"Kamu harus adil!" Protes Kanya saat aku asyik bermain dengan Bima di ruang keluarga, sambil menonton acara anak-anak si kembar gundul di televisi.
Adil apasih maksud ni anak? Padahal Mas Bian belum mutusin buat ngelakuin poligami (Awas aja kalau dia berani poliami, ta' potong abis itu anu).
"Kamu sudah sering maen sama Bima. Sekarang giliran aku yang maen sama dia, buat nunjukin ke Mas Bian kalau aku bisa jadi calon istri yang lebih baik daripada kamu!" Keningku berkedut mendengar perkataan Kanya. Dan tanpa menunggu tanggapanku, dia langsung meraup Bima yang sedang duduk manis menonton tivi ke dalam gendongan. Diambil begitu saja saat sedang anteng, membuat Bima langsung memberontak tak suka. Keningnya berkerut dalam, dan bibir mungilnya mencebik cemberut. Dan sedetik kemudian keponakanku itu langsung menangis kencang.
Aku mendesah.
"Cup. Cup. Cup. Sayang jangan nangis, diam ya? Maen sama Tante Ka. Nanti kita jalan-jalan dan beli jajan yang banyaaaakkkk." Kanya coba membujuk Bima. Ya ampun, Bima mana mempan disogok. Dia masih kecil.
'Udahlah Kanya. Siniin Bima, dia nggak mau sama kamu," pintaku sembari mengulurkan tangan untuk mengambil Bima kembali.
Kanya menggeleng ngeyel, ''Nggak." Tangis Bima makin kencang.
Dua hari tinggal di rumahnya Om Suwir, dan ngeliatin cewek satu ini keluyuran bebas disini, bikin aku tahu kalau Kanya ini tipe cewek keras kepala.
"Kaannn ...."
"Udah dibilang nggak! Ya nggak!"
Ugh. Ya ampun, nih cewek bener-bener dah.
Mendengar gusar, aku segera menarik Bima kasar dari gendongan Kanya. Lalu mengungsikannya ke ruangan lain. Mengabaikan teriakan Kanya yang memakiku.
"Dasar cewek perebut calon suami orang!"
"Bodo."
Bima masih menangis. Ya ampun, ponakan Tante Ci yang ganteng. Maaf ya yang tadi. Tante nggak bermaksud nyakitin kamu, Tante cuma mau nyelamatin kamu dari cengkraman Nenek Lampir itu.
Cup. Cup. Cup. Diam ya, Nak. Aku berusaha menenangkan Bima dengan menepuk pelan punggungnya, untuk membuat dia nyaman.
***
"Bima udah tidur?" Aku menoleh dan mendapati Zachary yang sedang tersenyum canggung ke arahku.
Memperbaiki posisi tidak nyamanku--yang setengah duduk dan setengah berbaring--di atas sofa panjang sambill memeluk Bima. "Iya. Bima dah tidur," sahutku kikuk. Duhhh, calon adek iparku manis banget deh kalau senyum. Boleh nggak dijadikan 'serep' kalau aku sama Abangnya gagal? (Kidding Mas Bi. Kidding!)
"Pindah ke kamar aja Mbak, biar lebih nyaman."
Aku mengangguk. "Iya. Oh ya, Mas Bian belum pulang?" Tanyaku pada Zach. Seingatku tadi Mas Bian pamitan untuk pergi ke suatu tempat bersama Om Suwir. Mungkin silaturahim bertemu keluarga besarnya?
"Mmm. Si Mas ...?" Zach mendadak garuk-garuk kepala dengan wajah berubah muram, "Dia ...."
Beberapa suara orang tiba-tiba terdengar dari belakang Zachary, disusul munculnya satu sosok yang baru saja kutanyakan keberadaannya.
"Bima udah tidur, Ci?" Tanya Mas Bian sambil menatap putranya yang tertidur dalam pelukanku. Dia terlihat lelah. Ditambah dengan titisan tokek yang menggelendot manja di lengannya.
"Baru aja tidur, Mas. Kecapaian habis nangis diganggu titisan Mak Lampir." Aku memelototi Kanya.
Kanya balas mendelik kesal, apalagi setelah mendengar jawaban ku. Sementara Mas Bian dan Zachary hanya bisa mendesah lelah.
***
Aku ingin sekali memberitahu Mas Bian kalau aku tidak nyaman berada di tempat ini.
Bukannya aku tidak suka pada keluarga Ayah Mas Bian, aku hanya tidak nyaman dengan sikap mereka. Ervin, Zachary, dan Eyang Kakung sih oke-oke saja. Mereka bisa menerima kehadiranku. Tapi Tante Rose, Om Suwir, dan Kartika adik bungsu Mas Bian, menganggapku seperti mahluk tak kasat mata di rumah itu.
Tante Rose bersikap judes padaku, karena dia benci Mas Bian dan segala sesuatu yang memiliki hubungan dengan anak suaminya itu. Om Suwir memperlakukanku dengan menyebalkan karena dia masih berharap Kanya jadi menantunya. Sedangkan Kartika ... Sepertinya dia tidak suka padaku karena toleransinya terhadap Kanya, yang merupakan temannya.
"Ci. Sucii?"
Eh? Aku mengerjakan mata saat Mas Bian memanggil namaku, sambil melambaikan tangannya di depan wajahku.
"Kamu melamun ya?" Tegur Mas Bian cemberut. Bima tampak anteng dalam gendongannya. Kami sedang menikmati keramaian peziarah tempat wisata makam Sunan Drajat, yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari Rumah Om Suwir.
"Emang tadi Suci melamun ya, Mas?" Tanyaku bodoh.
Mas Bian mendengus. "Ya ampuuun. Jadi daritadi kamu nggak sadar kalau sedang melamun?" Dia kemudian meraih pergelangan tanganku untuk ditarik mendekat ke arahnya, "udah sini dekat-dekat. Kalau kamu melamun lagi bahaya. Ntar ilang."
Jantungku tiba-tiba dag-dig-dug dag-dig-dug kencang. Aku mendadak gugup dan sesak napas akibat kedekatanku dengan Mas Bian kali ini. Apalagi ditambah dengan lengan panjang Mas Bian yang melingkar manis di pundakku.
Oh ya ampun jantung, tenanglah.
"Sebenarnya kamu mgelamunin apa sih daritadi? Serius banget," tanya Mas Bian. Dia terlihat biasa saja dan tampak tidak terpengaruh dengan kedekatan kami. (Kadang aku benci pada jantungku sendiri!) "Ci? Kamu melamun lagi?" Mas Bian kembali menegur ketika aku tak kunjung menjawab.
"I-itu ... Mas ...."
"Hmm?"
"Kapan kita pulang ke Bima?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Kiki Sahetapy
wah Suci dan Bian tinggal di Bima sebelah mn y? thor😁
2022-11-18
0