5.

Mark mengaduk-aduk bubur buatannya yang baru saja matang. Ia sedikit meniup-niup buburnya agar mudah dimakan. Lin-lin tak berhenti menatap bubur yang masih panas itu. Ia terlihat sangat lapar.

“A..aku tak tahu kau akan suka atau tidak,” dengan ragu, Mark menyodorkan sendok kayunya pada Lin-lin yang mulai membuka mulut lebar-lebar.

“Aaa!” Teriak Lin-lin. Ia memuntahkan bubur itu kembali.

Mark tentu saja kaget, dan dengan sigap menangkap bubur panas yang keluar dari mulut Lin-lin dengan telapak tangannya. Ia melihat gerakan tangan Lin-lin yang menunjukkan bahwa bubur itu terlalu panas untuknya.

“Lin-lin!” Seru Lin-lin.

“Ha?” Mark memiringkan kepalanya tak mengerti. “Terlalu panas ya? Ffuuuh… fuuuhh… maaf ya, Lin-lin,”

Lin-Lin masih mengibas-ngibas lidahnya.

“Lin-lin ah,” Mark menatap gadis kecil berusia lima tahun yang duduk dihadapannya. “kau belum bisa bicara?” tanyanya sambil terus mengaduk santapan Lin-lin.

“…..” Lin-lin menatap dengan mata bulatnya.

“Ah, aku yang bodoh sudah bertanya padamu,” Gumam Mark memaki dirinya sendiri. “Nah… aaaa…” Mark mulai siap menyuapi Lin-lin kembali.

Lin-lin melahap bubur dengan topping sayur-sayuran buatan Mark. Mark membuat bubur itu dengan bahan dapur sederhana miliknya. Ia berharap Lin-lin tidak sakit perut karena memakannya.

“Hhh… apa kau adikku?” Gumam Mark lagi. Ia tau Lin-lin tidak mungkin menjawabnya. “Aigoo, mengapa penulis itu tidak menulis tentang anak ini sama sekali, kalau orang tuanya mencari, bagaimana?”

“Aaa…” Lin-lin membuka mulut lagi nan menunjuk bagian dalam mulutnya.

Mark tersenyum gemas melihat Lin-lin.

“Lagipula, mengapa dia hanya bisa mengucapkan namanya? Bukankah seharusnya anak seumur dia sudah bisa bicara?” Pikir Mark dalam hati.

----------+++++++++--------

Mark mengamati lingkungan luar rumahnya. Ia tinggal bersebelahan dengan tetangganya yang ramah dan tidak henti menyapanya saat melewati rumah kecil Mark. Anak-anak yang tinggal di sekitar rumah Mark juga terlihat sedang berlarian dan tertawa riang.

Mark melihat anak-anak bermain dengan pedang kayu, meski terlihat bermain, anak-anak itu juga sekaligus berlatih perang dengan pedang mainan tersebut.

“Ah! Senjata!” Seru Mark dalam hati. Ia ingat bahwa ia harus membeli senjata untuk berperang. Ia pun bergegas masuk ke rumah.

Mark melihat kedua tangannya sendiri. “Apakah aku… akan benar-benar bisa melawan naga?”

“HUEEE!!”

Mark dikejutkan dengan suara Lin-lin yang menangis dan muncul di pintu depan.

“Tuanku!” Tiga anak kecil yang mengikuti Lin-lin ikut bergerombol masuk.

Lin-lin dengan segera menghampiri Mark dan menangis di hadapannya.

“Mwoya? Ada apa?” Tanya Mark bagai seorang kakak.

“Ma..maafkan kami, tuanku,” jawab seorang bocah lelaki setelah kedua temannya menyenggol lengannya. “Lin… Lin-lin tidak sengaja terpukul pedang kami…” Lanjut anak itu sambil memegang kepalanya.

Mark yang mendapat sinyal langsung mengelus kepala Lin-lin dan menenangkannya.

“Maafkan kami,” mereka menunduk hormat.

“Untung tidak pakai bedang besi..”

“Hush,”

Mark mendengar bisikan anak-anak itu. “Kalian…” Mark menatap si pembicara sambil mengeryitkan dahi. Ia kini menggendong Lin-lin yang sudah mulai tenang.

“Ma..maafkan saya!” Seru salah satu anak kecil sambil menutup mulutnya.

Mark menggeleng kepalanya cepat. “Kalian punya pedang besi?” Tanyanya.

“Ne?”

“A..ayah nya punya, tuanku!” tunjuk salah satu anak kepada temannya yang berdiri di tengah.

“Ne… ayah saya punya. Dia juga mantan prajurit istana, seperti tuanku,” Jawabnya. “Saat keluar dari istana, ayah membawa sebuah pedang besi panjang yang kokoh,”

Mark mengelus dagunya. “Tapi.. kenapa di rumah ini tidak ada pedang, ya?” Mark berbicara sendiri sambil menatap seluruh penjuru rumah. “Apa aku lupa bawa?” pikirnya sendiri.

“Tuanku bisa beli pada seorang penjual pedang di pinggir desa,” usul sang anak kecil.

“Hya, tapi kau bilang dia jahat,” timpal temannya.

“Tapi kata ayah, pedangnya bagus!”

“Jahat?” Tanya Mark setelah mendengar percakapan sang bocah-bocah.

“Ah, anu..paman pembuat pedang itu membuat pedang khusus untuk pasukan istana. Istana tentu membayar mahal untuk membelinya. Oleh karena itu, si paman pembuat pedang menjadi sangat pelit dan pilih-pilih. Ia hanya menjual kepada kalangan tertentu,” jelas si anak mantan prajurit istana.

Mark sedikit tertawa mendengarnya. “Benarkah?”

“Ah! Ayah saya pernah akan membelinya!” Seru salah satu anak kecil sambil menjentikkan jari. “Karena kami tidak punya cukup koin, ayah membawa hasil panen gandum kami untuk ditukar, tapi paman itu malah menolaknya. Saat itu ia hanya menerima hasil ternak,”

“Aigoo…” Mark menggeleng kepalanya pelan diikuti Lin-lin yang juga menggelengkan kepalanya.

“Tuanku coba saja. Tuanku ‘kan anggota istana. Walau… tidak lagi…”

---------------++++++++------------

Mark akhirnya tiba di pinggir kota. Rumah-tumah tampak berjejer berdampingan dengan sungai yang mengalir. Mark menatap salah satu rumah dengan cerobong asap yang mengeluarkan asap hitam. Karena sang penulis sudah menulis bagian awal cerita ini, Mark dengan mudah dapat menemukan rumah sang pembuat pedang yang tak jauh dari rumahnya.

Pintu rumah itu terbuka lebar. Mark yang datang dengan menggandeng Lin-lin berjalan pelan dan masuk.

“Omo!”

CRINGGG….

Seru sang penghuni rumah diiringi koin-koin yang jatuh berhamburan dilantai. Ia kaget melihat pengunjung yang tiba-tiba masuk ke rumahnya tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.

“HYA!” Mark menunjuk seseorang yang tadi sedang duduk santai dan kemudian berdiri kaget.

“MARK HYUNG?!”

“JENO HYA!”

Mark dan Jeno saling menunjuk satu sama lain. Jeno sedikit menghentak-hentakkan kakinya. Ia kini siap memeluk Mark dengan erat.

“Uwaaa! Siapa ini!” Teriak Jeno kaget saat ia melihat ada anak kecil berdiri diantara kaki mereka.

“Ini…”

“Anakmu?!”

“Bukan! Ini Li..”

“Hyung sudah menikah?!”

“Hya!!”

------------+++++++-------------

Jeno tertawa kecil mendengar kisah yang Mark perankan, ia menatap mata bingung Mark yang antusias menceritakan awal mula ia datang, lalu bertemu Josung Saja, serta merawat anak kecil yang sama sekali tidak ia kenal.

“Hahaha. Benarkah?”

“Mm!” Angguk Mark. “Bahkan kau terkenal pelit di lingkungan ku,”

“Mwoya… mengapa mereka seenaknya membicarakanku,” ucap Jeno tidak terima. “Tapi hyung, kalau si pembuat pedang ini biasa dibayar mahal oleh istana, bukankan sudah sewajarnya ia menjual mahal pedang-pedang miliknya? Itu tandanya pedang nya memang berkelas!” Jelas Jeno mencoba mengklarifikasi mengenai karakter yang ia perankan.

Mark menggeleng tak percaya, “Ckckckc…. Peran ini memang cocok untukmu,”

“Hehe,” Jeno meringis usil. “pantas saja aku punya banyak koin-koin. Ternyata itu uang,” tunjuk Jeno pada koin-koin yang kini menjadi bahan bermain Lin-lin.

“Aku tidak tahu harga pedang mu berapa, tapi aku membawa ini,” Mark meletakkan bungkusan kain yang dari tadi ia bawa.

Jeno dengan sigap membukanya.

“Aku tidak punya koin, itu adalah sayur-sayur di belakang rumah,”

Jeno mengangkat dan mengamati barang bawaan Mark. “Hyung… ini sih hanya rumput liar! Ahahaha!” Jeno tertawa keras melihat tingkah konyol Mark.

“Eh?” Mark kemudian mengacak acak dedaunan yang sudah tercecer di atas meja. “Bu..bukan sayur, ya?” Tanyanya pelan.

“Ckckck!”

“Hya. Lagipula kau ‘kan ikut berperang denganku melawan naga! Semua uangmu tidak akan kau butuhkan!” Mark mencoba merayu Jeno agar memberikan senjata terbaiknya.

Jeno terdiam dan membuka matanya lebar-lebar. Ia menunjuk dirinya sendiri seakan baru mendengar kalimat yang diucapkan Mark.

“Wae? Mengapa kau tidak tahu? Kita ber-tujuh adalah tokoh utama yang harus melawan raja,”

“Bukan. Aku hanya menjual pedang,”

“Hya babo. Kau tidak menyimak perkataan Josung Saja, ya?”

“Kalau kita mati terbunuh, bagaimana?” Sela Jeno cepat. “Hyung, kita bisa saja mati disini,”

“Aku yakin kau bisa berpedang,” ucap Mark. “Selama tiba disini kau bilang kau sudah membuat beberapa pedang dan pisau kecil, berarti sang penulis sudah menentukan keahlianmu. Aku yakin kau juga sudah ‘dilengkapi’ dengan keahlian berpedang,”

“Be..benarkah?” Jeno semakin terlihat polos. Ia tidak menyangka ia akan mendapat salah satu peran penting. “Tapi hyung….” Jeno bersuara pelan sambil mencondongkan badannya ke meja dan menatap Mark yang duduk di depannya. “Aku harus menjual pedang ini pada pangeran,”

“Mwo?”

“I..itu yang dikatakan Josung Saja padaku!” Lanjutnya. “Aku mau saja memberikan pedang terbaikku padamu, tapi…” Jeno melanjutkan kalimatnya dengan mengangkat bahu.

“Ckckck.. dari sekian banyak penjelasan, hanya itu yang kau ingat,” gumam Mark. “Yasudah, beri aku yang mana saja,”

Jeno bertepuk tangan pelan dan mulai menatap pedang-pedang di dinding, “Tunggu,” Ucapnya. Ia lalu membalikkan badan dan kembali menatap Mark. “Kalau pangeran juga harus melawan penyihir dan naga, mungkinkah pangeran itu….”

“Teman kita?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!