“Kenapa ada di sini?” sinis Eron saat melihat adiknya ada di rumahnya. Tentu sikap Eron itu hanya sebuah candaan dan gertakan biasa.
Walau Eron kecewa dan tidak suka dengan keputusan Alina yang tetap menikahi Hero, laki-laki yang pernah menolak perjodohan dengan Alina saat itu.
Perjodohan yang telah disusun oleh keluarga Alina dan keluarga Hero dengan sebaik mungkin, tapi karena penolakan langsung dari Hero, hubungan layaknya saudara antara keluarga Sanjaya dan Angkasa menjadi sedikit renggang.
“Jadi ngusir nih ceritanya?” balas Alina yang terdengar acuh.
Bagaimana Alina bisa semangat berdebat jika saja ia masih dalam suasana hati yang buruk.
“Lagi ngidam ya neng, kok suaranya kayak nggak bersemangat gitu,” ledek Eron lagi-lagi hanya Alina balas dengan dengusan.
“Senggang Bener neng, pagi-pagi sudah datang ke rumah orang aja, nggak ada kerjaan ya neng.”
Eron terus saja meledek Alina, hingga wanita itu merasa kesal dan jengah.
“Alina belum kerja, terus kenapa juga kakak yang repot? seharusnya Kakak juga sadar diri dong, kenapa Anda juga ada di rumah sekarang?” balas Alina dengan meledek.
“Ya terserah saya dong neng, 'kan klinik itu punya saya pribadi, mau berangkat ataupun nggak itu urusan saya.”
Mendengar kata-kata Eron itu membuat mood Alina semakin buruk, ia lantas memilih untuk mengabaikan kakaknya itu.
“Cie, marah nih ceritanya ya neng,” senggol Eron yang langsung ditepis oleh Alina.
“Kak Eron!” kesal Alina.
“Heran deh, beberapa hari nggak ketemu aja sudah sejahil ini, Alina lagi kesel jangan bikin Alina tambah kesel dong,” dengus Alina.
“Iya iya deh neng, Kakak pamit dulu.”
Setelahnya Eron langsung bangkit dan melenggang pergi begitu saja.
“Nang neng Nang neng, sekalian aja nengklong Kak. Ngeselin banget sih jadi orang,” heran Alina. Ia kadang berfikir, kok bisa ada orang seusil dan semenyebalkan Eron. Dan lebih anehnya lagi orang itu adalah kakaknya sendiri.
*****
Di tempat Hero.
Anak tunggal dari keluarga Sanjaya itu, ia yang merupakan pewaris satu-satunya yang akan mewarisi kekayaan dari keluarga Sanjaya.
Sanjaya.
Nama perusahaan itu sepertinya bukan hal yang asing lagi, perusahan yang bahkan sudah terkenal hingga manca negara dan dinobatkan sebagai perusahaan terbesar dan termaju di Asia.
Herolah yang nantinya akan menjadi ahli waris dari perusahaan itu. Tapi meski begitu, ia kini bukan sibuk di perusahaan. Melainkan ia sibuk di rumah sakit. Hero memilih menjadi seorang dokter bedah, ia juga orang yang sangat terkenal di negaranya karena kemampuan sebagai dokter bedah yang sangat hebat.
Selain itu, Hero sebenarnya sangat berkontribusi banyak dalam perusahaan keluarganya, kemajuan perusahaan juga sebagian besar adalah karena kerja kepintarannya. Hanya saja, ia jarang ke perusahaan dan selalu di rumah sakit tempatnya kerja.
Hero juga lulusan kedokteran dengan waktu yang paling cepat diantara yang lainnya. Nilainya sangat tinggi dan menjadi nilai terbaik di universitas tempatnya kuliah.
Bukankah kehidupan Hero sangat sempurna?
Tapi sayangnya kesempurnaan itu tidak pernah Hero rasakan lagi sejak kematian dari orang yang sangat dicintainya.
Dan karena ketampanan serta statusnya, banyak sekali orang yang berusaha untuk dekat dengan Hero, segala macam jenis cara mereka lakukan hanya untuk sekedar bisa dekat dengan Hero.
“Dok,” panggil seorang dokter wanita yang memasuki ruangan Hero.
Sebagai seorang dokter yang sangat di hormati, Hero memiliki ruangannya sendiri untuk sekedar beristirahat.
“Iya?” dengan nada dingin Hero menjawab.
“Ada seorang pasien yang memerlukan tindakan darurat, apakah Dokter bisa untuk segera ke sana?” tanya dokter cantik itu, namanya Syela.
Wanita itu jelas tahu jika Hero telah menikah, tapi dengan kukuh dan tanpa tahu malu ia tetap saja berusaha mendekati Hero. Seakan ia tidak peduli dengan status laki-laki itu yang telah menikah.
“Apakah seorang dokter bisa mengatakan tidak untuk pasien yang kini sedang membutuhkan pertolongan darinya, ” jawab Hero dingin.
Meski Hero tidak mencintai Alina, ia yang memang terkenal dingin dan acuh pada wanita, seringkali membuat para wanita yang menyukainya, mereka hanya bisa gigit jari.
Ingin berjuang, Hero katanya telah memiliki istri, tapi orang-orang tidak tahu siapa istri Hero.
Karena pernikahan itu dirahasiakan. Jadi meski Hero sudah memiliki istri, orang yang ingin menyerah, mereka merasa sangat sayang untuk melewatkan laki-laki sesempurna Hero.
Tapi diantara orang yang tidak tahu tahu malu lainnya, Syela lah yang paling tidak tahu malu. Karena dengan gencar ia terus saja mendekati Hero meski tahu Hero telah menikah. Sekalipun, ia tidak tahu siapa istri dari Hero.
Hero yang tadi berbicara dengan dingin, hal itu sontak membuat Syela yang mendengarnya hanya diam dan bungkam, seakan ucapan Hero itu mengatakan jika itu sudah kewajiban dirinya, jadi sesibuk dan selelah apapun dirinya. Hero merasa kewajiban dirinya sebagai seorang dokter lebih utama.
Maka itu, meski hanya tidur beberapa jam, Hero selalu menjaga kesehatan dan kondisi tubuh agar ia bisa menangani pasien dengan maksimal.
“Oh i-iya. Saya hanya berfikir jika mungkin anda lelah karena telah melakukan cukup banyak operasi hari ini,” jawab Syela sedikit canggung dan gugup.
*****
Tidak terasa waktu telah pukul 12 malam. Hero yang baru selesai melakukan tugasnya sebagai dokter bedah, ia kini masih belum kembali ke rumah.
“Masih harus lembur Bro?” tanya Farrel yang tak lain sahabat dari Hero, dia juga seorang dokter.
Bedanya, Farrel adalah dokter gigi. Terlihat dari wajahnya yang bertambah tampan dengan gigi yang amat rapi. Meski ketampanan Farrel tidak bisa dibandingkan dengan Hero, tapi laki-laki itu juga sangat tampan.
“Kamu tahu jika masih ada beberapa pekerjaan yang perlu untuk di urus, jadi tidak perlu terlalu banyak bertanya,” jawab Hero acuh.
Meski sikap Hero acuh dan dingin, tapi bagi Farrel dia adalah sahabat yang baik dan setia. Bukankah kita tidak boleh melihat orang hanya dengan melihat sampulnya saja?
Itu yang menjadi penyesalan terbesar Farrel karena sempat menganggap jika Hero adalah seseorang yang sombong. Tapi nyatanya, setelah ia dekat dan kini telah menjadi sahabat dari Hero, Farrel tahu seberapa baik seorang Hero.
Hanya saja kebaikannya tertutupi oleh sikap acuh dan cueknya.
“Sini biar gue bantu deh, barangkali aja 'kan bisa,” ucap Farrel yang langsung mengambil bangku dan duduk bersebelahan dengan Hero.
Dengan kalimat yang terdengar sombong dan yakin itu, Hero berbicara dengan santai. Hingga akhirnya Hero menoleh dan menatap Reno dengan tatapan yang terlihat tak yakin.
“Yakin bisa bantu?” Hero mengangkat kedua alisnya hingga bertaut tinggi.
“Iya, Lo kayak ngeremehin banget gue ya,” kesal Farrel dan langsung merebut laptop di tangan Hero.
Melihat apa yang sedang dikerjakan oleh Hero saat ini, Farrel yang belum sempat mengetik apapun sama sekali, ia sudah mulai pusing dan rasanya tak sanggup untuk mengerjakan pekerjaan itu hanya dengan melihatnya saja.
“Ayah Lo benar-benar kejam banget Bro, masa elo harus di beri pekerjaan sesulit ini, apalagi Lo 'kan memiliki banyak tugas sebagai dokter,” tepatnya, Farrel seakan mengatakan jika hari ini Hero telah melakukan banyak operasi bedah. Entah itu hanya sebuah tindakan darurat atau memang karena Hero harus melakukan tindakan operasi, yang jelas bagi Farrel, menjadi Hero itu tidak mudah.
“Karena ini syarat untuk menjadi dokter,” jawab Hero, itu memang syarat dari Bram ayah Hero sebelum Hero menjadi dokter.
Hero lalu langsung mengambil kembali laptopnya.
Jari-jari kokoh itu berselancar dengan gerakan cekatan dan rapi. Farrel bahkan sampai sedikit melongo melihat Hero yang seolah masih memiliki banyak tenaga untuk mengerjakan pekerjaan ini semua.
“Heran gue, stamina Lo itu terbuat dari apa? gila aja sih Lo jam segini masih aja semangat kerja, padahal Lo itu orang yang paling awal datang ke rumah sakit,” tatapan kagum dan aneh Farrel berikan secara bersamaan.
“Berapa jam Lo tidur dalam sehari?” tanya Farrel langsung.
“3 jam,” jawab Hero langsung. Karena Hero menganggap Reno sebagai temannya, ia tidak sungkan untuk jujur.
“Gila sih! tiap hari Lo kayak gitu?” tanya Farrel lagi
Kali ini Hero memilih untuk fokus pada laptopnya, menurut dirinya itu bukan pertanyaan yang perlu dia jawab.
*****
“Bun, kok Bunda tahu kalau Alina ingin kerja di rumah sakit Cendana?”
“Iya, karena itu rumah sakit tempat Hero kerja,”
“Bukankah kamu ingin bekerja di sana?” tanya Hanny yang Alina jawab gelengan.
“Nggak yakin Alina bisa diterima di sana,” jawab Alina.
Alina sebenarnya sangat pintar dalam hal melukis dan menggambar, ia sangat pintar dalam matematika. Awalnya Alina ingin menjadi guru atau seorang pelukis, sayangnya Sang nenek tidak mengizinkan keinginannya itu.
####
Jangan lupa like and komen ya, vote juga boleh.
Mohon dukungannya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments