Suci Vs Kanya (2)

"Ervin?" tanyaku setelah Mas Bian menyelesaikan acara menelponnya.

"Hu'um." Mas Bian mengangguk, memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana jins.

"Apa katanya?"

"Mereka udah nyampe terminal Bungurasih. Katanya ada kejutan buatku, tapi aku nggak tahu apa," jelas Mas Bian. Aku terkekeh.

"Kayaknya walau belum pernah ketemu. Mas bakalan akrab sama adik-adik Mas, terutama Ervin. Keliatannya dia semangat banget pengen ketemu Mas Bian."

"Mudah-mudahan." Senyum yang diberikan Mas Bian padaku tampak hambar, sorot matanya kelihatan sedih. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke arah depan, "Seandainya Sati masih hidup, dia pasti bakalan senang banget ketemu sama keluarga aku," katanya pelan.

Ah. Mbak Sati, lakimu masih belum bisa move on nih. Daku jadi envy begete sama Mbak Sati, punya suami ganteng nan setia yang penuh cinta. Ya Allah, pengen deh dapat laki kek gini.

"Sekarang Mbak Sati pasti bahagia kok, melihat Mas mau menemui Ayah Mas dengan membawa Bima.  Aku yakin Mbak Sati pasti bakal sedih kalau ngeliat Mas sedih kayak gini." Sambil ngeremes tangan besar Mas Bian buat nenangin, idiiiwh anget-anget jantan. GEPLAK!

Mas Bian menatapku sesaat dengan pandangan aneh, dia lalu tersenyum, "Terimakasih," ucapnya hangat sembari balas meremas tanganku. Huaaaa! Bener-bener anget dan enak remesannya! GEPLAK  AGAIN!

***

Terminal Bungurasih tampak ramai ketika kami sampai di sana. Mas Bian turun lebih dulu untuk memeriksa koper dan barang-barang lainnya yang dikeluarkan awak bus dari dalam bagasi. Sedangkan aku sibuk menyiapkan si kecil Bima yang entah kenapa mendadak bawel saat kami sampai di terminal Bungur.

"Apa Sayang? Hmmm. Nggak mau pake jaket? Panas?" aku berbicara dengan Baby Bi, yang menggeliat-geliut dalam pelukanku menolak untuk memakai jaket bayinya. "Ya udah, nggak usah pake jaket, tapi bedakan dulu ya, biar harum ketemu Kakek." Mengeluarkan bedak bayi Bima dari dalam tas kecil yang selalu kubawa-bawa, aku mulai membedakinya.

Dari sudut mataku, melalui kaca jendela Bus yang transparan, aku melihat Mas Bian dihampiri oleh seorang laki-laki muda. Badannya tegap. Beberapa centi lebih pendek dari Mas Bian. Mukanya sedikit kebule-bulean, rambutnya item jabrik, dan penampilannya kelihatan so ... sexy. Celana jins biru sobek di dengkul, baju kaos  putih ketat yang nonjolin otot-otot bisepnya, dipadu jaket kulit cokelat, membuat dia kelihatan kek model cowok yang baru keluar dari majalah fashion.

Cowok itu berbincang sebentar dengan Mas Bian, kemudian mereka tampak terperangah, dan saling berpelukan gembira. Ketika mereka sedang asik berbincang, seorang cowok lainnya, yang tampangnya sebelas-dua belas sama cowok yang berakrab-akrab ria sama Mas Bian, menghampiri. Bedanya yang ini penampilannya lebih kalem dan cool kayak orang kantoran, Cuma make sepatu kerja warna item, celana panjang item, serta kemeja putih lengan panjang. Rambutnya juga nggak terlalu jabrik. Si kalem ini berbincang serius dengan Mas Bian, setelah berpelukan singkat dalam keadaan canggung.

Sesudah memastikan Bima cukup rapi untuk bertemu dengan Paman-pamannya, aku memutuskan untuk turun dari bus.

"Oh ya. Kanya udah nunggu di tempat parkir. Kita bisa pergi sekarang," ajak si sexy ganteng berambut jabrik pada Mas Bian, sambil membantu membawakan koper dan juga ransel. Mereka nggak sadar kalau aku berjalan menghampiri. Mereka berdua saudaranya Mas Bian ya? Zachary sama Ervin? Wow, mukanya kebule-bulean. Indo coy!

"Kanya?" tampang Mas Bian kelihatan bingung banget waktu ngedenger nama Kanya—yang kayaknya nggak ada dalam daftar pohon keluarga mereka.

"Iya! Kanya!" si sexy ganteng melirik si kalem cute yang tampak tersenyum tipis, "Dia ...."

"Thatha!" Bima memekik girang memanggil Ayahnya. Ketiga lelaki ganteng itu serempak menoleh.

Mas Bian tersenyum lembut, sedangkan dua saudaranya melotot kaget.

"Hai! Anak Ayah yang ganteng!" dia berjalan ke arahku lalu mengambil Bima untuk digendong.

Si Kalem cute dan si Sexy ganteng saling pandang dengan ekspresi ngeri. Apaan?

"Oh ya," Mas Bian menggandenga tanganku untuk menghampiri kedua saudaranya, "Suci, kenalin. Ini adik-adikku. Yang itu Zachary," dia menunjuk pada si kalem cute, "dan yang itu Ervin." Si ganteng mengangguk sopan. "Dan guys, kenalin ini Suci, dan ini anakku ... Bima."

"THATHAAAA!" Bima memekik gembira sambil memukul-mukul kedua pipi Mas Bian dengan tangan montoknya.

Selagi Mas Bian tertawa-tawa karena kelucuan anaknya. Aku mendengar Ervin bergumam pelan, "Gimana dengan Kanya? Celaka dua belas nih!"

Kanya itu siapa?

***

Seandainya sebuah pelototan bisa membunuh, mungkin dari tadi aku udah isdet gara-gara dipelototin terus sama cewek yang namanya Kanya Yosodi—whatever-I'm forget! Sejak pertama kali kenalan sama aku di parkiran terminal Bungur sampe di mobil dalam perjalanan menuju ke tempat Ayahnya Mas Bian, dia kayak nafsu banget pengen nyekek aku. Tampangnya marah bener, kayak kucing garong yang ikannya dicolong tikus. Zach sama Ervin  yang duduk di kursi tengah cuma bisa saling pandang takut-takut. Sementara Mas Bian malah asik ngorok sambil ngerebahin kepalanya ke pundak aku. Bima jangan ditanya, dia mah lagi asik dipangku Om Ervinnya.

"Jadi kamu hanya itu adik iparnya Mas Bian?" tanya Kanya ketus.

Serius. Aku nggak tahu, aku punya salah apa sama nih cewek sampe dia jutek gini ke aku.

"Iya." Sebelah alis terangkat tinggi menjawab pertanyaan Kanya. Udah Mbak jangan melotot mulu, tuh muka udah lebih serem dari Tante Suzana tahu!

"Trus kenapa dia ngajak kamu ke sini?"

Ini ngajakin musuhan ya? Nada bicaranya nggak ngenakin banget.

"Buat ngerawat Bima," jawabku singkat.

"Memangnya kamu sama keluarga kamu nggak bisa ya, ngerawat dia di rumah? Kenapa harus ikut Mas Bian ke sini?" psikopat nih cewek, "lagian Kakakmu kan udah mati. Kenapa keluarga kalian masih terus ngikat Bian pakek status menantu yang nggak jelas?!"

SETAN! NGGAK SOPAN!

"HEH!" bentakku marah, yang membuat semua orang yang ada di mobil tersentak kaget—termasuk Mas Bian yang langsung bangun.

"Suci?"

"Kalau bicara yang sopan ya? Kakakku emang udah mati, tapi biar bagaimanapun dia pernah jadi istri Mas Bian. Dan asal kamu tahu, kalau nggak demi Bima aku nggak bakal mau ikut ke sini. Dan keluargaku juga nggak pernah ngikat Mas Bian pakek status keluarga yang nggak jelas!" teriakku marah.

Mas Bian mengerjap, tertegun kegalakanku. Memang sih selama ini aku dikenal kalem, manis, dan jarang ngamuk. Zachary dan Ervin tampak tak enak hati padaku.

"Kanya udah Kan, jangan kekanakan deh," tegur Zach.

"Huh perez," cibir Kanya sombong. Nih cewek pasti sering dimanja orang tuanya sejak kecil, sampai tumbuh jadi cewek sombong nggak punya sopan santun kek gini, "Bilang aja kalau keluargamu nggak mau lepas Bian setelah tahu kalau dia anak salah satu pengusaha kaya di Surabaya."

"KANYA!" bentak Bian marah.

Dan entah karena efek kebanyakan minum obat anti mabuk, atau masih terkena motion sickness, tanpa bisa kukendalikan, aku menerjang maju menjambak rambut panjang Kanya yang duduk di samping Pak Supir.

"SUCI!"

Terpopuler

Comments

ძ⃝ᥱm᥆⃟ᥒᥱss⃝☯​᭄

ძ⃝ᥱm᥆⃟ᥒᥱss⃝☯​᭄

Bagus Suci! rontokin itu rambut dari kepala nya sekalian😂

2022-10-08

1

ძ⃝ᥱm᥆⃟ᥒᥱss⃝☯​᭄

ძ⃝ᥱm᥆⃟ᥒᥱss⃝☯​᭄

tukang cendol depan gang Ci😂😂😂

2022-10-08

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!