Jeno
PRANG!
Suara besi-besi yang berjatuhan terdengar nyaring. Jeno berusaha berdiri sempurna setelah sebelumnya badannya tidak sengaja menatap sudut meja dan menyebabkan besi-besi tajam berjatuhan.
“Ini… pedang?” Jeno membungkuk untuk menatap salah satu pedang yang berjatuhan dari meja kayu.
Ia kemudian melihat sekeliling. Tak hanya pedang yang ada di sana. Ada panah, pisau-pisau kecil, serta boomerang besi. Jeno kemudian meraba dirinya. Lengkap dan tidak terluka sama sekali. Ia mendekat ke perapian yang masih menyala. Terdapat besi-besi di dalamnya. Jeno sedikit mundur kala ia sadar kalau ia terlalu dekat dengan api yang masih menyala.
“Uhuk uhuk!”
Jeno menoleh. Rupanya ia tidak sendirian. Ia menatap pria tinggi dibelakangnya. Pria itu terus mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah.
“Hya, bersihkan cerobong asapmu. Asapnya jadi ikut masuk ke rumah,” komentar pria itu sambil menunjuk perapian ‘rumah’ Jeno.
“Siapa kau?!”
“Aku?” Josung Saja melihat sekeliling dan menarik kursi. “duduklah, santai saja,”
Dengan wajah panik Jeno ikut menarik kursi dan memegang pisau kecil di tangan kirinya. Ia bersiap-siap jikalau pria misterius dihadapannya ini tiba-tiba menyerangnya.
“Dengarkan baik-baik. Pertama-tama, kau masuk ke sebuah cerita. Ingat amplop ini?” Josung Saja mengangkat amplop coklat itu.
“Mwo?! Masuk ke cerita? Bagaimana bisa?”
“Hya! Itu karena kau yang penasaran ‘kan?! Aku tadi melihatmu. Kau duluan yang ingin membuka naskah ini,” jawab Josung Saja dengan nada tinggi. “Aigoo, padahal sudah kuberi jimat, malah dibuka oleh anak-anak kecil seperti kalian,”
“’Kalian’?” Jeno mengeryitkan dahi. “Oh ya. Bagaimana dengan teman-temanku? Apakah mereka ikut…”
“Ssst! Sst! Sst!” Sela Josung Saja. “’Kan sudah kubilang, dengarkan dulu. Jadi, kau menjadi salah satu tokoh di cerita ini. Ini cerita tentang….Aigoo! Iya-iya! Semua temanmu masuk ke cerita ini, puas?!” Ucap Josung Saja kesal melihat wajah semberut Jeno yang pertanyaannya belum dijawab. “Aku baru bertemu satu temanmu,”
“Benarkah? Siapa?”
Josung Saja mendongak ke langit-langit seperti berpikir. “Aku lupa tanya namanya,” Jawabnya diikuti senyuman jahil. “Pokoknya, dia akan segera menemuimu. Dia adalah manusia biasa, dia akan datang menemuimu untuk membeli pedang,”
“Saya berjualan pedang?"
“Hya, kau tidak hanya berjualan, kau seorang pembuat senjata, lihat sekelilingmu,”
Jeno mulai berpikir ia mendapatkan peran yang keren. Jeno yang belum pernah melihat pedang sebelumnya mencoba memegang gagang pedang yang dipenuhi ukiran-ukiran artistik.
“Jual pedang terbaikmu pada Pangeran Negeri ini,” Lanjut Josung Saja sambil terus membaca naskah.
“Ne?”
“Yah, itu yang tertulis disini,” Ucapnya sambil mengengkat naskah.
“Tapi, pak penulis, ini..”
“Bukan. Aku bukan penulis,” Josung Saja mulai berdiri dan melihat pisau-pisau kecil yang tergantung di dinding. “Aku Malaikat Pencabut Nyawa,”
“Ne?!!” Seru Jeno berlebihan. “Ba..bagaimana bisa?!”
BUAK
Kumpulan kertas naskah tebal menghantam kepala Jeno. Josung Saja itu memukulnya.
“Itu karna kau buka naskah ini. Seharusnya tugasku hanya mengambil arwah di dunia saja, tapi sekarang malah mengawasi kalian,”
“Oh. Hehe…”
------------------------------------------+++++++++++++++++++++++++----------------------------------------
Chenle
“Hhh…hhh…hh…” Chenle terbangun, keringat dingin masih membasahi pelipisnya. Nafasnya masih sesak dan sulit diatur. Ia menatap langit-langit dan selimut yang menutupi tubuhnya.
Ruangan itu bukan ruangan yang ia kenal. Ruang tertutup itu berisi pedang, baju perang, serta peta yang tergantung di tembok ruangan. Chenle terduduk dan semakin memandang sekeliling.
“Halo,”
“Omo!” Seru Chenle pada seseorang yang tiba-tiba berdiri di samping ranjangnya. “Si..siapa kau?”
Josung Saja menarik nafas berat. “Aigoo, entah aku harus menjelaskan untuk yang ke-berapa kalinya,” Gumam Josung Saja.
“Apa katamu?” Chenle mengeryitkan dahinya agar Josung Saja berbicara lebih keras.
“Kau masuk dalam naskah ini,” Josung Saja mengangkat amplop naskah di tangan kanannya.
“Amplop itu…”
“Iya, ini yang kau temukan di bawah pohon. Ini naskah cerita milik seorang penulis, sang penulis tiba-tiba meninggal, jadi ia menjadi arwah penasaran yang harus kutangani. Aigoo…ckckck…..”
Chenle membulatkan mata dan mulutnya mendengar ucapan Josung Saja.
“Oh, Aku Josung Saja,” ucapnya santai. “Saat ini si penulis masih di ‘Langit’, aduh, untuk apa aku ceritakan ini padamu ya…”
“Tunggu.” Chenle menghadapkan telapak tangannya pada Josung Saja untuk menghentikannya bicara. “Kalau sang penulis tiba-tiba meninggal… berarti ceritanya belum selesai?”
Josung Saja menutup mulutnya dan memasang ekspresi kaget yang dramatis. Ia lalu bertepuk tangan. “Wuah…kau sesuai sekali dengan karakter buatan penulis Kim! Kau memang Pangeran ber-otak encer!” Josung Saja mengacungkan jempolnya.
“Ba..bagaimana bisa kami masuk ke cerita yang bahkan belum selesai?! Teman-temanku juga? Bagaimana dengan mereka?!"
BRUAK!
“Pangeran!” Seru beberapa prajurit yang membuka pintu kamar Chenle. Mereka ber-empat kemudian berlari kecil mendekat. “Pangeran sudah siuman?”
“Ne?”
“Dokter, panggil dokter!” Teriak salah satu prajurit.
Chenle masih kebingungan. Ia menatap Josung Saja yang berjalan mundur dan berbisik, “Mereka tidak dapat melihatku,” ucapnya sambil menunjuk prajurit-prajurit Chenle. “ah iya, temanmu, semua ada disini. Selamat berjuang,”
“Tunggu!” Teriak Chenle.
Semua mengikuti sorot mata Chenle yang menatap tembok. “Pangeran? Apa pangeran baik-baik saja?” Tanya salah satu prajurit yang khawatir.
Chenle kemudian terdiam. Ia menatap satu-satu prajurit berbaju besi di hadapannya. Sang dokter yang kini mencari titik nadi di pergelangan tangannya pun tak luput ia tatap.
“A..aku baik-baik saja,” jawab Chenle sambil menarik tangannya agar sang dokter berhenti memeriksanya lebih lanjut.
Semua pun berdiri dan terdiam. Chenle tersenyum kecil agar meredakan kekhawatiran mereka.
“Pangeran?” Seorang pria tua berdiri di pintu kamar Chenle yang terbuka.
“Astaga… pangeran? Anda sudah sadar…” Pria itu berjalan mendekat dengan membawa nampan dan teh diatasnya.
“Kalian boleh kembali ke tempat,” ucap Chenle pelan. Para prajurit dan dokter kemudian menunduk hormat dan pergi meninggalkan ruangan.
Hanya ada Chenle dan pria tua itu. “Maaf.. kau..”
“Saya pengawal Ming, apa pangeran lupa?” Ucapnya sambil memberikan segelas teh hangat. “Apa pangeran baik-baik saja?”
Chenle membalas dengan anggukan. “Sa..saya sedikit lupa dengan apa yang terjadi. Bisa kau jelaskan?”
Pengawal Ming terkejut mendengar Chenle yang sepertinya kehilangan ingatan. “Istana diserang para penyihir…” Jawabnya yang kemudian duduk di kasur dan menatap Chenle. “Para penyihir tiba-tiba datang membawa seluruh naga dan para titan (\=raksasa), mereka menyerang seluruh penghuni istana, mereka menyihir seluruh penghuni istana untuk memihak para penyihir,”
Chenle yang sebenarnya terkejut tetap memilih memasang wajah datar dan mendengarkan dengan seksama.
“Setelah kematian Yang Mulia Raja dan Ratu, mereka tiba-tiba datang,” Pengawal Ming bercerita dengan suara sedih. “Kakak perempuan Anda juga meninggal saat para penyihir datang dan akan merebut tahta Yang Mulia. Lalu pangeran terluka seperti ini pun…. Karena saat itu ada naga yang menyerang pangeran, kami pun membawa pergi pangeran dan tinggal di sini, di luar istana,”
“Mwo? La..lalu, apa yang harus kita lakukan?”
“Aigoo… kasian sekali, pangeranku yang malang…” Pengawal Ming mengelus kaki Chenle yang masih bersembunyi di balik selimut. “Kita pasti akan segera merebut kembali tahta milik pangeran. Anda beristirahat dulu, sekarang kami sedang mengumpulkan para petarung terbaik di Negeri ini,”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments