasa jika pembicaraan mereka adalah hal yang sangat sensitif untuknya.
“Lalu mengapa kamu memanggil saya dengan sebutan kakak'?”
“Maaf dok,” jawab Alina yang memang tidak ingin memperpanjang hal ini.
...........
Siang hari.
Seperti biasa, Alina selalu makan bersama dengan Santi. Karena hanya Santilah yang menjadi teman dekatnya saat ini.
Santi terlihat sedikit canggung dan berusaha menutupi kegugupannya. Dan sikapnya itu terlihat sangat aneh hingga Alina langsung menatap ke arahnya dengan tatapan heran.
“Kenapa?” tanya Alina menatap Santi yang gugup.
“A-aku ..., saat aku hendak mengajak kamu makan siang tadi, aku minta maaf karena tidak sengaja mendengar obrolan kamu dengan dokter Hero,” jujur Santi gugup.
Alina hanya mengangguk dan tidak terlalu peduli apalagi mempermasalahkan hal itu.
“Tidak masalah, setidaknya kamu tidak mengatakan hal ini pada orang lain. Karena yang kamu dengar itu tidak sepenuhnya benar,” jelas Alina dan Santi langsung mengangguk
“Apakah kalian akan menikah?” tanya Santi lagi dengan nada penasarannya.
“Ah! maaf. Seharusnya aku tidak bertanya tentang hal yang tidak seharusnya aku ketahui,” jawab Santi yang menggigit bibirnya gugup. Ia ingin sekali membekap bibirnya yang seolah tak bisa diam, sebelum bertanya tentang apa yang ingin ia ketahui.
Dari apa yang Santi tangkap, obrolan antara Alina dan Hero seperti sepasang kekasih yang sedang ribut akan masa lalu
“Tidak masalah! dan kami tidak menikah. Mungkin kami tidak akan pernah menikah, bahkan untuk bermimpi bisa bersatu saja itu suatu hal yang tidak mungkin,” kini tatapan sendu tanpa sadar Alina tunjukkan. Ia bahkan harus berbohong sejauh ini, hingga Alina berfikir kapan ia akan berhenti dengan kebohongan ini?
Kenapa sesakit ini mencintai seseorang?
Jika memang sesakit ini cinta, mengapa Tuhan harus menciptakan rasa kalau pada akhirnya rasa itu melukai kita?
Tidak bisakah Alina dicintai oleh laki-laki yang ia cintai?
“Kamu ..., mencintainya?” tanya Santi tiba-tiba. Ia lalu menunduk saat Alina menatap ke arahnya.
“Mungkin,” jawab Alina yang hanya bisa menatap jusnya dan mengaduk-aduknya, jus tomat dengan campuran gula dan susu. Itu bisa mengembalikan moodnya menjadi lebih baik, walau hanya sedikit.
“Kenapa kamu tidak berusaha untuk mendapatkan hatinya saja?”
“Dia telah mencintai orang lain.”
“Mereka akan menikah?”
“Tidak, Kak Hero dan wanita itu tidak akan pernah bersama sampai kapanpun,” ucap Alina mengingat apa yang Hanny katakan.
“Kenapa? apa hubungan mereka tidak mendapatkan restu?”
“Bukan, hanya saja wanita yang dicintai oleh Kak Hero sudah meninggal,” jawab Alina semakin dalam menatap jusnya.
Haruskah Alina merasa senang jika orang yang Hero cintai telah tiada?
Atau ia harus merasa sakit karena melihat orang yang ia cintai menderita?
Entahlah, mengapa rasa cinta dan perasaannya begitu rumit seperti ini. Padahal Alina hanya ingin memiliki kisa percintaan biasa, yang normal. Dalam hal artian orang yang ia cintai mencintai dirinya juga, walau nanti kedepannya akan ada masalah yang menghadang, tapi Alina ingin bersama-sama menghadapi masalahnya itu dengan Sang pujaan hati.
Terdengar agak menggelikan, bahkan Alina sendiri seakan ingin tertawa mengejek pada dirinya sendiri.
“Bukankah itu hal yang bagus. Maksud aku, bukan berarti kita bahagia di atas penderitaan orang, hanya saja itu mungkin jalannya takdir. Dan di sini kamu di takdirkan untuk berusaha mendapatkan hati orang yang kamu cintai itu. Maka berusahalah!” ucap Santi yang secara tidak langsung memberikan support.
“Terima kasih,” jawab Alina tersenyum tulus.
Haruskah ia berusaha untuk mendapatkan hati Hero? tapi dimulai dari mana? Alina bahkan tidak tahu harus berjuang seperti apa.
“Anggap saja jika di sini kamu sedang berjuang menyelamatkan orang yang kamu cintai dari jurang penderitaan dan keputusasaan. Sekarang aku bahkan paham, mungkin alasan dokter Hero seperti itu karena kesedihan yang ia alami,” ucap Santi lagi.
Dan itu memang benar dan tepat sekali.
Alina hanya mengangguk. “Baiklah, ayo kita habiskan makanannya,” ajak Alina yang langsung dijawab anggukan oleh Santi.
Mereka pun memakan makanannya dengan sangat lahap. Benar-benar lahap karena mereka perlu banyak tenaga agar dapat memberikan layanan yang terbaik pada pasien yang membutuhkan.
“Biar aku saja yang bayar,” ucap Alina yang langsung menyerahkan beberapa lembar yang sengaja ia bayar.
“Kembaliannya untuk Anda, terima kasih.”
Setelahnya Alina langsung mengajak Santi untuk segera kembali ke rumah sakit.
#####
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments