Mama Buat Bima

Mama Buat Bima

Keponakanku Tersayang

Suci

Tanpa diberitahu pun, aku sudah tahu bahwa kehidupan cintaku payah—benar-benar payah, jika boleh ditambahkan. Dua kali jatuh cinta, dua kali menjalin kasih, dan dua kali ditinggal nikah. Menyedihkan. Sebagai seorang gadis yang cerdas dan baik hati, aku sadar nggak ada gunanya mengasihani diri sendiri dalam kesedihan yang berlarut-larut. Hidup itu untuk masa depan, buksn masa lalu. Aku paham, baik Abraham maupun Satria bukan jodoh yang ditakdirkan Tuhan untukku, aku sudah move on kok dari mereka. Yeah, walau sebagian anggota keluarga—dan juga hati kecilku yang manis dan malang—masih belum percaya kalau aku udah bisa ngelupain pacar terakhir aku, Si Kampret Satria.

Yeah, walau kehidupan cintaku nggak berjalan mulus dan juga rencana pernikahanku dan Satria waktu itu gagal, tapi bukan berarti aku mau dijodoh-jodohin lagi. Aku kapok coy! Udah cukup Satria Kampret aja laki-laki terakhir yang dijodohin keluarga sama aku, aku nggak mau ada yang lain lagi. Haaaah, seandainya aku bisa ngungkapin itu sama Tante Rosna.

Udah, jangan mandang aku make tatapan aneh kek gitu. Iya aku emang dijodohin lagi, tapi bukan Papa sama Mama yang jadi mak comblangnya, melainkan Tante Rosna mertua dari Mbak Sati. Beliau pengen banget aku jadi istri Mas Bian, buat ngegantiin Mbak Sati yang meninggal sekitar sepuluh bulan yang lalu saat melahirkan Bima Pandu Dirgantara, anak pertama mereka. Menurut Tante Rosna, dari semua cewek yang ngedeketin Mas Bian setelah dia resmi menyandang status duda ditinggal mati (Uhuk!) cuma aku yang memenuhi kritera sebagai calon mama tirinya Bima.

SiTante Rosna kepedean banget yak? Siapa juga yang ngedeketin anaknya? Iya sih Mas Bian emang ganteng, mapan, dan matang, tapi aku nggak punya rasa apa-apa sama dia. Biar bagaimanapun dia masih Kakak iparku, suaminya Mbak Sati, dan aku sama sekali nggak punya niat buat ngambil atau nyobain ‘bekas’nya Kakak kandungku sendiri, walau kakakku itu sudah jadi Almarhumah. Lagian aku pengennya dapat perjaka, bukannya Duda. Ahay.

***

“Seharusnya kamu pertimbangkan lamarannya Tante Rosna untukmu,” nasihat Mama yang malam ini, nongkrong bareng sama aku dan Bima di ruang keluarga, depan tivi, sambil duduk nonton Dangdut Academy, beralaskan karpet.

 Sebenernya aku kagak hoby nonton acara beginian, cuma si Bima kecil hobi banget dengerin lagu dangdut sambil joget-joget/lonjak-lonjak ala anak seusianya. Dan kalau chanel acara dangdutnya dipindah ke acara lain, nih bocah setres bakal langsung ngamuk sambil nangis kenceng, ngebangunin tetangga-tetangga yang lagi tidur nyenyak. Entah hobi dangdur dan juga teriakan maut itu turunan dari bapaknya atau ibunya, aku nggak tahu.

“Nggak ah, Ma.” Aku mengernyit mendengar perkataan Mama, sambil terus memperhatikan Bima yang terlonjak-lonjak bertepuk tangan (mungkin itu joget ala baby Bima?) di depanku, “Suci nggak mau dijodohin lagi. Terakhir kali Suci nerima perjodohan, hasilnya benar-benar nggak bagus.”

Mama meringis mendengar jawabanku yang mengacu pada Satria dan keluarganya.

“Tapi ini Bian, Ci. Kamu udah lama kenal Mas Bian dan keluarganya kan? Mereka baik, dan Mama yakin mereka juga nggak akan terlibat masalah dan membatalkan pernikahan seperti yang dilakukan keluarga Satria.” Ya iyalah nggak bakal terlibat masalah seperti keluarga Satria, wong Mas Bian anak tunggal.

Aku mendesah, “Tapi Ma, Mas Bian itu suami almarhumah Mbak Sati. Dia udah kayak kakak buat aku, aku nggak mungkin … hhh, aku nggak punya perasaan sayang lebih dari seorang adik ke kakaknya sama Mas Bian. Lagian kenapa harus aku sih Ma? Kalau Mas Bian mau nikah lagi, dia bisa nyari calon istri diluar.” Pastinya nggak bakal ada yang nolak Dosen Duren Sawit ganteng kayak dia.Kayaknya si Mama udah nggak merhatiin lagi acara dangdutan di tivi. Beliau lagi fokus sama topik pembahasan kami. Sementara Bima … well, sepertinya sekarang dia lagi sibuk nyanyiin lagu ‘JUDI!’ dalam bahasa bayi dadadididudunya.

“Ci, keluarganya Bian sangat sayang pada Bima. Bima adalah cucu pertama keluarga mereka, dan mereka nggak mau Bima dapat Ibu tiri yang hanya sayang pada bapaknya saja dan menyianyiakan Bima, mereka nggak mau dapat menantu yang nggak jelas asal-usulnya dan akan ngejahatin Bima.”

Masuk akal sih. Aku juga nggak mau keponakanku dapat mama tiri nenek sihir jahat.

“Ci ….”

“Hmmm?”

“Kamu sayang kan sama Bian?”

Pertanyaan macam apa itu, Ma?

“Sayang,” jawabku dengan sebelah alis terangkat tinggi, “tapi Cuma rasa sayang sebagai adek-kakak doang Ma, nggak lebih.”

“Kalau sama Bima?”

Aku tahu kemana arahnya pertanyaan ini. Aku menunduk memandang Bima yang menguap dan merangkak ke arahku, seperti biasa, minta digendong ampe dia tidur. Mata hitam besarnya menatapku sambil berkaca-kaca, pipi bulat merahnya tampak menggemaskan, bibir bawahnya berkerut ke dalam. Kalau aku nggak bangun buat ngegendong nih bocah, taruhan lima detik lagi dia bakal tereak kalau aku nggak ngegendong dia.

Mendesah pasrah, aku berdiri dan mengangkat Bima ke dalam gendonganku.

“Tentu saja Suci sayang sama Bima, Ma. Walau Suci ngurus Bima cuma sabtu-minggu saja, tapi Bima udah kayak anak Suci sendiri.”

“Nah, itu dia!” wajah Mama berubah sumringah mendengar jawabanku.

“Itu dia apaan?”

“Suci, alasan Tante Rosna melamar kamu untuk Nak Bian adalah karena kamu tulus menyayangi Bima. Selama ini kamu merawatnya, dan tahu apa yang dia butuhkan. Kamu sudah terbiasa dengan semua polah dan tangis Bima sejak dia baru berumur beberapa hari. Ayolah Nak, pertimbangkan lamaran Tante Rosna. Beliau memilihmu, karena beliau tahu kamu sayang Bima seperti kamu sayang anakmu sendiri.”

“Aku memang udah nganggap Bima seperti anakku sendiri, tapi aku nggak nganggap bapaknya kayak suamiku sendiri tuh Ma.”

“Oh. Itu bisa diatur.”

Tubuhku membeku mendengar suara berat yang menjawab perkataanku dengan nada agak sinis, berasal dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Aku berbalik dan menemukan Mas Bian berdiri di sana. Memakai kemeja biru pucat lengan panjang dan celana denim hitam, rambutnya tampak acak-acakan, satu tangannya membawa tas kerja, dan satunya lagi memegang sebuah plastik hitam.

Aku nyengir canggung saat tatapan mata kami bertemu. Nih orang kok nggak pulang kerja ke rumahnya sendiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sedang menggendong anaknya. Bodohnya aku, Mas Bian tentu datang untuk menengok atau membawa pulang Bima. Tapi ini kan baru hari sabtu?

Mama tergelak melihat ekspresi ngeri-canggung-bercampur maluku. Bima yang tadinya mengantuk melonjak-lonjak senang melihat Papanya, sambil berkata ; “Tata! Tatha!” dengan penuh semangat.

“Hai jagoan!” kata Mas Bian riang sembari menghampiriku untuk menyapa anak semata wayangnya.

“Nak Bian, baru pulang kerja ya Nak?” Mama bangkit dari sofa.

“Iya Ma,” jawab Mas Bian, “Maaf kalau Bian terkesan masuk rumah tanpa permisi. Tadi Bian udah ngetuk pintu dan ngucap salam, tapi nggak ada yang jawab,” beritahunya, “Bian bawain martabak telor kesukaan Mama.” Dia mengangkat plastik bawaannya dan memberikan pada Mama.Kayaknya si Mama udah nggak merhatiin lagi acara dangdutan di tivi. Beliau lagi fokus sama topik pembahasan kami. Sementara Bima … well, sepertinya sekarang dia lagi sibuk nyanyiin lagu ‘JUDI!’ dalam bahasa bayi dadadididudunya.

“Ci, keluarganya Bian sangat sayang pada Bima. Bima adalah cucu pertama keluarga mereka, dan mereka nggak mau Bima dapat Ibu tiri yang hanya sayang pada bapaknya saja dan menyianyiakan Bima, mereka nggak mau dapat menantu yang nggak jelas asal-usulnya dan akan ngejahatin Bima.”

Masuk akal sih. Aku juga nggak mau keponakanku dapat mama tiri nenek sihir jahat.

“Ci ….”

“Hmmm?”

“Kamu sayang kan sama Bian?”

Pertanyaan macam apa itu, Ma?

“Sayang,” jawabku dengan sebelah alis terangkat tinggi, “tapi Cuma rasa sayang sebagai adek-kakak doang Ma, nggak lebih.”

“Kalau sama Bima?”

Aku tahu kemana arahnya pertanyaan ini. Aku menunduk memandang Bima yang menguap dan merangkak ke arahku, seperti biasa, minta digendong ampe dia tidur. Mata hitam besarnya menatapku sambil berkaca-kaca, pipi bulat merahnya tampak menggemaskan, bibir bawahnya berkerut ke dalam. Kalau aku nggak bangun buat ngegendong nih bocah, taruhan lima detik lagi dia bakal tereak kalau aku nggak ngegendong dia.

Mendesah pasrah, aku berdiri dan mengangkat Bima ke dalam gendonganku.

“Tentu saja Suci sayang sama Bima, Ma. Walau Suci ngurus Bima cuma sabtu-minggu saja, tapi Bima udah kayak anak Suci sendiri.”

“Nah, itu dia!” wajah Mama berubah sumringah mendengar jawabanku.

“Itu dia apaan?”

“Suci, alasan Tante Rosna melamar kamu untuk Nak Bian adalah karena kamu tulus menyayangi Bima. Selama ini kamu merawatnya, dan tahu apa yang dia butuhkan. Kamu sudah terbiasa dengan semua polah dan tangis Bima sejak dia baru berumur beberapa hari. Ayolah Nak, pertimbangkan lamaran Tante Rosna. Beliau memilihmu, karena beliau tahu kamu sayang Bima seperti kamu sayang anakmu sendiri.”

“Aku memang udah nganggap Bima seperti anakku sendiri, tapi aku nggak nganggap bapaknya kayak suamiku sendiri tuh Ma.”

“Oh. Itu bisa diatur.”

Tubuhku membeku mendengar suara berat yang menjawab perkataanku dengan nada agak sinis, berasal dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Aku berbalik dan menemukan Mas Bian berdiri di sana. Memakai kemeja biru pucat lengan panjang dan celana denim hitam, rambutnya tampak acak-acakan, satu tangannya membawa tas kerja, dan satunya lagi memegang sebuah plastik hitam.

Aku nyengir canggung saat tatapan mata kami bertemu. Nih orang kok nggak pulang kerja ke rumahnya sendiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sedang menggendong anaknya. Bodohnya aku, Mas Bian tentu datang untuk menengok atau membawa pulang Bima. Tapi ini kan baru hari sabtu?

Mama tergelak melihat ekspresi ngeri-canggung-bercampur maluku. Bima yang tadinya mengantuk melonjak-lonjak senang melihat Papanya, sambil berkata ; “Tata! Tatha!” dengan penuh semangat.

“Hai jagoan!” kata Mas Bian riang sembari menghampiriku untuk menyapa anak semata wayangnya.

“Nak Bian, baru pulang kerja ya Nak?” Mama bangkit dari sofa.

“Iya Ma,” jawab Mas Bian, “Maaf kalau Bian terkesan masuk rumah tanpa permisi. Tadi Bian udah ngetuk pintu dan ngucap salam, tapi nggak ada yang jawab,” beritahunya, “Bian bawain martabak telor kesukaan Mama.” Dia mengangkat plastik bawaannya dan memberikan pada Mama.“Wah terimakasih ya, Nak.”

“Oh ya, Ma. Malam ini boleh nggak Bian nginap di sini, nggak ada Bima di rumah jadi sepi.”

Mama tersenyum maklum, “Tentu saja boleh Nak. Kamu kan keluarga juga di sini. Kamu bisa tidur di kamar …,” Mama terdiam sejenak, tampak enggan meneruskan, “tempat kamu sama Saty sering tidur kalau lagi nginap di sini.” Nada suara Mama terdengar pahit.

Aku menunduk menatap lantai. Kami semua masih sedih dengan kepergian Mbak Saty. Dia orang yang ceria, sejak kecil dia selalu menjadi penyemarak suasana di rumah ini. Kehilangan dia adalah pukulan hebat bagi kami semua, terutama bagi laki-laki di depanku yang sangat mencintainya.

“Iya Ma,” sahut Mas Bian setelah terdiam beberapa saat. Dia kemudian melirik Bima—yang berubah jadi penuh semangat—dalam gendonganku, “lalu Bima tidurnya di mana?” tanyanya penasaran.

Ah ya! Mas Bian emang nggak tahu kalau selama ini, setiap kali Bima nginap, dia selalu tidur di kamarku.

“Bima tidur sama Suci, di kamarnya,” sahur Mama.

“Apa?”

“Mama ke dapur dulu ya buat nyiapin makanan. Nak Bian pasti belum makan.”

Mama meninggalkan kami berdua—kalau Baby Bima bisa dihitung, jadinya tiga—di ruang keluarga. Mas Bian menatapku dengan dahi berkerut dan membuatku risih. Beruntung Bima menyelamatkanku dengan cara meminta gendong pada papanya, hingga membuat perhatian Mas Bian teralihkan dariku. Ffiuh!

***

“Surabaya?”

Mas Bian mengangguk menanggapi keterkejutan kami. Dia baru saja menyampaikan bahwa dia ingin pergi ke Surabaya, ke tempat Ayah kandungnya—orang tua Mas Bian bercerai sejak dia masih kecil, selama ini Mas Bian tinggal dan dibesarkan oleh Tante Rosna dan Om Rahman, Ayah tirinya. Dia ingin membawa Bima bersamanya, karena selain merindukan anaknya yang tak pernah dilihat sejak masih bayi, Ayah Mas Bian juga ingin melihat cucunya.

“Iya Pa. Ayah Bian menderita penyakit gagal jantung, dan menurut Eyang kakung belakangan ini kesehatan Ayah makin menurun. Keluarga Bian yang di Surabaya berpendapat bahwa kesempatan hidup Ayah tinggal sedikit, jadi ….” Suaranya menghilang. Mas Bian terlihat sedih.

Mama, Papa, dan aku memaklumi.  Selama ini Mas Bian selalu ingin tahu dan bertemu dengan Ayah kandungnya, dan dia baru saja mengetahui tentang Ayah kandungnya, setelah istrinya meninggal. Dan di saat dia tahu tentang Ayah kandungnya, beliau malah divonis mati, jadi wajar jika Mas Bian sedih.

Papa menarik napas panjang, dia kemudian menatap Mama selama beberapa saat lalu bertanya, “Kapan kalian berangkat?”

“Mungkin lusa. Masih belum tahu mau berangkat pake mobil atau pesawat.” Sesekali Mas Bian melirikku—yang tengah asik menyuapi Bima dengan bubur bayi rasa pisangnya.

“Tapi Bi …,” kening Mama berkerut khawatir, “Umur Bima kan kurang dari satu tahun. Dia masih terlalu kecil dan agak rewel. Sejujurnya Mama khawatir dengan kalian berdua saja yang melakukan perjalanan jarak jauh.”

Mas Bian tersenyum, “Bian udah mikirin itu Ma, Bian mau ngajak seseorang buat bantu ngurus Bima di perjalanan dan di Surabaya nanti.”

“Tante Rosna?” tanyaku berusaha untuk tidak terkikik geli menanggapi kelakuan Bima yang menggemaskan, yang tampak jengkel dan seperti ingin meninjuku saat aku terlambat menyuapi buburnya.

“Bukan. Aku … mau ngajak kamu, Ci.”

WHAT? Eits, untung aku nggak nyodok mulut Baby Bima, karena kaget dengar permintaan Bapaknya. Apa tadi dia bilang? Ngajak aku ke Surabaya? Nggak salah dengar tuh?

“M-maksud Mas?” gagapku bodoh.

“Aku ngajak kamu ke Surabaya buat ngebantu aku ngerawat Bima di sana,” jelas Mas Bian.

Nggak, nggak, nggak! “Nggak mungkin Mas, aku kan kerja.”

“Kamu bisa minta ijin cuti,” potong Mama semangat. Aku tahu apa yang ada di otaknya.

“Tapi ... apa ini nggak akan jadi masalah?” aku menatap ketiga orang di depanku dengan ekspresi khawatir, “Maksud Suci, apa ini nggak bakal jadi perbincangan orang-orang desa? Suci sama Mas Bian kan bukan muhrim, harus pergi berdua ke Surabaya. Itu bisa jadi bahan pergunjingan orang-orang kampung, Mas,” kataku malu.

Mas Bian mendengus. “Kamu lebih takut jadi bahan pergunjingan orang, daripada Bima kenapa-napa di tengah jalan?”

“Yah, Suci juga nggak mau Bima kenapa-napa, cuma ….”

“Udahlah Ci, pergi saja sama Bian. Papa sama Mama percaya kalau Bian bisa jagain kamu, dan dia nggak akan macam-macam sama kamu.” Mas Bian mengernyit ke arahku mendengar nada bicara Mama, yang terkesan mengharapkan terjadinya sesuatu yang macam-macam.

Si Mama malu-maluin deh.

“Gimana Ci?”

Terdiam sejenak untuk berpikir, aku kemudian mengangguk—menyetujui. Papa dan Mama tersenyum senang, sesenang Bima yang kembali mendapatkan suapan bubur pisang dariku.

“Nak Bian sudah punya bayangan, mau ngambil jalur transportasi darat atau udara, untuk berangkat ke Surabaya?”

“Mungkin darat.”

Mukaku langsung pucat.

“Lewat jalur darat bisa ngeliat banyak pemandangan bagus di tengah jalan, dan juga lebih santai naik bus daripada pesawat yang baru beberapa jam udah nyampe.”

Kalau kayak gitu akunya yang nggak santai Mas. Hueeee! Aku mabok darat!

Terpopuler

Comments

Yunisa

Yunisa

Kalo aku ya Ci, mau darat, laut ampe udara semuanya bikin aku mabok.. Pusing2 deh nih kepala walau udah sampai rumah brasa seperti dalam Bus aja badan bergoyang 🤣🤣

2022-10-24

0

Yunisa

Yunisa

Uhuk! Calon mantu terakhir yg masuk kandidat berarti

2022-10-24

0

ძ⃝ᥱm᥆⃟ᥒᥱss⃝☯​᭄

ძ⃝ᥱm᥆⃟ᥒᥱss⃝☯​᭄

ngakak

2022-10-08

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!