NovelToon NovelToon

Mama Buat Bima

Keponakanku Tersayang

Suci

Tanpa diberitahu pun, aku sudah tahu bahwa kehidupan cintaku payah—benar-benar payah, jika boleh ditambahkan. Dua kali jatuh cinta, dua kali menjalin kasih, dan dua kali ditinggal nikah. Menyedihkan. Sebagai seorang gadis yang cerdas dan baik hati, aku sadar nggak ada gunanya mengasihani diri sendiri dalam kesedihan yang berlarut-larut. Hidup itu untuk masa depan, buksn masa lalu. Aku paham, baik Abraham maupun Satria bukan jodoh yang ditakdirkan Tuhan untukku, aku sudah move on kok dari mereka. Yeah, walau sebagian anggota keluarga—dan juga hati kecilku yang manis dan malang—masih belum percaya kalau aku udah bisa ngelupain pacar terakhir aku, Si Kampret Satria.

Yeah, walau kehidupan cintaku nggak berjalan mulus dan juga rencana pernikahanku dan Satria waktu itu gagal, tapi bukan berarti aku mau dijodoh-jodohin lagi. Aku kapok coy! Udah cukup Satria Kampret aja laki-laki terakhir yang dijodohin keluarga sama aku, aku nggak mau ada yang lain lagi. Haaaah, seandainya aku bisa ngungkapin itu sama Tante Rosna.

Udah, jangan mandang aku make tatapan aneh kek gitu. Iya aku emang dijodohin lagi, tapi bukan Papa sama Mama yang jadi mak comblangnya, melainkan Tante Rosna mertua dari Mbak Sati. Beliau pengen banget aku jadi istri Mas Bian, buat ngegantiin Mbak Sati yang meninggal sekitar sepuluh bulan yang lalu saat melahirkan Bima Pandu Dirgantara, anak pertama mereka. Menurut Tante Rosna, dari semua cewek yang ngedeketin Mas Bian setelah dia resmi menyandang status duda ditinggal mati (Uhuk!) cuma aku yang memenuhi kritera sebagai calon mama tirinya Bima.

SiTante Rosna kepedean banget yak? Siapa juga yang ngedeketin anaknya? Iya sih Mas Bian emang ganteng, mapan, dan matang, tapi aku nggak punya rasa apa-apa sama dia. Biar bagaimanapun dia masih Kakak iparku, suaminya Mbak Sati, dan aku sama sekali nggak punya niat buat ngambil atau nyobain ‘bekas’nya Kakak kandungku sendiri, walau kakakku itu sudah jadi Almarhumah. Lagian aku pengennya dapat perjaka, bukannya Duda. Ahay.

***

“Seharusnya kamu pertimbangkan lamarannya Tante Rosna untukmu,” nasihat Mama yang malam ini, nongkrong bareng sama aku dan Bima di ruang keluarga, depan tivi, sambil duduk nonton Dangdut Academy, beralaskan karpet.

 Sebenernya aku kagak hoby nonton acara beginian, cuma si Bima kecil hobi banget dengerin lagu dangdut sambil joget-joget/lonjak-lonjak ala anak seusianya. Dan kalau chanel acara dangdutnya dipindah ke acara lain, nih bocah setres bakal langsung ngamuk sambil nangis kenceng, ngebangunin tetangga-tetangga yang lagi tidur nyenyak. Entah hobi dangdur dan juga teriakan maut itu turunan dari bapaknya atau ibunya, aku nggak tahu.

“Nggak ah, Ma.” Aku mengernyit mendengar perkataan Mama, sambil terus memperhatikan Bima yang terlonjak-lonjak bertepuk tangan (mungkin itu joget ala baby Bima?) di depanku, “Suci nggak mau dijodohin lagi. Terakhir kali Suci nerima perjodohan, hasilnya benar-benar nggak bagus.”

Mama meringis mendengar jawabanku yang mengacu pada Satria dan keluarganya.

“Tapi ini Bian, Ci. Kamu udah lama kenal Mas Bian dan keluarganya kan? Mereka baik, dan Mama yakin mereka juga nggak akan terlibat masalah dan membatalkan pernikahan seperti yang dilakukan keluarga Satria.” Ya iyalah nggak bakal terlibat masalah seperti keluarga Satria, wong Mas Bian anak tunggal.

Aku mendesah, “Tapi Ma, Mas Bian itu suami almarhumah Mbak Sati. Dia udah kayak kakak buat aku, aku nggak mungkin … hhh, aku nggak punya perasaan sayang lebih dari seorang adik ke kakaknya sama Mas Bian. Lagian kenapa harus aku sih Ma? Kalau Mas Bian mau nikah lagi, dia bisa nyari calon istri diluar.” Pastinya nggak bakal ada yang nolak Dosen Duren Sawit ganteng kayak dia.Kayaknya si Mama udah nggak merhatiin lagi acara dangdutan di tivi. Beliau lagi fokus sama topik pembahasan kami. Sementara Bima … well, sepertinya sekarang dia lagi sibuk nyanyiin lagu ‘JUDI!’ dalam bahasa bayi dadadididudunya.

“Ci, keluarganya Bian sangat sayang pada Bima. Bima adalah cucu pertama keluarga mereka, dan mereka nggak mau Bima dapat Ibu tiri yang hanya sayang pada bapaknya saja dan menyianyiakan Bima, mereka nggak mau dapat menantu yang nggak jelas asal-usulnya dan akan ngejahatin Bima.”

Masuk akal sih. Aku juga nggak mau keponakanku dapat mama tiri nenek sihir jahat.

“Ci ….”

“Hmmm?”

“Kamu sayang kan sama Bian?”

Pertanyaan macam apa itu, Ma?

“Sayang,” jawabku dengan sebelah alis terangkat tinggi, “tapi Cuma rasa sayang sebagai adek-kakak doang Ma, nggak lebih.”

“Kalau sama Bima?”

Aku tahu kemana arahnya pertanyaan ini. Aku menunduk memandang Bima yang menguap dan merangkak ke arahku, seperti biasa, minta digendong ampe dia tidur. Mata hitam besarnya menatapku sambil berkaca-kaca, pipi bulat merahnya tampak menggemaskan, bibir bawahnya berkerut ke dalam. Kalau aku nggak bangun buat ngegendong nih bocah, taruhan lima detik lagi dia bakal tereak kalau aku nggak ngegendong dia.

Mendesah pasrah, aku berdiri dan mengangkat Bima ke dalam gendonganku.

“Tentu saja Suci sayang sama Bima, Ma. Walau Suci ngurus Bima cuma sabtu-minggu saja, tapi Bima udah kayak anak Suci sendiri.”

“Nah, itu dia!” wajah Mama berubah sumringah mendengar jawabanku.

“Itu dia apaan?”

“Suci, alasan Tante Rosna melamar kamu untuk Nak Bian adalah karena kamu tulus menyayangi Bima. Selama ini kamu merawatnya, dan tahu apa yang dia butuhkan. Kamu sudah terbiasa dengan semua polah dan tangis Bima sejak dia baru berumur beberapa hari. Ayolah Nak, pertimbangkan lamaran Tante Rosna. Beliau memilihmu, karena beliau tahu kamu sayang Bima seperti kamu sayang anakmu sendiri.”

“Aku memang udah nganggap Bima seperti anakku sendiri, tapi aku nggak nganggap bapaknya kayak suamiku sendiri tuh Ma.”

“Oh. Itu bisa diatur.”

Tubuhku membeku mendengar suara berat yang menjawab perkataanku dengan nada agak sinis, berasal dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Aku berbalik dan menemukan Mas Bian berdiri di sana. Memakai kemeja biru pucat lengan panjang dan celana denim hitam, rambutnya tampak acak-acakan, satu tangannya membawa tas kerja, dan satunya lagi memegang sebuah plastik hitam.

Aku nyengir canggung saat tatapan mata kami bertemu. Nih orang kok nggak pulang kerja ke rumahnya sendiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sedang menggendong anaknya. Bodohnya aku, Mas Bian tentu datang untuk menengok atau membawa pulang Bima. Tapi ini kan baru hari sabtu?

Mama tergelak melihat ekspresi ngeri-canggung-bercampur maluku. Bima yang tadinya mengantuk melonjak-lonjak senang melihat Papanya, sambil berkata ; “Tata! Tatha!” dengan penuh semangat.

“Hai jagoan!” kata Mas Bian riang sembari menghampiriku untuk menyapa anak semata wayangnya.

“Nak Bian, baru pulang kerja ya Nak?” Mama bangkit dari sofa.

“Iya Ma,” jawab Mas Bian, “Maaf kalau Bian terkesan masuk rumah tanpa permisi. Tadi Bian udah ngetuk pintu dan ngucap salam, tapi nggak ada yang jawab,” beritahunya, “Bian bawain martabak telor kesukaan Mama.” Dia mengangkat plastik bawaannya dan memberikan pada Mama.Kayaknya si Mama udah nggak merhatiin lagi acara dangdutan di tivi. Beliau lagi fokus sama topik pembahasan kami. Sementara Bima … well, sepertinya sekarang dia lagi sibuk nyanyiin lagu ‘JUDI!’ dalam bahasa bayi dadadididudunya.

“Ci, keluarganya Bian sangat sayang pada Bima. Bima adalah cucu pertama keluarga mereka, dan mereka nggak mau Bima dapat Ibu tiri yang hanya sayang pada bapaknya saja dan menyianyiakan Bima, mereka nggak mau dapat menantu yang nggak jelas asal-usulnya dan akan ngejahatin Bima.”

Masuk akal sih. Aku juga nggak mau keponakanku dapat mama tiri nenek sihir jahat.

“Ci ….”

“Hmmm?”

“Kamu sayang kan sama Bian?”

Pertanyaan macam apa itu, Ma?

“Sayang,” jawabku dengan sebelah alis terangkat tinggi, “tapi Cuma rasa sayang sebagai adek-kakak doang Ma, nggak lebih.”

“Kalau sama Bima?”

Aku tahu kemana arahnya pertanyaan ini. Aku menunduk memandang Bima yang menguap dan merangkak ke arahku, seperti biasa, minta digendong ampe dia tidur. Mata hitam besarnya menatapku sambil berkaca-kaca, pipi bulat merahnya tampak menggemaskan, bibir bawahnya berkerut ke dalam. Kalau aku nggak bangun buat ngegendong nih bocah, taruhan lima detik lagi dia bakal tereak kalau aku nggak ngegendong dia.

Mendesah pasrah, aku berdiri dan mengangkat Bima ke dalam gendonganku.

“Tentu saja Suci sayang sama Bima, Ma. Walau Suci ngurus Bima cuma sabtu-minggu saja, tapi Bima udah kayak anak Suci sendiri.”

“Nah, itu dia!” wajah Mama berubah sumringah mendengar jawabanku.

“Itu dia apaan?”

“Suci, alasan Tante Rosna melamar kamu untuk Nak Bian adalah karena kamu tulus menyayangi Bima. Selama ini kamu merawatnya, dan tahu apa yang dia butuhkan. Kamu sudah terbiasa dengan semua polah dan tangis Bima sejak dia baru berumur beberapa hari. Ayolah Nak, pertimbangkan lamaran Tante Rosna. Beliau memilihmu, karena beliau tahu kamu sayang Bima seperti kamu sayang anakmu sendiri.”

“Aku memang udah nganggap Bima seperti anakku sendiri, tapi aku nggak nganggap bapaknya kayak suamiku sendiri tuh Ma.”

“Oh. Itu bisa diatur.”

Tubuhku membeku mendengar suara berat yang menjawab perkataanku dengan nada agak sinis, berasal dari arah pintu yang menghubungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Aku berbalik dan menemukan Mas Bian berdiri di sana. Memakai kemeja biru pucat lengan panjang dan celana denim hitam, rambutnya tampak acak-acakan, satu tangannya membawa tas kerja, dan satunya lagi memegang sebuah plastik hitam.

Aku nyengir canggung saat tatapan mata kami bertemu. Nih orang kok nggak pulang kerja ke rumahnya sendiri. Kemudian aku menyadari bahwa aku sedang menggendong anaknya. Bodohnya aku, Mas Bian tentu datang untuk menengok atau membawa pulang Bima. Tapi ini kan baru hari sabtu?

Mama tergelak melihat ekspresi ngeri-canggung-bercampur maluku. Bima yang tadinya mengantuk melonjak-lonjak senang melihat Papanya, sambil berkata ; “Tata! Tatha!” dengan penuh semangat.

“Hai jagoan!” kata Mas Bian riang sembari menghampiriku untuk menyapa anak semata wayangnya.

“Nak Bian, baru pulang kerja ya Nak?” Mama bangkit dari sofa.

“Iya Ma,” jawab Mas Bian, “Maaf kalau Bian terkesan masuk rumah tanpa permisi. Tadi Bian udah ngetuk pintu dan ngucap salam, tapi nggak ada yang jawab,” beritahunya, “Bian bawain martabak telor kesukaan Mama.” Dia mengangkat plastik bawaannya dan memberikan pada Mama.“Wah terimakasih ya, Nak.”

“Oh ya, Ma. Malam ini boleh nggak Bian nginap di sini, nggak ada Bima di rumah jadi sepi.”

Mama tersenyum maklum, “Tentu saja boleh Nak. Kamu kan keluarga juga di sini. Kamu bisa tidur di kamar …,” Mama terdiam sejenak, tampak enggan meneruskan, “tempat kamu sama Saty sering tidur kalau lagi nginap di sini.” Nada suara Mama terdengar pahit.

Aku menunduk menatap lantai. Kami semua masih sedih dengan kepergian Mbak Saty. Dia orang yang ceria, sejak kecil dia selalu menjadi penyemarak suasana di rumah ini. Kehilangan dia adalah pukulan hebat bagi kami semua, terutama bagi laki-laki di depanku yang sangat mencintainya.

“Iya Ma,” sahut Mas Bian setelah terdiam beberapa saat. Dia kemudian melirik Bima—yang berubah jadi penuh semangat—dalam gendonganku, “lalu Bima tidurnya di mana?” tanyanya penasaran.

Ah ya! Mas Bian emang nggak tahu kalau selama ini, setiap kali Bima nginap, dia selalu tidur di kamarku.

“Bima tidur sama Suci, di kamarnya,” sahur Mama.

“Apa?”

“Mama ke dapur dulu ya buat nyiapin makanan. Nak Bian pasti belum makan.”

Mama meninggalkan kami berdua—kalau Baby Bima bisa dihitung, jadinya tiga—di ruang keluarga. Mas Bian menatapku dengan dahi berkerut dan membuatku risih. Beruntung Bima menyelamatkanku dengan cara meminta gendong pada papanya, hingga membuat perhatian Mas Bian teralihkan dariku. Ffiuh!

***

“Surabaya?”

Mas Bian mengangguk menanggapi keterkejutan kami. Dia baru saja menyampaikan bahwa dia ingin pergi ke Surabaya, ke tempat Ayah kandungnya—orang tua Mas Bian bercerai sejak dia masih kecil, selama ini Mas Bian tinggal dan dibesarkan oleh Tante Rosna dan Om Rahman, Ayah tirinya. Dia ingin membawa Bima bersamanya, karena selain merindukan anaknya yang tak pernah dilihat sejak masih bayi, Ayah Mas Bian juga ingin melihat cucunya.

“Iya Pa. Ayah Bian menderita penyakit gagal jantung, dan menurut Eyang kakung belakangan ini kesehatan Ayah makin menurun. Keluarga Bian yang di Surabaya berpendapat bahwa kesempatan hidup Ayah tinggal sedikit, jadi ….” Suaranya menghilang. Mas Bian terlihat sedih.

Mama, Papa, dan aku memaklumi.  Selama ini Mas Bian selalu ingin tahu dan bertemu dengan Ayah kandungnya, dan dia baru saja mengetahui tentang Ayah kandungnya, setelah istrinya meninggal. Dan di saat dia tahu tentang Ayah kandungnya, beliau malah divonis mati, jadi wajar jika Mas Bian sedih.

Papa menarik napas panjang, dia kemudian menatap Mama selama beberapa saat lalu bertanya, “Kapan kalian berangkat?”

“Mungkin lusa. Masih belum tahu mau berangkat pake mobil atau pesawat.” Sesekali Mas Bian melirikku—yang tengah asik menyuapi Bima dengan bubur bayi rasa pisangnya.

“Tapi Bi …,” kening Mama berkerut khawatir, “Umur Bima kan kurang dari satu tahun. Dia masih terlalu kecil dan agak rewel. Sejujurnya Mama khawatir dengan kalian berdua saja yang melakukan perjalanan jarak jauh.”

Mas Bian tersenyum, “Bian udah mikirin itu Ma, Bian mau ngajak seseorang buat bantu ngurus Bima di perjalanan dan di Surabaya nanti.”

“Tante Rosna?” tanyaku berusaha untuk tidak terkikik geli menanggapi kelakuan Bima yang menggemaskan, yang tampak jengkel dan seperti ingin meninjuku saat aku terlambat menyuapi buburnya.

“Bukan. Aku … mau ngajak kamu, Ci.”

WHAT? Eits, untung aku nggak nyodok mulut Baby Bima, karena kaget dengar permintaan Bapaknya. Apa tadi dia bilang? Ngajak aku ke Surabaya? Nggak salah dengar tuh?

“M-maksud Mas?” gagapku bodoh.

“Aku ngajak kamu ke Surabaya buat ngebantu aku ngerawat Bima di sana,” jelas Mas Bian.

Nggak, nggak, nggak! “Nggak mungkin Mas, aku kan kerja.”

“Kamu bisa minta ijin cuti,” potong Mama semangat. Aku tahu apa yang ada di otaknya.

“Tapi ... apa ini nggak akan jadi masalah?” aku menatap ketiga orang di depanku dengan ekspresi khawatir, “Maksud Suci, apa ini nggak bakal jadi perbincangan orang-orang desa? Suci sama Mas Bian kan bukan muhrim, harus pergi berdua ke Surabaya. Itu bisa jadi bahan pergunjingan orang-orang kampung, Mas,” kataku malu.

Mas Bian mendengus. “Kamu lebih takut jadi bahan pergunjingan orang, daripada Bima kenapa-napa di tengah jalan?”

“Yah, Suci juga nggak mau Bima kenapa-napa, cuma ….”

“Udahlah Ci, pergi saja sama Bian. Papa sama Mama percaya kalau Bian bisa jagain kamu, dan dia nggak akan macam-macam sama kamu.” Mas Bian mengernyit ke arahku mendengar nada bicara Mama, yang terkesan mengharapkan terjadinya sesuatu yang macam-macam.

Si Mama malu-maluin deh.

“Gimana Ci?”

Terdiam sejenak untuk berpikir, aku kemudian mengangguk—menyetujui. Papa dan Mama tersenyum senang, sesenang Bima yang kembali mendapatkan suapan bubur pisang dariku.

“Nak Bian sudah punya bayangan, mau ngambil jalur transportasi darat atau udara, untuk berangkat ke Surabaya?”

“Mungkin darat.”

Mukaku langsung pucat.

“Lewat jalur darat bisa ngeliat banyak pemandangan bagus di tengah jalan, dan juga lebih santai naik bus daripada pesawat yang baru beberapa jam udah nyampe.”

Kalau kayak gitu akunya yang nggak santai Mas. Hueeee! Aku mabok darat!

Mabok Perjalanan atau Mabok Bian? (1)

Minta ijin cuti dari sekolah buat ngantar Baby Bima ke Surabaya, sampai batas waktu yang tidak bisa kuperkirakan, entah kenapa aku kok jadi ngerasa kayak nandatanganin surat pengunduran diri secara tidak langsung, ya?

Aku nggak tahu kami bakal tinggal berapa lama di tempat Ayah Mas Bian, di Surabaya. Aku hanya bisa menebak, kalau keberadaan kami di sana akan memakan waktu lebih dari seminggu. Mas Bian sudah lama tidak bertemu dengan Ayah kandungnya, jadi mereka pasti butuh sedikit waktu lebih untuk saling melepas rindu.

Hari ini aku tidak pergi ke sekolah karena harus menyiapkan semua keperluan keberangkatanku dan Baby Bi, baju-baju, popok, bedak bayi dan segala macam *****-bengeknya, susu bubuk, botol susu, serta termos air panas yang akan kupakai untuk menyeduh susu Bima di perjalanan, semua sudah kukemas dalam sebuah koper, satu tas ransel (yang ini berisi pakaianku, dan jangan tanya apa aja isinya kalau nggak mau malu.) dan juga tas jinjing kecil tempat menyimpan semua keperluan khusus Bima. Soal ijin cuti dari sekolah, aku mendapatkannya setelah menelpon Pak Kepsek.

***

"Apa?" Mas Bian, yang lagi nonton acara berita kriminal siang di tivi, mengernyit melihatku yang terus memandangnya sembil mengerutkan dahi. Aku baru saja membuka pintu kamar, dan mendapati dia yang tengah asik menonton di ruang keluarga. Nih orang kok masih di sini, dan nggak pulang-pulang sih?

"Nggak apa-apa, Mas," aku menggeleng sembari menghenyakan di sofa dua dudukan, yang letaknya berseberangan dengan dengan sofa yang diduduki Mas Bian, "cuma mikirin soal perjalanan pake mobil besok," aku cengengesan menggaruk kepala yang tak gatal.

Mas Bian diam sebentar, dia menatapku seksama, "Kamu mabuk darat?"

"Hahaha, gitu deh, Mas."  Tengsin juga sih ngakuinnya.

"Jadi selama ini kamu belum pernah berpergian keluar kota?"

Ngangguk malu. Ketahuan kalau aku cuma anak desa yang jarak jangkauan pergaulannya hanya sampai wilayah kacamatan dan kabupaten doang.

"Waktu SMP, saya pernah ikut Papa pergi ke Mataram buat ngikut seminar naik Bus, cuma baru sampe cabang B'ango, Papa langsung bawa Suci turun dari mobil gara-gara Suci sekarat—tepar di atas Bus." aku bergidik mengingat kenangan memalukan itu. Kok mendadak aku jadi formal ya sama Mas Bian?

Mas Bian terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru kuberikan. Ekspresinya merupakan campuran dari rasa cemas dan bingung, "Kalau begitu besok siapin buah yang kecut-kecut asem sama beberapa roti dan juga obat anti mabuk buat kamu," dia bergumam seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. "Jangan sampe Mas, kerepotan ngurusin kamu sama Bima," dia mendelik ke arahku.

Aku manyun. Yowes, kalau nggak mau direpotin, ya jangan ajak akulah, Mas.

***

Buat yang pernah ngerasain mabok darat pasti ngerti kan, gimana perasaanku waktu naik bus dalam perjalanan yang butuh hitungan hari buat sampe di tempat tujuan? Mual. Pusing. Isi perut rasanya seperti ditarik-tarik. Laper, tapi nggak bisa makan. Bawaannya muntah mulu, jadi mesti kudu sedia kantong plastik selama dua puluh empat jam buat jaga-jaga isi perut keluar dari tempatnya.

Sepanjang perjalanan aku gelisah, menggeliat-geliut seperti orang kebelet kencing. Padahal busnya belum juga nyampe satu kilo jalannya, sejak kami naik di terminal bus di cabang Talabiu. Sebelum berangkat tadi, Mama mewanti-wantiku agar jangan mabok atau muntah, jaga Bima, dan jangan ngerepotin Mas Bian. Tapi sejak kecil aku udah punya penyakit mabok darat kalau ada perjalanan jauh, gimana bisa diubah coba? Belum lagi kami mendapat tiket kursi di deretan yang paling tidak menyenangkan, bangku belakang deket toilet, jadi sama sekali nggak membantu.

Minta ijin cuti dari sekolah buat ngantar Baby Bima ke Surabaya, sampai batas waktu yang tidak bisa kuperkirakan, entah kenapa aku kok jadi ngerasa kayak nandatanganin surat pengunduran diri secara tidak langsung, ya?

Aku nggak tahu kami bakal tinggal berapa lama di tempat Ayah Mas Bian, di Surabaya. Aku hanya bisa menebak, kalau keberadaan kami di sana akan memakan waktu lebih dari seminggu. Mas Bian sudah lama tidak bertemu dengan Ayah kandungnya, jadi mereka pasti butuh sedikit waktu lebih untuk saling melepas rindu.

Hari ini aku tidak pergi ke sekolah karena harus menyiapkan semua keperluan keberangkatanku dan Baby Bi, baju-baju, popok, bedak bayi dan segala macam *****-bengeknya, susu bubuk, botol susu, serta termos air panas yang akan kupakai untuk menyeduh susu Bima di perjalanan, semua sudah kukemas dalam sebuah koper, satu tas ransel (yang ini berisi pakaianku, dan jangan tanya apa aja isinya kalau nggak mau malu.) dan juga tas jinjing kecil tempat menyimpan semua keperluan khusus Bima. Soal ijin cuti dari sekolah, aku mendapatkannya setelah menelpon Pak Kepsek.

***

"Apa?" Mas Bian, yang lagi nonton acara berita kriminal siang di tivi, mengernyit melihatku yang terus memandangnya sembil mengerutkan dahi. Aku baru saja membuka pintu kamar, dan mendapati dia yang tengah asik menonton di ruang keluarga. Nih orang kok masih di sini, dan nggak pulang-pulang sih?

"Nggak apa-apa, Mas," aku menggeleng sembari menghenyakan di sofa dua dudukan, yang letaknya berseberangan dengan dengan sofa yang diduduki Mas Bian, "cuma mikirin soal perjalanan pake mobil besok," aku cengengesan menggaruk kepala yang tak gatal.

Mas Bian diam sebentar, dia menatapku seksama, "Kamu mabuk darat?"

"Hahaha, gitu deh, Mas."  Tengsin juga sih ngakuinnya.

"Jadi selama ini kamu belum pernah berpergian keluar kota?"

Ngangguk malu. Ketahuan kalau aku cuma anak desa yang jarak jangkauan pergaulannya hanya sampai wilayah kacamatan dan kabupaten doang.

"Waktu SMP, saya pernah ikut Papa pergi ke Mataram buat ngikut seminar naik Bus, cuma baru sampe cabang B'ango, Papa langsung bawa Suci turun dari mobil gara-gara Suci sekarat—tepar di atas Bus." aku bergidik mengingat kenangan memalukan itu. Kok mendadak aku jadi formal ya sama Mas Bian?

Mas Bian terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru kuberikan. Ekspresinya merupakan campuran dari rasa cemas dan bingung, "Kalau begitu besok siapin buah yang kecut-kecut asem sama beberapa roti dan juga obat anti mabuk buat kamu," dia bergumam seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri. "Jangan sampe Mas, kerepotan ngurusin kamu sama Bima," dia mendelik ke arahku.

Aku manyun. Yowes, kalau nggak mau direpotin, ya jangan ajak akulah, Mas.

***

Buat yang pernah ngerasain mabok darat pasti ngerti kan, gimana perasaanku waktu naik bus dalam perjalanan yang butuh hitungan hari buat sampe di tempat tujuan? Mual. Pusing. Isi perut rasanya seperti ditarik-tarik. Laper, tapi nggak bisa makan. Bawaannya muntah mulu, jadi mesti kudu sedia kantong plastik selama dua puluh empat jam buat jaga-jaga isi perut keluar dari tempatnya.

Sepanjang perjalanan aku gelisah, menggeliat-geliut seperti orang kebelet kencing. Padahal busnya belum juga nyampe satu kilo jalannya, sejak kami naik di terminal bus di cabang Talabiu. Sebelum berangkat tadi, Mama mewanti-wantiku agar jangan mabok atau muntah, jaga Bima, dan jangan ngerepotin Mas Bian. Tapi sejak kecil aku udah punya penyakit mabok darat kalau ada perjalanan jauh, gimana bisa diubah coba? Belum lagi kami mendapat tiket kursi di deretan yang paling tidak menyenangkan, bangku belakang deket toilet, jadi sama sekali nggak membantu.

Mabok Perjalanan Atau Mabok Bian? (2)

Menyadari kegelisahanku, Mas Bian yang asik bermain dengan Bima, melirik, "Masa udah mau mabok aja?" sebelah alisnya terangkat tinggi.

Aku cemberut ke arahnya. Pake acara ditanya 'Masa udah mau mabok?' segala. Kalau mabok ya mabok, kagak ada masa-masanya!

Mas Bian mendesah, "Sebelum berangkat tadi udah makan?"

Aku mengangguk.

"Udah minum pil anti mabuknya?"

Ngangguk lagi.

"Terus kenapa mau mabuk secepat ini? Ini baru juga nyampe Sila." Dia menggerutu.

Aku hanya mengeluarkan suara rengekan kecil untuk menjawab perkataan Mas Bian.

Bosan memelototi punggung kursi penumpang di depan kami, aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Rumah-rumah dan pepohonan tampak seperti kilasan gambar dalam video yang timer waktunya cepat berlalu. Suasana diluar juga tampak sepi dan gelap, karena hari sudah larut. Beberapa anak muda terlihat nongkrong-nongkrong di warung pinggir jalan, sambil nyanyi-nyanyi ceria diiringi petikan gitar.

Aku menghela napas berat, bersandar pada sandaran kursiku, mencoba untuk mengurangi rasa pusing dan mual yang mulai datang. Ya Allah, jangan sampai aku mabuk dan muntah. Aku ikut buat ngerawat dan ngejagain Bima, bukan buat ngerepotin Mas Bian.

"Ini."

"'Hmm?" aku mengernyit bingung saat Mas Bian menaruh plastik hitam, yang berisi buah-buahan seperti salak dan jeruk serta sebungkus permen rasa asem dan juga beberapa bungkus roti, di atas pangkuanku.

"Kalau kamu udah mulai pusing dan mual, coba makan aja dulu ini. Mudah-mudahan bisa baikan," katanya lembut. Aku bisa menangkap rasa iba dari sorot matanya, "Ibu bilang, kalau mabuk darat gara-gara naik bus dalam perjalanan yang memakan waktu  beberapa hari, buat ngurangin rasa mual dan pusingnya adalah makan buah yang kecut-kecut atau permen. Dan kalau kamu lapar, makan aja rotinya," Mas Bian terlihat canggung dan malu-malu saat menjelaskan hal itu padaku.

Aku tersenyum kikuk, "Makasih."

"Hmm. Sama-sama."

Aku merasa baru tidur sebentar saat tiba-tiba Mas Bian menepuk pundakku.

"Ci. Ci, bangun Ci."

Geliat-geliut sebentar, trus mangap nggak elit dulu baru buka mata. Sempat linglung ngeliat muka geli Mas Bian, yang terpampang nyata di depan mata, dengan dedek Bima yang lagi kumat bawelnya di dalam gendongan.

"Lho, Mas Bian kok disini?" o'on kumat.

Mas Bian nyengir, "Kamu lupa ya, kalau kita lagi ada di bus menuju Surabaya?"

Muka mendadak pucat lagi. Pengen muntah, tapi ngeliat muka ganteng Mas Bian dari jarak sedekat ini bikin muntahan tertahan di dada. Ya Allah, kakak iparku ini kece badai bener. Rambut item berantakan, idung mancung, bibir seksi, dan mata tajem anget walau ada sedikit belek yang nempel sekitar. Belum lagi senyumnya ... idiwh bikin hati rontok.

Plak!

Oke. Gue udah sarap sampai ngecengin kakak ipar sendiri. Mbak Saty, maafkan adikmu ini yang sedikit khilaf mengagumi suamimu.

"Oh," hanya itu reaksi yang bisa kukeluarkan. Melirik sekeliling aku melihat para penumpang lain udah mulai bangun dan turun dari bus, lho? Kok ..., "Kita udah nyampe Surabaya ya, Mas?" o'onku masih belum ilang. Ini baru jam tiga subuh, katanya perjalanan menuju Surabaya memakan waktu tiga hari tiga malam, dan tiga kali nyebrang laut pakek kapal, kok ini cuma beberapa jam aja?

Mas Bian tergelak, mencoba menenangkan Bima yang merengek-rengek ingin digendong olehku. Sabar Nak, Tante Suci ngumpulin  nyawa dulu bentar. Setelah memastikan nyawaku terkumpul semua, aku segera bangkit dan mengambil Bima untuk digendong menggunakan 'sarung gendong' yang sudah kusiapkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!