Hari-hari berlalu
Alina selama ini pernah berusaha meminta ruangan untuknya secara baik-baik pada Andrean, tapi tidak ada jawaban sama sekali untuk permintaannya itu
Padahal Alina kini hanya ingin memberikan waktu pada Hero untuk sendiri selama beberapa hari ke depan, biarkan laki-laki itu nyaman dan tidak merasa risih dan tidak merasa semakin benci padanya. Karena selama bekerja disana, Hero terlihat semakin dingin pada Alina.
Dan ini sudah lebih dari 4 minggu Alina bekerja di rumah sakit Cendana. Tidak ada kemajuan apapun ataupun sebuah kedekatan antara Alina dan Hero. Obrolan mereka pun hanya berdasarkan keperluan, seperti halnya saat sedang menjalankan tugas Hero akan berbicara dengan Alina sepatah atau dua patah kata, selebihnya hanya diam.
“Tolong ambilkan jaket saya.”
“Tolong ambilkan kacamata saya.”
“Tolong ambilkan teh saya.”
“Tolong ambilkan buku saya.”
“Tolong ambilkan peralatan saya.”
Hanya saat-saat benar-benar memerlukan bantuan saja Hero berbicara. Kadang Alina merasa jika ia itu terlalu senggang dalam bekerja, karena sebagai seorang asisten pekerjaan dirinya hanya harus menuruti segala hal yang diperintahkan oleh Hero. Lelaki itu tidak suka jika Alina mengambil inisiatif untuk membantu, karena hal itu akan terlihat salah di marah seorang Hero.
“Sudah makan?” tanya Hero dan hal itu langsung membuat Alina terkesiap.
Untuk sekian lamanya, ini pertama kalinya Alina mendengar Hero berbasa-basi padanya, walau hanya menanyakan makan dan belum tentu akan menawarkan makan.
“Be-belum dok,” jawab Alina antara canggung dan gugup karena tidak percaya dengan pertanyaan Hero itu.
Meski sebenarnya Alina memiliki banyak kesempatan untuk mendekati Hero, karena setidaknya orang yang menjadi kekasih Hero telah tiada. Tapi Alina merasa, bersaing dengan masa lalu apalagi hal yang telah tiada itu sama halnya bersaing dengan angin yang tidak terlihat.
Alina pernah merasa tidak yakin bisa mendapatkan hati Hero, tapi keyakinan dan tujuan Alina yang ingin mendapatkan hati laki-laki itu. Membuat dirinya semangat dan terus mencoba.
“Ini untuk kamu,” ucap Hero yang langsung memberikan sebuah bekal makanan untuknya.
Demi apa? ini Hero 'kan? Dokter Hero yang terkenal tampan dan dingin serta acuh?
Ada angin apa dia baik pada seorang Alina?
“Tolong habiskan, setelah itu kamu cuci kotak bekalnya dan berikan itu pada pemiliknya,” jawab Hero yang setelahnya ia langsung duduk di tempatnya.
Alina melihat Hero dengan tatapan herannya, apa maksudnya ini? jadi bekal makan ini bukan dari Hero untuknya? Hero tidak sengaja memberikan makanan ini untuknya?
Mengetahui itu Alina sedikit kecewa, dan hal yang membuatnya kesal adalah ucapan Hero selanjutnya.
“Kasih bekal makanan yang telah kosong itu pada Syela,” ucap Hero tanpa rasa bersalah sama sekali.
“Jadi apa ini maksudnya Anda menjadikan saya sebagai tameng?” ucap Alina tanpa sadar.
Tatapan bertanya langsung Hero layangkan pada Alina.
“Ah tidak! maaf. Akan saya habiskan makanan ini kalau begitu,” jawab Alina langsung.
Entah Hero sadar atau tidak jika apa yang dia lakukan itu justru membuat Alina semakin dimusuhi oleh Syela, yang jelas laki-laki itu terlihat tidak memperhatikan hal itu.
...*****...
Alina kembali dari tempatnya bekerja di malam hari. Hari ini, Alina berniat untuk menginap. Ada hal yang harus Alina bicarakan dengan keluarganya.
Ini demi awal hubungan baik keluarga Angkasa dan Sanjaya
Saat memasuki rumahnya, Alina melihat jika keluarganya kini sedang berkumpul.
Rumahnya memang tidak sekaya keluarga Hero, tapi rumahnya juga tidak kecil dan bisa dikatakan sangat besar. Jadi setiap Alina ingin berjalan menuju ruangan satu dengan ruangan yang lain, kadang ia merasa jika ia lelah hanya dengan berjalan.
“Mah, Pah, Kak, sudah pulang?” tanya Alina. Ia lalu menghampiri keluarganya dan duduk disebuah sofa kosong.
“Iya, hari ini jadwal pasien Papah sedikit,” jawab Setoni sambil tersenyum, ia mengusap rambut anaknya dengan sayang.
Seperti biasa, Alina sangat manja sekali pada ayahnya, ia bahkan lebih manja pada ayahnya dibandingkan pada ibunya. Meski begitu ia sangat menyayangi kedua orangtuanya.
“Mamah juga sedikit jadwalnya,” jawab Amina, ia terlihat mengusap punggung anaknya. Seolah tahu jika mungkin saja anaknya kini sedang lelah, padahal dirinya jauh lebih lelah.
Alina adalah anak yang sangat di manja oleh anggota keluarganya, sebagai anak perempuan satu-satunya dan anak terakhir, banyak rasa sayang dan cintai yang ia dapat dari keluarganya. Tapi hal itu tidak membuat Alina hidup dengan seenaknya, ia punya mimpi dan tujuan, membanggakan kedua orangtuanya dan kedua kakaknya.
Sayangnya, kini Alina merasa jika dirinya telah sangat mengecewakan keluarganya karena keputusannya yang menikah dengan Hero.
“Alina,” tiba-tiba kakaknya, Bian memangilnya.
Alina yang sedang bersandar pada ayahnya langsung menatap ke arah kakaknya itu.
“Iya Kak?” tanya Alina.
“Apa tidak sebaiknya kamu bekerja di rumah sakit keluarga kita saja?” tanya Bian tiba-tiba.
“Kenapa begitu Kak?” Alina menyernyit heran terlihat bingung.
“Bukankah kamu sangat aneh, kamu jelas-jelas memiliki rumah sakit sendiri, rumah sakit keluarga Angkasa, tapi kenapa kamu justru lebih memilih bekerja di rumah sakit lain?” bukan Bian yang berbicara melainkan Eron, meski pandangan matanya tak henti-hentinya menatap televisi di depannya dengan aktifitas yang sedang makan camilan, tapi jelas ia seakan ingin mengungkapkan apa yang hendak Bian katakan.
“Alina hanya ingin tahu dengan jelas seperti apa dunia kerja, itu aja kok. Lagipula Alina yakin jika Alina nanti memilih bekerja di rumah sakit keluarga kita, Alina itu nggak bakal bisa kerja,” jawab Alina.
Jelas Alina tahu jika keluarganya tidak akan pernah membiarkan dirinya kelelahan. Mereka akan selalu merasa khawatir akan kesehatannya dan keadaan dirinya, karena memang Alina itu memiliki kondisi fisik yang lemah walau sebenarnya ia tipe anak yang ceria dan terlihat selalu happy. Meski begitu, kedua orangtuanya selalu menjaga dirinya agar tidak sakit. Dan selama ini juga Alina selalu sehat dan tidak pernah sakit, itu tak lain karena kedua orangtuanya sangat memperhatikan kesehatannya.
“Wajar kalau kita peduli pada kamu sayang, kita hanya takut kamu kenapa-napa, khawatir kamu akan merasa lelah dan jatuh sakit,” ucap lembut Amina. Ia tipe ibu yang memiliki kelembutan setiap berkata pada setiap anaknya.
“Nggak akan, Alina bakal baik-baik aja kok. Alina yakin itu, Alina akan tetap sehat dan kuat, selain itu, Alina akan selalu jaga kesehatan agar tidak sakit. Jadi Alina benar-benar harap kalian semua jangan terlalu merasa khawatir pada Alina,” ucap Alina panjang lebar.
Mungkin seandainya Alina berkata tidak akan bekerja, hal itu akan langsung di setujui. Karena sekalipun Alina tidak ingin berkerja keluarganya akan membiayai Alina dengan senang hati. Tapi untungnya Alina bukan anak yang terima enak saja, ia adalah tipe anak yang merasa harus membuat orang-orang yang menyayanginya merasa bangga karena telah memilikinya.
Contohnya dengan hasil dan sebuah prestasi yang membanggakan.
“Khawatir itu wajar, nggak mungkin juga kita sebagai keluarga nggak khawatir sama kamu,” ucap Eron lagi, ia tetap hanya menatap ke arah televisi yang menampilkan film favoritnya.
“Iya, tapi jangan terlalu khawatir. Alina merasa Alina telah dewasa, dan Alina ingin mandiri. Tolong untuk mengerti,” setelah ucapan Alina itu, keluarganya tidak ada yang berkata-kata lagi.
#####
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments