Menyadari kegelisahanku, Mas Bian yang asik bermain dengan Bima, melirik, "Masa udah mau mabok aja?" sebelah alisnya terangkat tinggi.
Aku cemberut ke arahnya. Pake acara ditanya 'Masa udah mau mabok?' segala. Kalau mabok ya mabok, kagak ada masa-masanya!
Mas Bian mendesah, "Sebelum berangkat tadi udah makan?"
Aku mengangguk.
"Udah minum pil anti mabuknya?"
Ngangguk lagi.
"Terus kenapa mau mabuk secepat ini? Ini baru juga nyampe Sila." Dia menggerutu.
Aku hanya mengeluarkan suara rengekan kecil untuk menjawab perkataan Mas Bian.
Bosan memelototi punggung kursi penumpang di depan kami, aku mengalihkan pandanganku keluar jendela. Rumah-rumah dan pepohonan tampak seperti kilasan gambar dalam video yang timer waktunya cepat berlalu. Suasana diluar juga tampak sepi dan gelap, karena hari sudah larut. Beberapa anak muda terlihat nongkrong-nongkrong di warung pinggir jalan, sambil nyanyi-nyanyi ceria diiringi petikan gitar.
Aku menghela napas berat, bersandar pada sandaran kursiku, mencoba untuk mengurangi rasa pusing dan mual yang mulai datang. Ya Allah, jangan sampai aku mabuk dan muntah. Aku ikut buat ngerawat dan ngejagain Bima, bukan buat ngerepotin Mas Bian.
"Ini."
"'Hmm?" aku mengernyit bingung saat Mas Bian menaruh plastik hitam, yang berisi buah-buahan seperti salak dan jeruk serta sebungkus permen rasa asem dan juga beberapa bungkus roti, di atas pangkuanku.
"Kalau kamu udah mulai pusing dan mual, coba makan aja dulu ini. Mudah-mudahan bisa baikan," katanya lembut. Aku bisa menangkap rasa iba dari sorot matanya, "Ibu bilang, kalau mabuk darat gara-gara naik bus dalam perjalanan yang memakan waktu beberapa hari, buat ngurangin rasa mual dan pusingnya adalah makan buah yang kecut-kecut atau permen. Dan kalau kamu lapar, makan aja rotinya," Mas Bian terlihat canggung dan malu-malu saat menjelaskan hal itu padaku.
Aku tersenyum kikuk, "Makasih."
"Hmm. Sama-sama."
Aku merasa baru tidur sebentar saat tiba-tiba Mas Bian menepuk pundakku.
"Ci. Ci, bangun Ci."
Geliat-geliut sebentar, trus mangap nggak elit dulu baru buka mata. Sempat linglung ngeliat muka geli Mas Bian, yang terpampang nyata di depan mata, dengan dedek Bima yang lagi kumat bawelnya di dalam gendongan.
"Lho, Mas Bian kok disini?" o'on kumat.
Mas Bian nyengir, "Kamu lupa ya, kalau kita lagi ada di bus menuju Surabaya?"
Muka mendadak pucat lagi. Pengen muntah, tapi ngeliat muka ganteng Mas Bian dari jarak sedekat ini bikin muntahan tertahan di dada. Ya Allah, kakak iparku ini kece badai bener. Rambut item berantakan, idung mancung, bibir seksi, dan mata tajem anget walau ada sedikit belek yang nempel sekitar. Belum lagi senyumnya ... idiwh bikin hati rontok.
Plak!
Oke. Gue udah sarap sampai ngecengin kakak ipar sendiri. Mbak Saty, maafkan adikmu ini yang sedikit khilaf mengagumi suamimu.
"Oh," hanya itu reaksi yang bisa kukeluarkan. Melirik sekeliling aku melihat para penumpang lain udah mulai bangun dan turun dari bus, lho? Kok ..., "Kita udah nyampe Surabaya ya, Mas?" o'onku masih belum ilang. Ini baru jam tiga subuh, katanya perjalanan menuju Surabaya memakan waktu tiga hari tiga malam, dan tiga kali nyebrang laut pakek kapal, kok ini cuma beberapa jam aja?
Mas Bian tergelak, mencoba menenangkan Bima yang merengek-rengek ingin digendong olehku. Sabar Nak, Tante Suci ngumpulin nyawa dulu bentar. Setelah memastikan nyawaku terkumpul semua, aku segera bangkit dan mengambil Bima untuk digendong menggunakan 'sarung gendong' yang sudah kusiapkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Yunisa
knpa g naik pesawat aja biar Cepet sampai
2022-10-25
0