Pertemuan yang tak diinginkan

*Happy reading guys*

"Ternyata kamu makin berani ya," Kafa masih menunjukkan senyum smirknya meskipun telah mendapat tamparan yang keras itu. Pria itu masih saja mengolok Isha.

"Aku yang harusnya bilang, ternyata kamu masih sama kaya yang dulu, brengsek dan gak punya perasaan!" sentak Isha dengan tatapan nyalang.

Namun sebaliknya, Kafa terus memandangi Isha dan fokus pada gaunnya. Karena Kafa terus memandangi dengan aneh Isha pun sampai risih dibuatnya.

"Kenapa lihatin aku begitu?"

"Kamu mau nikah?" tanya Kafa masih menatapnya dengan raut bertanya-tanya.

"Bukan urusan kamu!" ketus Isha.

Kafa mengernyit dengan tatapan heran.

"Awas! aku mau keluar!" Isha berusaha menepis kedua tangan Kafa yang menghalangi jalannya.

"Gaun kamu belum diresleting loh,"

"Daripada aku disini lama-lama sama kamu mending aku keluar!" tandas Isha.

"Urusan kita belum selesai, tiba-tiba aku badmood gara-gara kamu,"

"Kamu ngomong apa sih? minggir!" bentak Isha sekali lagi.

"Isha??" suara Nina memanggilnya dari belakang mereka. Isha dan Kafa sama-sama menoleh ke arah Nina.

"Kalian ngapain?" tanya Nina lagi dengan raut muka bingung melihat keduanya.

"Nina! tolongin aku!" teriak Isha minta tolong.

"Kafa! Lo minggir engga?!" Nina berusaha menarik Isha dari Kafa yang menghalanginya.

"Oke, ambil temen lo," Kafa pun akhirnya beringsut minggir dan mempersilahkan Isha pergi.

Nina dan Isha segera keluar dari toko karena urusan mereka sudah selesai. Isha pun memang ingin cepat-cepat keluar dari sana lalu berjalan menuju mobil. Dia sudah muak setiap kali mendengar pujian si pemilik toko ini kepada Kafa. Di dalam toko jahit tadi kalimat pujian terus mengagung-agungkan Kafa dari para pengunjung toko dan si pemilik toko bahwa dia adalah calon walikota termuda dan banyak prestasi.

"Gila ya! orang gila kaya Kafa mau jadi walikota, apa jadinya kota ini dibawah pimpinan dia?" protes Nina dengan bogeman tangan yang menekan kursi mobil. Nina ikut merasa kesal soal berita Kafa yang akan menjadi walikota dari mulut-mulut orang itu.

Sedangkan Isha hanya terdiam, melamun memikirkan sesuatu. Tepatnya dia masih belum melupakan kejadian tadi.

"Tadi beneran mas Kafa ya?" kini Bila ikut bertanya.

"Iya," jawab Nina.

"Makin ganteng ya, mirip bule," puji Bila yang teramat jujur. Memang Isha akui bahwa sekarang penampilan Kafa semakin oke. Dia semakin tampan karena pintar merawat diri. Stylenya pun terlihat seperti orang formal bak bos besar yang suka mengenakan jas.

"Jangan puji si Kafa itu di depan mba mu, nanti mba mu marah loh," seloroh Nina memberi tanda untuk Bila agar berhenti memuji Kafa. Nina sempat melotot membuat Bila takut. Hingga Bila pun akhirnya terdiam dengan rasa bersalah.

"Sha, pacarmu lagi kerja diluar kota ya?" tanya Nina. Entah kenapa Nina ingin menanyakan hal itu pada Isha. Karena melihatnya begitu murung. Nina takut Kafa sudah menguasai pikiran Isha.

"Iya Nin, berangkat semalem,"

"Oh semalem, LDRan dong sekarang,"

"Hmmm iya," jawab Isha sekenanya sebab badmood melanda dirinya.

Nina dengan sengaja menanyakan tentang Rio. Karena sepertinya pertemuan Isha dan Kafa yang kedua kalinya akan membekas bagi Isha. Dan Nina tak mau Isha berhubungan dekat lagi dengan Kafa. Meskipun sebaik apapun pria itu sekarang.

Setelah menghantarkan Nina ke rumahnya. Isha bersama Bila pun kembali ke rumah juga. Rasanya berat bagi Isha setelah pertemuan itu terjadi. Perasaan yang dulu dia tahan dan dia kurung selama bertahun-tahun tiba-tiba muncul kembali.

Isha duduk termenung di teras. Tiba-tiba saja langit turun hujan gerimis menyesuaikan suasana hati Isha. Air yang turun ke tanah merembes lalu menebarkan bau tanah yang menenangkan.

"Dia kira aku mau nikah? terus apa urusannya sama aku kalau dia sangka aku mau nikah, tapi kok perasaanku ngeganjel ya, bukannya itu bagus supaya dia rasain hal yang setimpal, tapi aku pun gak yakin dia sakit hati gara-gara aku nikah, dia kan udah bahagia nikah sama Vina, tapi aku gak yakin sih Vina nikah sama Kafa, penampilan mereka aja jauh berbeda, Vina kelihatan lusuh, sedangkan Kafa keliatan makin wow, apa jangan-jangan mereka udah nikah terus punya anak tapi mereka cerai? Duhhh ngapain sih Sha ngurusin mereka, gak banget!" Isha bermonolog dengan wajah serius. Banyak pertanyaan muncul di pikirannya yang membuat dia puyeng.

Air tetesan hujan menemani keributan di otaknya.

"Dimana-mana mantan cowo itu makin jelek, kenapa Kafa makin...," Isha tak sanggup mengatakannya lagi. Sebab dia benci mengakui bahwa Kafa memang makin tampan.

Mama Rita pun keluar menuju teras menemani anaknya yang sedang gundah gulana. Dia membawa segelas teh hangat untuk dia berikan kepada Isha.

Ketika mama Rita telah berada di sampingnya. Isha berusaha menutupi perasaan itu. Isha tersenyum pada sang mama.

"Ma suasananya enak ya? ademmm," kedua tangannya mendekap tubuhnya sendiri.

"Iya, mama bersyukur hari ini hujan setelah lama gak hujan, terimakasih ya Allah,"

Isha melepas napas panjang. Mengetahui itu mama Rita mulai menyadari anaknya sedang memikirkan sesuatu.

Mama Rita mengelus punggung tangan Isha yang sedang bertengger di atas pahanya.

Dia tahu dari Bila bahwa anaknya telah bertemu dengan sang mantan yang dulu pernah mencampakkannya dengan perempuan lain. Kini mama Rita merasakan prihatin untuk anaknya.

"Sayang, jangan dipikirkan lagi, kamu kan sudah move on, terus sekarang sudah ada Rio yang lebih baik dari Kafa,"

Kalimat itu menyambut telinga Isha yang sebenarnya tak ingin dia dengar sama sekali. Sejujurnya Isha kalah telak saat itu juga. Dia akui bahwa dirinya tak bisa move on dari Kafa.

"Hummm iya ma, aku udah move on kok," Isha tersenyum mencoba berpura-pura.

"Baguslah kalo begitu, lagian masih ada yang lebih layak menerima cinta kamu dibanding dia, Kafa udah jadi masa lalu kamu, dia juga udah nyakitin kamu kan sampe Isha nangis berbulan-bulan,"

Mama Rita mengingatkannya lagi. Masa dimana Isha berjuang dengan mental dan fisiknya untuk melupakan Kafa. Itu adalah masa yang paling melelahkan yang pernah Isha lewati seumur hidupnya.

"Iya ma, Isha ngerti," dia hanya tersenyum dan mengangguk.

Mama Rita mengelus kepalanya dengan lembut berharap Isha lebih tenang dan jernih untuk memikirkan sesuatu yang sedang kalang kabut yang berseliweran di otaknya.

Kafa memang telah memberikan banyak luka di masa lalunya. Tapi luka itu tersisa tinggal bekasnya saja. Meskipun Isha dengan keras hati membuka lembaran baru untuk orang lain dan membuang lembaran lama itu. Tetap tak ada satu hal pun yang tertulis di sana. Kertas putih itu masih kosong. Artinya Rio tak memberi kesan apa-apa untuknya. Karena hatinya sudah lama mati. Jadi itu hanyalah sebuah buku lama yang tertutup dan tak pernah dia buka lagi. Namun Isha tak pernah berniat membuangnya.

Author: Nur Isthifaiyatunnisa

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!