"Mama, Ayo!" panggil si anak laki-laki tidak sabaran, sembari beranjak maju untuk menggenggam tanganku, menyeretku agar bermain dengan mereka.
"Ci. Ci. Suci?" aku tiba-tiba merasakan sebuah guncangan dahsyat, dan suara berat seseorang memanggil namaku.
"Emmmh?" geliat-geliutin badan. Nggak tahu kenapa leher mendadak sakit.
"Ci, bangun. Kita udah nyampe." Mengerjapkan mata dan sedikit terpesona ngeliat muka ganteng Mas Bian, yang hanya berjarak satu kepalan tangan di depan mukaku. Ya Allah, moga aja napasku nggak bau-bau banget. Tengsin kalau ketahuan punya napas bau depan kakak ipar ganteng.
"I-iya Mas," gagapku kemudian mengikuti Mas Bian dan yang lainnya turun dari mobil.
***
Rumah Eyangnya Mas Bian bergaya minimalis, cat putih dengan dua lantai. Walau nggak besar-besar banget, tapi kayaknya yang paling mewah di desa itu.
"Ayo masuk," ajak Ervin ceria, dia masih menggendong Bima. Agak heran juga ngeliat Bima cepet akrab sama orang asing. Tapi bagus sih. Lagipula Ervin kan Om-nya Bima.
Aku dan Zach menyusul Ervin dan Bima, sambil membawa masing-masing satu koper dan juga satu ransel. Sementara Mas Bian ... yah, aku agak-agak kasihan sama kakak iparku itu. Udah jalannya agak oleng gara-gara ngebawa ransel paling berat, eh malah makin oleng karena lengannya digelayutin monyet, eh salah! Maksudnya Kanya. Kanya melirikku sinis kemudian mendengus buang muka. Yaelah, kalau bukan calon istrinya Mas Bian udah kutendang pantat teposmu, Mbak. Tapi mudah-mudahan nggak jadi deh. Kasihan Bima punya calon ibu kek gini.
"Maafin Kanya ya?" gumam Zach pelan, melihat kelakuan Kanya padaku. Dia masih terlihat tak enak hati.
"Maafin Kanya ya, Suci. Dia memang agak kekanakan dan manja, tapi sebenarnya dia baik banget kok," jelas Zach mencoba meyakinkanku tentang betapa baiknya si Kanya. Aku hanya tersenyum masam mendengarnya.
Dari penjelasan singkat Zach, aku mengetahui, ternyata Kanya dan Zach sudah berteman sejak mereka masih berusia lima tahun. Dan kayaknya Zach sayang banget sama Kanya, walau si Kanya malah nemplok-nemplok manja ke Mas Bian.
***
Ayah Mas Bian namanya Suwiryo. Ervin nyaranin aku buat manggil beliau Om Wiryo, jangan Om Suwir, takutnya daku langsung disambit gelas pas nyebut Om Suwir. Konon katanya, Ayah Mas Bian benci banget kalau dipanggil Suwir, soalnya kesannya ngejek.
Om Wiryo kayaknya seumuran sama Papaku. Cuma bedanya, Om Wiryo kelihatan kurus, pucet, dan tua banget. Malah rambutnya udah uban semua. Sementara Papa masih kelihatan muda, kuat, dan bergaya (walau sedikit burik! Hehehe peace, jangan kasih tahu Papa ya kalau aku ngomomong kek gini. Nyampe rumah aku bisa digoreng.)
Om Wiryo kaget waktu tahu ternyata anaknya udah jadi duda. Beliau agak sedikit terperangah saat melihat Bima, malaikat kecil kami dengan segala kelucuannya yang menggemaskan.
"Ayo Bima, Opa mau gendong Bima tuh." Ervin mencoba membujuk Bima untuk pergi ke pelukan Om Wiryo, tapi sayang, Bima malah merengek—mengulurkan tangannya—minta digendong olehku.
Saat ini kami semua sedang berada di ruang tamu rumah Yang Kung (singkatan dari Eyang Kakung). Aki-aki kece yang rambutnya rada jabrik dan udah ubanan semua, mirip rambut Kakashi Hatake, salah satu karakter di anime Naruto. Tontonan kesukaan Ika. Ntuh serial animasi Jepang yang suka nongol tiap abis maghrib.
"Kalau yang itu siapa?" Ibu tirinya Mas Bian, yang seorang Bule cakep asal Inggris, nunjuk aku sambil melemparkan pandangan menuduh pada suaminya. Seolah mengatakan, 'Apa yang itu anakmu jug=
a? Kalau iya, cerai nyok!'
Kasihan Om Suwir yang malang. Eh, Om Wiryo maksudnya.
"Saya ... anu Tante, saya ...," agak gugup menyadari tujuh pasang mata manusia yang ada di ruangan itu tertuju padaku. "Saya ...."
"Dia Suci," mengetahui kegugupanku, Mas Bian mengambil alih untuk menjawab pertanyaan Tante Rosamund, Ibu Tirinya, "Adik dari mendiang istri saya, Sati ...,"Dia melirikku dengan pandangan aneh. Sekilas terlihat emosi kesedihan, penyesalan, dan juga permintaan maaf dari matanya.
"Cuma adik ipar nggak penting," Kanya yang masih nemplok di lengan gede Mas Bian mencibir sinis padaku. Tuh cewek benar-benar pengen ditampol lagi kali ya?
"Sekaligus calon istri pilihan dari Ibu untuk saya."
Kamsudnya?
"WHATTT?"
Kami semua menatap Mas Bian bingung. Yang Kung dan Tante Rosamund melongo, Om Suwir tampak kaget sekaligus bingung, Ervin dan Bima cuwek bebek, Kanya kelihatan bingung kemudian terpukul. Sementara Zach ... kayaknya lega dan seneng banget!
"M-maksud kamu, kamu sudah punya calon istri?" Om Suwir akhirnya menemukan suaranya kembali. Dia kelihatan serba salah banget.
"Iya," melepaskan templokan Kanya, Mas Bian bergerak ke arahku, dan merangkulku beserta Bima. "Suci calon istri saya. Menurut Ibu, dialah calon mama terbaik untuk Bima. Saya bawa Suci ke sini sekaligus untuk minta restu dari Ayah. Karena saya dan Suci sudah setuju untuk turun ranjang."
Tik. Tok. Tik. Tok. Otak mendadak lelet waktu coba mencerna perkataan Mas Bian.
"Lalu Kanya bagaimana?" tanya Om Suwir lagi.
"Om! Bagaimana sih ini? Katanya Om mau nikahin Kanya sama anak pertama Om, kenapa sekarang dia malah sudah punya calon?" protes Kanya sambil menatapku tak terima. Matanya udah merah. Sementara Zach yang berdiri di belakangnya, mengelus-elus pundak Kanya, mencoba menenangkan.
"Saya minta maaf karena saya menerima Kanya. Sepulang dari sini, saya dan suci akan melangsungkan pernikahan."
EEEHH? Otakku akhirnya bisa mencerna apa yang sejak tadi dikatakan Mas Bian. Aku? Calon istri Mas Bian? Kami berdua? Nikah? Setuju turun ranjang? Pulang dari sini ... Eng ing eng ... Merrid? Aku? Mas Bian? Merrid? Merid itu ... Nikah kan? Nikah ... Suami-istri ... resmi satu ranjang. Maen gulet ampe berkeringet. Ayang-ayangan .... Dan ... Oke. Otakku makin kacau.
WAIT! KAPAN AKU BERSEDIA BUAT TURUN RANJANG AMA MAS BIAN?! AKU JUGA NGGAK PERNAH SETUJU BUAT NIKAH SAMA MAS BIAN!
Oke. Mas Bian ganteng, kece, pinter, atletis, dan nikah sama dia merupakan salah satu cara jitu untuk memperbaiki keturunan. Tapi ... nikah sama suami dari Almarhumah kakak tersayang, yang juga sudah kuanggap sebagai abang sendiri rasanya nggak ... Aduh gimana ya? Nggak etis? Aku sayang sama Mas Bian, tapi aku nggak cinta sama dia. Selain itu, aku ... Aku, aku masih nggak siap buat nikah. Apalagi sama Mas Bian, kakak iparku sendiri.
Aku melirik Mas Bian. Hampir menangis dengan kebingungan yang kualami. Dan dia balas menatapku sedih.
"Maaf," ucapnya pelan.
Dan seakan mengetahui bahwa Ayah dan Tantenya menggalau (alias mendadak galau), Bima tiba-tiba menangis kencang
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments