8.

Hari ini pun Chenle menghampiri rumah Renjun yang berada di gunung. Setelah Jeno tidak memiliki tempat tinggal, ia memutuskan untuk bertempat tinggal di rumah Renjun, diikuti oleh Mark dan tentu saja Lin-lin.

TRAAANGGG!!

Chenle terduduk di tanah sedangkan pedangnya terbang tinggi dan mendarat mulus dan tertancap di jerami-jerami.

“Pangeran!!”

Seru para pengawal Chenle. Mereka melihat sang pangeran dan Jeno sedang berlatih perang menggunakan pedang besi yang baru-baru ini dibelinya.

Chenle mengangkat tangannya, “Aku tidak apa-apa,” ucapnya tanpa membalik badan. Ia berusaha berdiri kembali dan menyeka keringatnya.

“Aigoo….” Gumam Renjun yang menyaksikan Chenle dari kejauhan. Ia dan Mark berdiri di dekat pintu rumah Renjun. “Sebenarnya kelebihan Chenle itu apa, sih? Ckckck..”

Mark tertawa pelan mendengar cibiran Renjun. “Dia pandai menunggang kuda,”

“Mwoya, itu saja?”

Mark menggeleng bagai berkata ‘tidak’. “Tuh,” Mark menunjuk para prajurit yang berbaris agak jauh dari Chenle berdiri. “Dia punya pasukan. Ia tidak sendiri. Banyak yang membantu dan melindunginya,” ucap Mark.

Renjun kemudian mengikuti sorot mata Mark. Ia melihat banyaknya prajurit yang berdiri di belakang Pengawal Ming. Para prajurit berbaju besi itu masing-masing juga membawa pedang yang sama kokohnya dengan pedang yang Renjun ambil dari rumah Jeno.

“Dan…Chenle juga punya kekuatan lain,” lanjut Mark. Renjun pun mengalihkan pandangan menjadi menatap Mark di sebelahnya. Mark pun mengarahkan jari telunjuk dan menempelkannya ke pelipis kanan. “Dia pintar,”

Renjun yang langsung paham dengan sosok sang pangeran kemudian membulatkan mulutnya dan mengangguk-angguk.

“Lalu hyung..”

“Hmm?”

“Istrimu mana?”

Mark membulatkan matanya mendengar pertanyaan tak terduga dari Renjun.

Renjun kemudian menunjuk Lin-lin yang berlarian di depan mereka berdua karena sedang mengejar kupu-kupu. “Ibu anak ini,” ucapnya. “Kata Chenle, dia anakmu, 'kan?”

Mark tertawa tidak percaya. “Hya, aku bahkan tidak tahu dia anak siapa,” Mark memukul pelan lengan Renjun, “Dia sudah bersamaku dari awal cerita, kurasa aku hanya harus mengasuhnya,”

“Lalu ia tidak bisa bicara? Mengapa hanya menyebutkan kata ‘Lin-lin’?”

Mark menjawab dengan mengangkat kedua bahunya.

“Seperti Groot saja,” Canda Renjun sambil menyebutkan salah satu tokoh film kesukaannnya.

-----------+++++++++++-------------

Setelah istirahat yang cukup, Chenle meminta pasukannya untuk merikuti mereka menuruni gunung. Renjun bersama yang lainnya akan menuju rumah seorang dokter yang berada di kaki gunung.

Lin-lin yang masih senang berada satu kuda dengan Chenle mengikuti Jeno dan Mark yang berjalan di depannya.

“Hya Renjun ah,” Mark berbicara menghadap langit -langit dengan suara keras. “Kau tidak bisa berjalan seperti orang normal saja?! Kau bisa satu kuda denganku!” Serunya.

Renjun yang sedang memamerkan keahlian ‘terbang’nya memang tidak sedang menunggang kuda seperti teman-temannya. Ia memilih untuk menyusuri gunung dengan melompat dari satu pohon ke pohon lain.

“Yoohooo!” Seru Renjun tanpa memperdulikan anggota tertua di timnya.

“Ckckck… dasar tukang pamer,” Komentar Chenle.

“Dia malah terlihat seperti monyet,” Sahut Jeno ikut mengomentari.

Setelah beberapa jam perjalanan, satu-satunya rumah yang ada di kaki gunung pun terlihat. Rumah yang dikelilingi tumbuhan-tumbuhan obat. Mereka bertiga yang yakin itu adalah rumah sang dokter langsung memelankan laju kudanya.

TAP.

Renjun turun dari pohon tinggi di dekat rumah yang tertutup itu. Ia menoleh kebelakang memanggil temannya. Jeno, Mark dan Chenle langsung menuruni kuda yang sudah berhenti dan menjaga jarak dari rumah tersebut.

Renjun menyuruh seluruh temannya berjalan perlahan, ia menempelkan jari telunjuknya pada bibirnya. Renjun kemudian mengintip situasi dalam rumah dari jendela rumah itu.

Mark melihat jelas gerakan pundak Renjun yang naik turun saat mengintip isi rumah itu. “Sst..” Mark berbisik. “Ada apa?” Tanyanya sambil memukul pelan Pundak Renjun.

Renjun menjauhkan dirinya dari jendela rumah itu. Ia terlihat sedang tertawa sepelan mungkin. Hal itu membuat teman-teman Renjun semakin penasaran.

“Pfpfft…ayo masuk,” Ajak Renjun yang kemudian berjalan mendekat ke pintu reot rumah itu.

GRAK!

Renjun membuka pintu itu dengan kasar.

“Jisung ah!!” Seru Renjun.

“Omo! Hyuuungggg!!!” Seru sang pemilik rumah.

“Mwo?! Jisung?!” Jeno ikut kaget melihat Jisung tadi yang terduduk lemas dan menyandarkan badannya di tembok rumahnya.

“Ahahaha!! Jisung ah! Kau disini?! Ahaha!” Chenle memasuki rumah dengan tertawa sangat kencang.

“Hya hya,” Mark menerobos Jeno dan Renjun. Ia segera menuju Jisung dan meraba seluruh lengannya. “Jisung ah? Kau tidak apa-apa?”

“Hiks…” Jisung mulai menangis. “Hyuuung!!!” Jisung pun memeluk Mark. Mark berusaha menahan tawa sambil memukul-mukul pelan punggung Jisung.

“Mwoya? Kau dokternya?! Ahahaha!” Chenle masih tertawa jahil.

Sementara itu, Lin-lin yang memang tidak mengenal Jisung ikut memasuki rumah. Rumah itu berbau tidak sedap hingga Lin-lin menutup hidungnya dengan tangan kecilnya.

“Lin-lin?” Lin-lin lalu mendongak menatap meja bundar besar di tengah ruangan. Diatas meja itu terdapat sesuatu yang ditutupi dengan kain putih kecoklatan yang sudah kotor. Kain itu menjuntai hingga bawah. “Lin?”

“Ah hya!” Seru Jisung menatap anak kecil yang berdiri di dekat meja. “Jangan sentuh it…”

“Lin-lin?”

SRAAKK

“Uwaaa!!!!” Seluruh pria di dalam rumah berteriak.

Lin-lin baru saja menarik kain yang menutupi seorang mayat yang memiliki lubang di bagian jantungnya. Badan mayat itu juga penuh dengan jahitan.

“Lin-lin!!” Lin-lin berlari menjauh sambil memeluk kaki Mark.

“A! Apa itu, Jisung ah!!!” Seru Chenle yang berdiri paling dekat dengan meja.

“Mana aku tahu! Dari awal sudah ada benda itu!” Jawab Jisung dengan suara gemetar dan masih menangis.

“Pangeran!” Pasukan Chenle tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Omo!” Mereka berlima juga terkejut menatap apa yang ada di atas meja.

“Kami mendengar suara pangeran,” Pengawal Ming memasuki rumah Jisung. “A..apa pangeran baik-baik saja?”

“Ah? Oh.. Eumm.. ya,” jawab Chenle panik. “Hya, kalian,” Chenle memanggil lima prajurit terkuat andalannya. “..cepat buang ini,”

“Ne?”

“I..itu apa, Pangeran?” Pengawal Ming mencoba memastikan perintah Chenle.

Chenle melirik sedikit Jisung yang mengeluarkan sorot mata seolah meminta pertolongan. “Ma..mana aku tahu,” Jawab Chenle. “Dokter ini terlalu lemah untuk membuang mayat ini, aku ingin kalian membantunya,”

Pengawal Ming kemudian menatap Jisung yang masih merangkulkan kedua lengannya di perut Mark. Ia menundukkan kepalanya untuk menyapa Pengawal Ming.

“Maaf, bukankah anda….Dokter Ji?” Tanya Pengawal Ming yang sepertinya mengenal tokoh yang diperankah Jisung.

Jisung hanya mengangguk pelan. Sepertinya ia yakin bahwa namanya dalam cerita itu adalah ‘Dokter Ji'.

Pengawal Ming kemudian sedikit memundurkan badannya kaget. Kelima Prajurit Chenle juga saling menatap satu sama lain seperti melempar sebuah kode.

“Mwoya? Ada apa?” Chenle terganggu dengan tingkah laku para bawahannya.

“A..anu pangeran, bisa bicara sebentar?” Pengawal Ming bersuara pelan.

“Kalian singkirkan ini dulu,” perintah Chenle.

“Mwoya..” Jisung bergumam pelan melihat tingkah laku temannya yang memiliki beberapa orang untuk diperintah.

“Chenle memerankan seorang pangeran,” Jelas Mark menjawab kebingungan Jisung.

“Ah, ne..” Pengawal Ming menunduk hormat. Ia lalu membuat gerakan tangan kepada lima prajurit seolah menyuruh mereka untuk segera melaksanakan perintah sang pangeran.

------------++++++++++---------

Suasana dalam rumah Jisung seketika sepi. Renjun menempelkan telinganya pada pintu rumah Jisung yang ditutup. Ia berusaha menguping pembicaraan Chenle dan pengawal Ming di depan rumah.

“Kenapa lama sekali?” Gerutu Jeno yang duduk di lantai rumah Jisung.

“Sst!” Renjun yang masih berusaha menguping pembicaraan menyuruh Jeno diam.

“Hya, hentikan Renjun ah,” Perintah Mark yang duduk jauh di bagian dalam rumah sambil menggendong Lin-lin sebelum ia memecahkan botol-botol kaca di rumah Jisung. “Tenang saja, nanti Chenle pasti akan segera memberi tahu kita,” Ucap Mark santai.

Jisung berhenti menggigiti kukunya. Ia sudah agak sedikit lega dengan kedatangan teman-temannya. Setelah sebelumnya selalu berada di dalam rumah yang gelap –dan ia baru menyadari bahwa ia tinggal bersama seorang mayat setelah dua hari berada di rumah, kini suasana dalam rumah Jisung terlihat lebih hidup.

“Lin-lin..” Lin-lin yang duduk dipangkuan Mark tiba-tiba berjalan menghampiri Jisung.

“Eh?”

Lin-lin pun mengusap pipi Jisung seperti sedang menyeka air mata.

“Haha, Lin-lin mengiramu menangis lagi,” Jeno yang ada di dekat Jisung tertawa gemas.

“Anakmu lucu, hyung…” Jisung kemudian mencubit pelan pipi Lin-lin.

“Dia bukan…”

KRIEEK.

“Aduh,”

“Mwoya, mengapa hyung berdiri di belakang pintu?” Chenle menatap bingung Renjun yang berdiri di balik pintu.

“Dia berusaha menguping pembicaraanmu,” ungkap Jeno.

“Ada apa, Chenle ah?” Tanya Mark.

Chenle berjalan menuju tengah ruangan. Seluruh temannya mengikuti langkahnya dan menunggu Chenle bercerita.

“Hya Jisung ah,”

“Ne?”

“Pengawal Ming bilang kau seorang pembunuh? Apa itu benar?”

“Mwo?!” Jeno dan Renjun terkejut bersamaan. Mark berdiri dan menghampiri Chenle.

Jisung terdiam. Bola matanya bergerak panik tidak karuan. Ia bingung harus memulai dari mana.

“Mwoya Jisung ah, kalau tidak, ya jawab saja tidak. Mengapa kau harus berpirkir?” Ucap Renjun tajam.

“Hya, jangan mendesaknya,” Mark mencoba menengahi agar tidak terjadi pertikaian. “Chenle ah, memang apa yang Pengawal Ming katakan?”

“Ia meyuruhku hati-hati dengan Jisung,” Jawab Jisung. “Jisung ah, kita punya misi yang sama ‘kan di cerita ini? Tenang saja, aku tidak mempercayai Pengawal Ming,”

“Hyung…” Jisung mulai bersuara lemas. “aku..aku memang seorang pengumpul mayat..” ucapnya, diikuti oleh ekspresi kaget seluruh hyung-nya. “A..aku tidak tahu aku seorang pembunuh atau bukan! Kata Josung Saja, aku seorang dokter dan ahli kimia. Aku terobsesi menghidupkan orang mati, seluruh desa takut denganku, oleh karena itu..... aku dikucilkan…” Jelasnya.

“Oh, pantas kau dipanggil ‘Dokter gila’,” Gumam Renjun. Mark segera memelototinya agar Renjun menjaga ucapannya.

“Saat aku datang bahkan ada banyak mayat binatang disini,” Jisung menunjuk salah satu meja panjang yang terdapat botol-botol berisi cairan warna-warni diatasnya, “Saat itu Josung Saja membantuku membersihkannya,”

“Wah kau berani sekali memerintah Josung Saja,” Gurau Mark membuat Jisung tersenyum.

Jisung yang berhasil tersenyum kemudian melanjutkan penjelasannya, “Josung Saja menyarankanku membuat banyak ramuan untuk berperang. Ramuan itu nanti akan diminum oleh setiap orang yang terluka di peperangan,”

“Mwoya? Kau bisa?” Jeno sedikit mengacak-acak rambut Jisung.

Jisung mengangguk malu. “Tokoh dokter ini memiliki buku resep. Aku hanya tinggal mengikutinya saja,”

“Wooooww,” Goda seluruh hyung kepada anggota termuda itu.

“Syukurlah kalau begitu. Aku tahu wajah bodoh sepertimu tidak mungkin membunuh,” Kata Chenle sambil tertawa ringan. “Kalau begitu, kita memiliki misi yang sama ‘kan?”

“Misi? Misi apa?”

“Mwoya, mengapa kau tidak tahu?” Mark kaget mendengar perkataan Jisung. “Apa yang Josung Saja katakan padamu?”

“Josung Saja? Ia hanya bilang bahwa akan ada banyak orang yang datang kemari meminta ramuan. Memang ada beberapa yang datang sih, baru dua-tiga orang saja,”

“Jisung ah, sadarlah, kau termasuk tokoh utama cerita ini, kau akan ikut berperang,” Jelas Mark mengungkap kenyataan.

“Mwo? Aku?” Jisung menunjuk dirinya. “Maksud hyung perang melawan penyihir istana?”

“Dan naga,” Chenle menambahi.

“Hyung! Aku tidak bisa berperang! Ka..kalau kita mati bagaimana?”

Mark kemudian menunjuk Jeno. “Kau akan berlatih perang dengannya, seperti Chenle. Tapi tenang saja, kau tidak akan fokus berperang, kau akan kami butuhkan untuk mengobati pasukan yang terluka,”

“Tapi hyung…”

“Jisung ah,” Sela Chenle. “Cerita ini belum selesai. Si penulis meninggal saat menulis naskah ini. Kalau kita tidak menyelesaikannya, kita benar-benar tidak bisa keluar,”

“Mwo?!” Jeno dan Jisung yang baru tahu berita itu berseru.

“Kalian tidak tahu?” Renjun menatap Jeno dan Jisung satu-persatu dan dilanjutkan oleh gelengan kepala Renjun.

“Pilihannya adalah diam dan terjebak disini selamanya atau melawan penyihir dan naga-naganya lalu kembali ke kehidupan semula,” lanjut Chenle. ”Bahkan rumah Jeno sudah dibakar penyihir. Kita harus segera menuju istana, Jisung ah,”

Mata Jisung mulai berkaca-kaca lagi.

“Hya! Kau ini, mana ada dokter psikopat gila yang cengeng dan penakut sepertimu?!” Seru Chenle memarahi Jisung sambil tertawa. “Penulis Kim yang melihatmu dari ‘Langit’ pasti kesal,”

Jisung kemudian menyeka air matanya, dibantu oleh Lin-lin.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!