Alina berjalan memasuki ruangan yang sama dengan ruangan milik Hero. Ruangan itu sebenarnya hanya dikhususkan untuk Hero saja, terbukti dari segi bentuk dan fasilitas yang ada di ruangan itu, bahkan bisa juga dikatakan jika ruangan kerja Hero lebih luas dan lebih lengkap dibandingkan dengan ruangan Andrean yang notabenya adalah anak dari pemilik rumah sakit.
Tidak seperti biasanya, Alina melihat jika Hero belum sampai hingga kini.
Lelaki itu justru masih belum datang, padahal Alina jelas tahu jika lelaki itu sangat disiplin akan waktu, karena biasanya Hero akan berangkat setidaknya setengah jam sebelum jadwal kerjanya di mulai.
Beberapa menit kemudian Hero datang dan memasuki ruangan yang sama, lelaki itu terlihat memiliki ekspresi yang datar dan terlihat sangat acuh.
“Apa ada yang perlu saya kerjakan dok?” seperti biasa saat di rumah sakit Alina akan selalu bersikap secara profesional.
“Tidak perlu,” tatapan Hero terlihat memandang Alina dengan sedikit intimidasi.
Alina yang ditatap seperti itu sontak merasa sedikit terintimidasi, jujur Alina adalah anak yang selain manja ia juga anak yang berani bertanya. Biasanya jika dirinya tidak salah dan ditatap seperti itu, ia akan langsung bertanya alasannya.
Tapi untuk saat ini entah mengapa Alina tidak berani untuk bertanya, ia bahkan hanya menunduk seolah tak ingin menatap Hero.
Beberapa detik kemudian Hero tidak menatap Alina lagi, ia duduk di tempatnya dan memilih fokus pada pekerjaannya.
Melihat itu Alina heran, tapi meski begitu ia tidak berani untuk berkomentar banyak.
Alina berusaha untuk fokus mengerjakan tugas yang memang bisa ia kerjakan. Tapi sayangnya ia hanya bisa fokus untuk beberapa menit, karena di menit berikutnya Alina terus kepikiran tentang perubahan sikap Hero.
Memang Hero acuh dan datar, tapi tidak seacuh dan sedatar ini. Lalu sekarang mengapa lelaki itu bisa bersikap sangat dingin padanya.
Tanpa sadar, Alina mengingat sebuah obrolan yang terjadi antara dirinya dan juga keluarganya sebelum ia menikah dengan Hero.
Ketidaksetujuan Bian akan rencana perjodohan waktu itu membuat kedua orangtuanya bertanya-tanya tentang ketegasan Bian saat itu.
Flashback.
Saat itu, ditengah acara suasana saling bercerita sambil bercengkrama riang. Tiba-tiba ayahnya berkata tentang sesuatu hal yang mengejutkan baginya.
“Alina, jika seandainya kamu dijodohkan. Apa kamu akan menerima hal itu?” tanya Setoni tiba-tiba
“Karena ini keputusan yang menurut Papah hanya bisa kamu yang menentukan tentang apa dan bagaimana kamu kedepannya. Karena sebagai seorang ayah, Papah hanya ingin yang terbaik untuk kamu tanpa memaksa kehendak kami sendiri,” ungkap Setoni yang bagi Alina memiliki makna dalam dalam setiap perkataannya. Itu berarti, Setoni sangat menghargai keputusan serta apa yang Alina pilih.
Alina benar-benar sangat bersyukur memiliki seorang ayah yang benar-benar sangat sayang padanya, sosok figur yang baik dan juga motivasi terbesar Alina untuk bisa membuat ayahnya merasa bangga telah memiliki anak seperti dirinya. Tapi Alina merasa ayahnya terlalu luar biasa, ia bahkan merasa jika dirinya tidak bisa dalam menyeimbangkan kemampuan dirinya seperti kemampuan kakak-kakaknya yang lain.
“Apakah pembicaraan tentang perjodohan ini telah mengganggu kamu? kalau memang seperti itu Papah tidak ingin memaksa. Kamu yang akan menjalani, dan kamu yang akan menentukan, sebagai seorang ayah, Papah hanya akan mendukung selagi hal itu memang hal yang baik,” kata Setoni lagi.
Mungkin karena wibawanya dan pembawaannya, apa yang ia katakan dan sampaikan itu terlihat berkesan. Selain memang karena sangat dalam, tapi juga sangat penuh makna.
“Alina ..., Alina ...,” ucap Alina yang terdengar sedikit terbata-bata, ia seakan bingung untuk menjawab seperti apa.
Di satu sisi Alina yakin jika ayahnya telah memutuskan seperti itu maka itu berarti Sang Ayah memang telah memilih jodoh untuk dirinya yang benar baik dan tepat.
“Alina,” kini Amina sebagai ibu Alina mulai bersuara.
Alina menoleh dan melihat wanita cantik yang tidak lagi muda itu tengah tersenyum lembut padanya, terdapat guratan halus diwajah ibunya yang seakan memandakan jika wanita itu tak lagi muda.
“Apapun keinginan kamu, dan apapun keputusan kamu, akan kami dukung. Karena yang kami semua inginkan adalah yang terbaik untuk kamu. Kita semua selalu mengusahakan apapun yang menurut kami baik, tapi jika menurut kamu hal itu tidak memuaskan, kami benar-benar tak akan memaksa,” kata Amina dengan lembut.
Lagi-lagi Alina dibuat bingung dengan hal itu, ia ingin menolak karena lukanya yang disebabkan oleh sebuah kenyataan jika cintanya selama ini bertepuk sebelah tangan itu belum sembuh.
Karena saat itu, Alina baru saja mengetahui jika Hero tidak mencintainya, dan hanya menganggapnya adik.
Alina juga tidak ingin jika dirinya masih terbayang dengan masa lalunya, dan hal itu akan membuat orang yang tidak bersalah terluka. Apalagi jika orang itu yang nantinya akan menjadi suaminya.
“Boleh Alina meminta waktu untuk berfikir Mah, Alina sepertinya harus memikirkan ini semua sebelum Alina bisa mengambil keputusan. Alina harap kalian memberi Alina ruang waktu,” kata Alina yang langsung di jawab anggukan oleh kedua orangtuanya.
“Memang dengan siapa Alina akan menikah?” tanya Eron, sebagai seorang kakak seharusnya memang dia yang harus lebih dulu menikah.
Tapi di sisi lain Eron juga masih berjuang mendapatkan hati pujaan hatinya, lagipula yang berhak untuk merasa harus menikah duluan adalah Bian.
Tapi nyatanya lelaki itu masih terlihat santai-santai saja, seolah ia tidak masalah jika adiknya lebih dulu menikah.
“Bagi kami ini bukan sebuah pernikahan bisnis ataupun sebuah pernikahan yang didasari sebuah keuntungan. Yang kami lakukan ini adalah untuk kebahagiaan Alina. Dan yang akan kami jodohkan dengan Alina adalah Hero,” jelas Amina. Sebagai seorang ibu yang kadang sering mendengar curhatan anaknya, ia tahu betul jika anaknya sedang mencintai seseorang, dan orang itu adalah Hero.
Meski saat bercerita Alina tidak menyebutkan tentang siapa orang yang ia rindukan, tapi insting seorang ibu sangat amatlah kuat.
“Bian tidak setuju,” ucap tegas Bian tiba-tiba.
Hal itu membuat seisi rumah beralih menatap ke arah Bian, terutama Alina.
Jujur saja jika Alina tidak tahu tentang perasaan Hero, mungkin ia akan sangat senang tentang perjodohan ini, sayangnya ia sudah mengetahui tentang perasaan Hero. Hal itu membuat Alina merasa jika dirinya berada diantara senang dan juga sedih saat bersamaan.
Selain itu respon dari Sang Kakak membuat Alina semakin bingung.
“Kenapa?” tanya Alina langsung.
“Sampai kapanpun Bian tidak akan pernah setuju dengan hal ini. Kamu harus mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik darinya,” ucap Bian tegas.
Setelahnya Bian langsung pergi begitu saja.
Mendengar itu Alina hanya diam, jika ditanya laki-laki yang lebih baik dari Hero apakah ada?
Dari latarbelakang, status, profesi, dan segala hal yang Hero miliki Alina rasa di negara Z ini tidak ada yang sebanding dengan Hero.
Tapi beda lagi jika laki-laki itu adalah orang yang Alina cintai, maka segala hal yang tidak dimiliki oleh laki-laki itu, akan tetap terlihat menjadi suatu kelebihan bagi Alina. Sayangnya Alina malah mencintai Lelaki yang bernama lengkap Hero Abimana Sanjaya dengan sangat dalam, bahkan Alina merasa jika ia tak yakin bisa melupakan laki-laki itu dalam waktu singkat.
Alina rasa itu tak mungkin, dan hal yang membuat Alina mencintai Hero bukan dari latarbelakang dan statusnya, tapi sikap dan kepribadian Hero yang ia kenal. Lantas bagaimana perasaannya kini yang merasa jika sosok Hero bukanlah sosok yang sama seperti yang ia kenal?
Flashback end.
Saat memikirkan itu, entah mengapa Alina berfikir jika mungkin kakaknya sudah tahu lebih dulu perasaan Hero padanya.
Atau mungkin juga, alasan Hero mengirim Alina ke luar negeri untuk berkuliah selama 5 tahun. Itu juga karena laki-laki itu tahu tentang perasaan Hero pada Alina?
#####
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments