Abian Angkasa, anak pertama dari Keluarga angkasa, juga kakak pertama Alina.
Lelaki yang awalnya terlihat duduk mengerjakan pekerjaannya. Ia tiba-tiba bangkit dari duduknya, melihat ke arah kaca jendela yang sengaja ia buka. Ada rasa sesak di dada saat dimana ia memaksa Alina untuk pergi dan tidak menemuinya selamanya.
Alina itu polos, baik hati, dan sangat manja pada keluarganya. Ia seperti seorang putri di sebuah cerita dongeng. Selama ini, keluarganya selalu menuruti apapun itu keinginan Alina.
Meski manja, Alina kadang dewasa, hanya saja ia kurang peka dan polos. Hal itulah yang membuat keluarganya sangat melindunginya. Tapi, permintaan Alina terakhir kali, membuat kakak dan ayahnya sangat kecewa dan marah dengan pilihan yang Alina ambil.
“Untuk melihat wajah kamu saja, Kakak tidak berani. Masih ingat benar kenangan di mana kamu menangis tersedu-sedu karena kakak mengatakan tidak ingin bertemu dengan kamu selamanya,” kata Bian lirih.
Untuk mengingat kenangan itu saja, Abian tidak berani. Dan karena bunyi dari ponselnya membuat perhatian dirinya langsung teralihkan.
Bian selalu menyalakan notifikasi dengan suara yang kencang, mungkin itu memang mengganggu. Tapi sebagai seorang dokter, tak peduli siang ataupun malam ia harus siap siaga kapanpun itu.
“Iya?” tanya Bian saat tahu jika yang meneleponnya adalah Farah, kekasihnya.
Jika wanita lain biasanya dikejar, justru di sini Farah adalah wanita yang bersikap aktif dan mengejar Bian.
Farah telah menyukai Bian sejak kelas 3 SMP, dan selama kelas 3 SMP sampai sekarang, Farahlah yang selama ini mengejar Bian. Selain itu, mungkin karena kagum dengan sikap pantang menyerah Farah, pada akhirnya Bian pun menerima Farah.
“Sayang maaf untuk kejadian minggu kemari, aku benar-benar hanya takut kehilangan kamu saja,” lirih Farah dengan nada memohon.
“Apa sudah introspeksi diri?” tanya Bian.
Bian itu tipe laki-laki yang cuek tapi pengertian, ia juga bukan tipe yang ringan tangan, bahkan marah saja hampir tidak pernah Bian lakukan pada orang lain, apalagi jika orang itu adalah orang yang ia sayangi.
Hal itu karena Bian memiliki kontrol emosi yang baik.
“Iya aku sudah introspeksi diri kok, jangan marah lagi please ...,” Farah terus berusaha membujuk Bian.
“Sudah minta maaf pada dokter Betty?”
“Kenapa aku harus minta maaf, bukankah salahnya yang berusaha untuk dekat dengan kamu,” Farah kini terdengar kesal.
Bian yang mendengar itu langsung menghela nafas untuk menghilangkan rasa kesalnya. “Dokter Betty tidak bersalah sama sekali, kami hanya mengobrol karena kepentingan bersama. Dan itu menyangkut pekerjaan,” jelas Bian sesabar mungkin.
“Tapi 'kan tetap saja, Dokter Betty itu kelihatan suka sama kamu. Aku yakin banget jika dia itu berusaha untuk rebut kamu dari aku. Dan aku nggak mau minta maaf pokoknya titik!”
“Jangan hubungi aku untuk sementara waktu kalau gitu, kamu belum cukup introspeksi diri,” walau sangat kesal dengan sikap Farah yang selalu egois, tapi Bian tidak pernah marah. Ia hanya meminta Farah introspeksi diri, karena itulah yang paling Farah perlukan menurut Bian.
“Tuh 'kan, kamu selalu suruh aku buat introspeksi diri. Kalau kamu ngomong kayak gitu, aku ngerasa jika kalian memang benar-benar ada hubungan,” ucap Farah dengan nada semakin kesal.
Bian yang ingin menutup teleponnya langsung terhenti.
“Kamu tuh jangan suruh aku introspeksi diri mulu, coba kamu juga seharusnya introspeksi diri. Di sini itu bukan hanya aku yang salah tapi kamu juga!”
“Kenapa sih selalu aku yang di suruh introspeksi diri? harusnya kamu ngerti dong kalau aku kayak gini karena aku cemburu dan sayang sama kamu! kenapa kamu nggak paham juga sih!”
Kesal Farah yang terus marah-marah lewat ponsel.
“Oke, aku tutup karena aku perlu introspeksi diri juga,” jawab Bian lalu sambungan berakhir.
Sebenarnya Bian bukan tidak berintrospeksi diri, ia justru selalu introspeksi diri setiap mereka ada masalah. Tapi mungkin karena Farah tipe orang yang tidak terima untuk disalahkan, alhasil sangat sulit untuk menyadarkan Farah.
...*****...
“Sayang, ayo keluar!” ketukan pintu terdengar dari luar kamar Hero, ia yang kini tengah bersiap-siap langsung membuka pintu begitu penampilannya telah rapi.
“Ya ampun ..., anak siapa ini? kok bisa ada anak yang setampan ini?”
Hanny selalu merasa kagum dan tidak menyangka bisa melahirkan anak setampan Hero.
Memang itu terdengar lebay dan berlebihan, tapi bukankah bagi seorang ibu ataupun ayah, anaknya adalah hal yang luar biasa yang mereka miliki?
“Mungkin karena gen dari Bunda jadi Hero setampan ini,” jawab Hero cuek tapi berhasil membuat Hanny tersipu karena mendengar sanjungan dari anaknya.
“Duh kamu bisa aja, Bunda jadi malu 'kan dengernya. Ini juga dibantu gen Ayah kamu, makanya kamu bisa setampan ini.”
“Oh iya, ayah akan ikut juga?” tanya Hero mengalihkan topik saat ingat ayahnya.
“Ayah kamu akan ikut juga tapi sekarang dia sedang di perusahaan. Mungkin nanti kita akan bertemu Ayah di bandara,” jelas Hanny yang hanya dijawab anggukan.
Hero hanya akan diam saat Hanny menggandeng tangannya dengan bersemangat. Mereka kini akan menyambut kedatangan kedua orang tua Alina.
Alina awalnya sempat mengajak Hero untuk ikut dengannya ke bandara, tapi Hero justru menolak. Dan kini, ia terpaksa ikut karena paksaan dari ibunya.
“Loh Ayah pulang?” Hanny terlihat sedikit terkejut saat melihat suaminya yaitu bram Sanjaya, lelaki itu kini ada dihadapannya.
“Iya, Ayah sengaja pulang cepat karena ingin pergi bareng sama ibu ke bandara.”
“Padahal Ibu kira ayah bakal langsung datang ke bandara biar nanti kita ketemuan di sana,” jawab Hanny, ia masuk ke dalam mobil begitu suaminya membuka pintu untuknya.
“Terima kasih ayah,” ucap Hanny dengan wajah sedikit tersipu.
Walau Hero anaknya, tapi Hanny merasa sedikit malu dengan suaminya yang terlalu menunjukkan kemesraan tanpa pernah melihat tempat.
“Anggap saja aku nggak ada Bun,” jawab Hero dengan nada acuhnya.
Hanny yang sudah paham dengan sifat Hero yang kini acuh dan datar, ia tidak terlalu mengambil hati hal itu. Karena meski acuh, setiap berkata pada ibunya Hero selalu berbicara dengan nada yang terkesan lembut.
Sepanjang perjalanan Hero hanya diam dan duduk di belakang sendirian. Ayah dan bundanya, tentu mereka duduk di depan.
Bagi setiap anak melihat kemesraan antara kedua orangtuanya adalah sebuah anugerah dan sebuah kebahagiaan yang mengharukan. Tapi, di sisi lain Hero merasa jika dirinya benar-benar tidak dianggap ada.
Ayolah, Ayah dan ibunya itu terlalu menunjukkan rasa cinta dan sayang mereka. Hingga siapapun pasti akan merasa iri akan hal itu. Terlihat dari ayahnya yang tidak henti menggenggam tangan ibunya dengan wajah Sang Ibu yang tersipu malu.
“Mungkin seumur hidup aku ini aku nggak akan pernah bisa seperti mereka,” gumam Hero tanpa sadar. Ia diam tapi pikirannya sedikit menerawang.
#####
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments