Mabok Perjalanan atau Mabok Bian? (3)

"Ngelewati Sumbawa aja belum, Ci. Kita lagi ada di Ampang-Sumbawa, penumpang dan awak bus lainnya sudah turun buat istirahat dan makan," jelas Mas Bian.

"Owh." Jadi malu.

"Ayok kita turun juga."

Aku tersentak saat Mas Bian tiba-tiba menggenggam tanganku, dan membawaku turun dari Bus.

Buat kalian yang pernah mabuk darat aku mau nanya, apa jantung yang berdetak kencang melebihi batas normal merupakan salah satu efek dari mabuk perjalanan darat? Kalau bukan, lalu kenapa sekarang jantungku berdetak seribu kali lebih cepat dari biasanya?

***

Walau makanan enak udah berjejer di atas meja, saat kami makan di warung makan di Ampang, tapi aku sama sekali nggak napsu makan. Hal ini terjadi, bukan karena aku mau jaga imej di depan Mas Bian biar nggak dikatain cewek rakus, Mas Bian tahu kok soal nafsu makanku yang gila-gilaan, cuma ... kepalaku pusing, dan perutku mual. Aku pengen muntah.

Merasa tak sanggup lagi menahan diri untuk duduk di sana, di tengah orang-orang yang sedang makan, aku segera berlari keluar warung makan—setelah menyerahkan Bima pada Mas Bian. Aku mencari tempat aman untuk mengeluarkan isi perutku, di depan warung makan, di bawah pohon (yang aku sama sekali nggak tahu namanya) kebetulan di sana gelap, jadi aman kalau mau muntah.

Badanku lemes. Walau udah nggak ada lagi yang bisa dimuntahin, bawaannya tetep mual. Aku terduduk tanpa daya di bawah pohon, nggak peduli deh mau disangka sebagai kuntilanak dan sebangsanya, yang penting ngilangin mual dan pusing dulu.

"Udah baikan?" aku terkejut merasakan sebuah tangan hangat yang besar memijat tengkukku lembut. Aku menoleh dan mendapati Mas Bian yang menatapku perihatin.

"Mas?"

"Kalau belum, lanjutin aja muntahnya," dia terlihat seperti seorang ayah dan calon suami idaman, menggendong Bima sambil memijat tengkukku. Beberapa gadis yang keluar dari warung makan memandang ke arah kami, saling berbisik dan melemparkan tatapan  iri sekaligus kagum.

Setelah memastikan sudah tidak ada lagi yang bisa dimuntahkan, aku segera bangun, menerima air mineral yang disodorkan Mas Bian kemudian kumur-kumur.

"Sudah baikan?" tanyanya lagi.

Aku mengangguk.

"Maaf ya gara-gara Mas kamu harus ngalamin hal ini," dia meringis, "seharusnya Mas nggak ngajak kamu atau kita bisa pergi pake pesawat," sesalnya.

"Ndak apa-apa, Mas. Seharusnya saya yang minta maaf, saya ikut buat ngebantuin Mas ngerawat Bima, eh, saya malah nyusahin Mas."

Mas Bian tak menjawab. Dia hanya mengacak pelan rambutku.

Saat Pak Supir kumisan endut dan Bang Kenek kurus unyu mengumumkan bahwa Bus akan segera berangkat, dan para penumpang diminta untuk segera naik, Mas Bian menggandeng tanganku dan menuntunku ke atas bus.

***

Di atas kapal penyebrangan dari selat Sumbawa menuju Mataram, aku dan Mas Bian tidak turun dari Bus seperti penumpang lain. Bima mendadak rewel, dia terus menangis dan badannya juga panas. Beberapa kali dia memuntahiku.

Waduh Nak, ngeliat kamu muntah kek gini, Tante juga jadi pengen ikutan muntah. Hiks.

"Mungkin dia masuk angin," kataku melihat kecemasan di wajah kusut-kurang-tidur Mas Bian. Sekarang udah jam lima subuh, sejak berangkat semalam, aku sama sekali nggak ngeliat Mas Bian tidur.

"Terus kita harus gimana?" tanyanya panik.

Bima menangis kencang, memandang Mas Bian dan mengeluarkan suara tangisan yang terdengar seperti merajuk.

"Iya Nak, iya. Ayah tahu kamu sakit. Maafin Ayah ya, Sayang." Dia berkata parau sambil mencium kening Bima kembut. "Ci, Mas turun dulu ya. Nyari obat buat Bima di kapal, siapa tahu ada yang jual."

Aku mengangguk.

Setelah kepergian Mas Bian, tangisan Bima kecil makin kencang hingga suaranya serak. Dia tidak mau kugendong sambil duduk di kursi bus, dia mau kugendong sambil berdiri dan berjalan mondar-mandir. Ya Allah, Nak, tolong jangan lakuin hal ini sama Tante. Tante juga lagi sakit, Nak. Kepala masih pusing dan perut mual.

Berjuang untuk bangun dari kursi penumpang sambil menggendong Bima, aku berusaha untuk tidak jatuh dan muntah. Aku semakin pusing, ditambah guncangan kapal membuat di atas kepalaku terlihat seperti ada burung-burung pipit yang terbang mengelilinginya.

Pasangan paruh baya, seorang bapak-bapak yang kumisan dan kepalanya rada botak dan seorang ibu berjilbab naik. Mereka melempar senyum ramah ke arahku, lalu mengernyit memandang Bima yang sesengukan, merengek sakit. Kayaknya Bima udah capek nangis sambil tereak-tereak.

"Anaknya sakit ya, Dek?" tegur Ibu-ibu ramah itu sambil menatapku perihatin.

"Iya Bu." Aku mengangguk. Enggan mengoreksi anggapannya mengenai hubunganku dengan Bima.

Si ibu yang semula ingin duduk di kursinya, beranjak ke arahku, dia memeriksa  kening Bima dan terkejut mendapati suhu tubuh keponakanku yang mendidih seperti air yang direbus.

"Ya Allah, Dek, badan anakmu panas sekali," katanya khawatir, dia kemudian mengamatiku dengan seksama, "mukamu juga pucat, Dek. Apa kamu sakit?"

Aku hanya tersenyum muram menjawab pertanyaannya.

Ibu-ibu itu dan suaminya sangat baik hati. Mereka merupakan pasangan dokter. Ibu itu memberikan Bima obat penurun panas, dan memeriksanya. Dia juga memberiku obat penghilang rasa mual akibat mabuk darat. Mereka menjagaku dan Bima sampai Mas Bian kembali.

Aku sudah mulai mengantuk, saat Ma Bian mengambil Bima dari dekapanku untuk digendong.

"Istri dan anakmu baik-baik saja Anak muda," si Bapak memberitahu Mas Bian, "Istrimu hanya mabuk laut, itu hal wajar. Sementara anakmu, dia hanya terkena demam biasa."

"Terimakasih Pak, Bu."

Mereka berbincang selama beberapa menit. Si Bapak dan si Ibu kembali ke bangkunya untuk membiarkan kami istirahat.

"Sekali lagi terimakasih sudah menjaga anak dan ...," Mas Bian melirikku sekilas, "istri saya, Pak, Bu." Kedengerannya Mas Bian nggak ikhlas banget nyebut aku sebagai istrinya, dan aku juga nggak tahu kenapa dia tidak mengklarifikasi ucapan si Bapak dan si Ibu, yang mengira kalau kami ini sepasang suami-istri, dan Bima adalah anak kami.

"Bima gimana, Mas?" tanyaku dengan suara mengantuk, setelah Bapak dan Ibu baik hati tadi kembali ke bangkunya.

"Bima udah baikan, dia udah tidur," sahut Mas Bian sembari duduk di sampingku, sambil mendekam Bima, "kamu juga tidur gih."

"Ini udah pagi kan, Mas?"

"Iya, jam setengah enam."

"Gimana aku bisa tidur?" suaraku terdengar merajuk seperti Bima.

"Coba aja dulu Ci, istirahat. Ntar kalau sudah sampai tempat perhentian untuk istirahat makan, aku bakal bangunin kamu."

"Hmmmh."

"...."

"Makasih, Mas," aku memejamkan mata, siap lepas landas menuju ke alam mimpi.

"Hmmm. Yeah."

Setelah itu aku benar-benar tertidur dengan mimpi aneh tentang Almarhumah Mbak Sati yang menyambut. Di dalam mimpi, kakakku yang error itu curhat padaku sambil menangis sesengukan. Dia bilang dia nggak mau dimadu, tapi dia benar-benar sayang sama suami dan anaknya, dia bakal ikhlas dimadu kalau calon istri Mas Bian itu ... aku.

GUBRAK!

Aku pingsan di alam mimpi.

Terpopuler

Comments

Yunisa

Yunisa

lebay amat kamu Ci

2022-10-25

0

Yunisa

Yunisa

itu krna kamu lgi sport jantung gara2 tanganmu di pegang Mas Bian yg kece badai itu

2022-10-25

0

¸.•♥•.¸¸.••[SKY]•♥•.¸¸.•♥•🎤🎧

¸.•♥•.¸¸.••[SKY]•♥•.¸¸.•♥•🎤🎧

mabuk cinta tu

2022-10-24

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!