"Maaf."
Zachari nggak asik ah.
Nyebelin.
"Mas nggak bermaksud nggak ngasih tahu kamu soal rencana perjodohan yang diatur oleh orang tua kita."
Setelah apa yang terjadi hari ini, tadinya aku mau nenangin diri di Pantai Tanjung Kodok, bareng Zachari
sambil ngecengin cowok ganteng yang lewat. Aku butuh waktu sebelum ketemu lagi sama Mas Bian. Cuma, si Zachari sompretos dengan seenaknya nelpon Mas Bian sama Ervin, ngasih tahu kalau kami lagi ada di Tanjung Kodok, dan dia bahkan ngajakin mereka buat nyusulin kami kemari.
Aish~ Mas Zachari, hayati belum siap buat ketemu dan mendiskusikan masalah turun ranjang ini sama Kakanda Bian. Bukan cuma cinta yang butuh waktu, tapi hayati juga butuh waktu untuk memahami alasan perjodohan sepihak dan tanpa cinta ini.
Dan lagi, kenapa itu mahluk juga ikutan kemari? Katanya udah mutusin tali perjodohan, kok masih ngikut-ngikut aja kemana Mas Bian pergi? Mana itu mata ngeliat aku sama Mas Bian dengan pandangangan nelangsa nan terluka. Nggak bermaksud jahat. Tapi antara kasihan sama girang sih, ngeliat Kanya kayak gitu.
"Tapi kata Mama kamu...," oh, yang disamping masih ngomong toh? Lanjuttt, "kalau kamu dikasih tahu rencana perjodohan dan turun ranjang kita, kamu pasti bakal ngamuk-ngamuk dan nolak aku sebagai calon suamimu." itu pasti! Walaupun aku bukan termasuk dalam kategori cewek yang cantik-cantik amat, aku mah ogah ngembat bekas orang, apalagi bekas kakak sendiri. Aku tuh maunya yang original, bukan duda dan masih perjaka tingting, tampang harus ganteng (untuk memperbaiki keturunan nggak ada salahnya kan mendambakan cowok ganteng sebagai misua?) dan lagi kudu punya pekerjaan yang mapan, ya kalau nggak punya perusahaan, minimal PNS lah. Nggak bermaksud matre, cuma buat jaga-jaga, jaminan masa depan dan hari tua.
"Tapi kenapa harus aku sih yang jadi calon istri Mas Bian? Apa Mas nggak ngerasa canggung, merrid sama
adik dari mendiang istri Mas sendiri?" protesku,"Lagian diluar sana pasti banyak cewek yang mau ngantri jadi istrinya Mas, nggak peduli situ duda atau bukan." Cemberut ngelirik Mas Bian yang ekspresinya lempeng mandangin laut.
Mas Bian mendesah pelan, "Awalnya Mas memang nggak mau milih kamu sebagai calon istri," jujur
itu nyesekin yah? "Tapi kata Bunda, Mas nggak boleh egois. Mas nggak boleh milih istri sesuka hati Mas. Cuma karena dia cantik atau kaya, Mas nggak bisa seenaknya naksir dan ngawinin perempuan sembarangan. Mas juga harus mikirin Bima.
Percuma aja perempuan yang jadi istri Mas nanti, cinta sama Mas tapi nggak sayang sama Bima."
Baru kali ini denger Mas Bian ngomong panjang-lebar. Biasanya nggak lebih dari tiga atau empat kalimat.
"Mas nggak mau nasib Bima berakhir tragis di tangan ibu tirinya." Meringis ngedenger perkataan Mas Bian. Kayaknya pamor ibu tiri (yang bukan emak kandung si anak) dari zamannya Ari Hanggara sampai zamannya dedek Engeline, masih belum berubah. Tetap aja dicap jahat. Padahal diluaran sana banyak lho, ibu tiri atau ibu angkat yang sayang sama anak tiri atau anak yang dibesarkannya. Salah satu contoh nyata, yaitu Tante Marisa, emak tirinya sahabatku, Ika.
Mas Bian berbalik, dia menggenggam kedua tanganku dan menatap lurus-lurus tepat pada mataku. Wuidih.
Mas, romantis pisan. Ini aku mau dilamar kali ya?
Uhuk! Ingat Ci, duda bekas kakak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments