Tak terasa mereka telah tiba di bandara.
Begitu mereka keluar dari dalam mobil, hal itu tepat saat Alina dan keluarganya yang hendak memasuki sebuah mobil.
“Amina,” sapa Hanny.
Amina yang tak lain adalah sahabat baik dan dekat dari Hanny. Tanpa ragu mereka tersenyum dan langsung berpelukan serta bercepika-cepiki. Meski hubungan mereka sempat dingin beberapa hari, tapi tak dapat dipungkiri jika persahabatan mereka itu sangat dalam, hingga mereka tidak bisa terus bersikap dingin satu sama lain.
“Kalian datang ke sini?” tanya Amina sedikit terkejut.
Meski hubungan mereka tidak sama lagi, karena penolakan Hero atas perjodohan yang telah di susun kedua keluarga besar itu, tapi mereka yang memang saling menyayangi berusaha bersikap akrab lagi.
“Haha tentu saja. Kita ini sahabat sudah seperti saudara loh, jadi aku merasa anakmu adalah anakku juga, dan kamu sebagai orangtuanya sudah aku anggap seperti saudara kandung” ucap Hanny yang melirik ke arah Alina yang kini hanya diam.
Alina hanya diam saat melihat Hero ada di depan matanya, padahal ia ingat jika lelaki itu menolak ajakan dirinya untuk ikut menjemput kedua orang tuanya di bandara. Tapi kini justru laki-laki itu ada di sini.
Entah mengapa, saat ini Alina jadi ingat dengan kejadian dimana ia kembali setelah 5 tahun di luar negeri untuk berkuliah. Saat dirinya belum menikah dengan Hero.
Flashback
2 bulan yang lalu.
Sebelum pernikahan paksa itu terjadi.
Alina terlihat hanya diam saja seolah mematung, itu karena ia sedang menatap seorang lelaki yang ada dihadapan dirinya. Lelaki yang sangat dirindukan olehnya karena sudah 5 tahun tidak ia temui, dan kini Alina bisa bertemu dengan lelaki itu.
Postur tubuh Hero tidak berubah banyak, dia masih sangat tampan dengan raut wajah yang kini justru terlihat semakin dewasa. Badan yang terlihat segar bugar dan dada bidang dan terlihat kuat.
Sementara Hero, kini ia juga terlihat melamun untuk sejenak, tapi tidak selama Alina. Hero hanya melamun karena wajah Alina yang sekarang lebih dewasa, harus Hero akui jika Alina kini terlihat sangat cantik dan manis. Tapi, sekilas Hero dapat melihat kemiripan antara Alina dengan seseorang.
Makanya, Hero sempat melamun sejenak.
“Ekhmm,” dengan jahil Hanny berdehem sambil menyenggol lengan anaknya.
“Kenapa Hero, Alina cantik bukan?” ledek Hanny yang justru membuat Alina menunduk karena malu dengan pujian Hanny.
“Terima kasih Tante,” jawab Alina sopan.
“Bunda Alina, bukankah dari dulu Bunda pernah bilang jika kamu harus panggil Tante dengan sebutan Bunda'.”
Karena saking dekatnya keluarga Alina dan keluarga Hero, Hanny bahkan memperlakukan Alina layaknya anak sendiri.
Persahabatan itu terjalin dengan baik, ibu dari Hero dan ibu dari Alina bersahabat baik. Lalu ayah Hero dan Alina juga bersahabat. Jadi hal wajar jika mereka tidak merasa asing lagi.
“Oh iya, makan yuk! kalian pasti lapar, kebetulan ada restoran yang dekat dari bandara,” ajak Hanny dan langsung diangguki oleh semuanya.
Flashback end
...*****...
Di restoran.
Kini kedua keluarga besar yang sempat dingin itu, mereka berusaha mengakrabkan diri kembali.
Acara makan yang biasanya terlihat ramai dengan disertai oleh perbincangan hangat, kini sedikit canggung.
Bram yang melihat keheningan itu, ia berniat untuk mencairkan suasana.
“Sudah aku tawarkan bukan, kalau kamu bisa memakai pesawat atau helikopter pribadi keluarga Sanjaya, tapi kenapa memilih untuk naik pesawat biasa?,” Bram yang dulu memang sangat dekat dan terasa seperti adik kakak dengan Setoni. Ia bahkan tidak sungkan lagi dengan Setoni, mungkin karena penolakan Hero saat itu, hal itu menyebabkan terjadinya kecanggungan diantara mereka.
“Terima kasih banyak tawarannya tuan Bram yang terhormat, tapi manusia ini merasa sangat sungkan, hingga tidak pantas menerima itu semua,” jawab Setoni dengan nada yang bermaksud bercanda. Ia berusaha untuk mengakrabkan diri lagi.
Setelah perkataan Setoni itu, Bram dan Setoni tertawa cukup keras.
“Kamu ini memang Setoni ternyata,” ucap Bram yang ikut memerankan candaan dalam obrolan mereka.
“Setidaknya jika tidak memakai pesawat keluarga Sanjaya, mengapa kamu tidak memakai pesawat pribadi?” tanya Bram heran.
Setoni Angkasa, ia seorang dokter spesialis kanker, tapi selain itu ia juga seorang pemilik rumah sakit terbesar yang ada di negara Z. Tidak mungkin Setoni yang termasuk 5 keluarga terkaya di negara Z tidak bisa memiliki pesawat pribadi.
“Tidak, itu karena Alina memesan tiket pesawat untuk kami. Jadi kami tidak mungkin menggunakan pesawat pribadi sedangkan Alina telah memesankan tiket untuk kami,” jelas Setoni.
“Papah, padahal Papah yang minta Alina untuk segera memesan tiket karena kalian ingin segera bertemu dengan Alina,” ucap Alina sedikit menggerutu.
Tapi karena permintaan Setoni pada Alina yang ingin Alina memesankan tiket pesawat untuknya. Hubungan anak dan ayah itu menjadi kembali baik.
“Wah, bagus sekali kalau Alina sudah baikan dengan kamu,” ucap Bram yang direspon dengan senyum tipis dari Alina.
Alina kini memang sudah dewasa, ia tentu merasa harus meminta maaf karena sikap keras kepalanya yang memaksa menikah Hero, meski ayahnya menolak keras akan hal itu.
“Maaf saya terlambat,” tanpa diduga datang seseorang yang ditunggu-tunggu kehadirannya.
Bian, lelaki itu datang tapi tidak sendirian. Ada Farah kekasihnya yang memaksa untuk ikut.
“Kak Bian,” panggil Alina yang langsung bangkit dan memeluk kakaknya.
“Kak, Alina kangen sama Kakak, apa Kakak juga kangen sama Alina?” tanya Alina, ia sedih karena belum bertemu dengan kakaknya setelah seminggu berlalu.
“Maaf kak,” lirih Alina yang tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Tidak mungkin tidak! Kakak tentu kangen pada kamu, dan Kakak sudah memaafkan kamu,” jawab Bian. Tapi ia sepertinya masih belum bisa menerima Hero.
Farah yang melihat jika Bian dipeluk oleh seorang wanita yang tidak tahu siapa itu, ia sempat terlihat hendak memisahkan mereka. Memang, ini pertama kalinya Bian mengajak Farah dan mengenalkan Farah pada keluarganya, jadi Farah tidak tahu siapa saja keluarga Bian, dan yang Farah tahu adalah, Bian merupakan anggota keluarga Angkasa yang terkenal.
Tatapan tajam Bian tunjukkan pada Farah, hal itu langsung membuat Farah diam.
“Dia adikku,” jawab Bian seakan menjawab rasa ketidaktahuan Farah.
Farah memang tidak tahu mengenai siapa saja keluarga Bian, karena ia hanya terlalu fokus pada Bian.
“Oh,” jawab Farah singkat.
Akhirnya setelah Amina memerintahkan mereka untuk duduk, mereka bertiga kembali duduk.
“Bunda pikir kamu ikut menjemput juga Bian, kenapa tidak ikut bersama adik kamu menjemput kedua orang tua kamu” tanya Hanny dengan nada kurang enak, bisa di tebak jika Hanny merasa kesal pada Bian. Karena setahunya Bian dulu pernahkah tega memaksa Alina untuk kuliah di luar negeri
“Maaf Bunda, sepertinya saya tidak perlu menjawab pertanyaan dari Anda, karena Anda juga pasti tahu tentang kesibukan saya,” jawab Bian yang terkesan datar tapi masih sopan.
Amina yang tidak menyukai jawaban dari anaknya langsung menatap Bian dengan tatapan marah khas keibuan. Seakan mengatakan jika Bian seharusnya bersikap sopan dan bila ditanya harus langsung jawab.
“Bian sibuk mengurusi para pasiennya Tante, lagipula dia juga jarang memiliki waktu untuk saya. Jadi bukan 'kah hal yang wajar jika Bian tidak ikut?” Farah menjawab ucapan dari Hanny.
Hal itu sontak saja membuat Alina yang mendengarnya ikut merasa tersinggung saat ada orang yang menjawab ucapan Hanny seperti itu, setidaknya jawab dengan cara yang sedikit lebih baik.
“Kak, Kak Bian adalah Kakak saya, dan saya yang sebagai adik kandungnya itu jauh lebih pantas untuk mendapatkan perhatian darinya. Bukankah Kakak hanya kekasihnya dan bukan istrinya?” kini ucapan Alina terdengar menohok di telinga Farah.
“Sudah, ayo mari makan,” Bram akhirnya buka suara dan menengahi pertengkaran itu.
#####
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments