Nara tampak telah siap dengan dress berwarna coklat muda, formal namun tampak menawan. Ia memaksakan agar matanya terbuka, latihan pidato yang di berikan Irene sungguh sangat sulit baginya hingga ia tak bisa tidur nyenyak.
Nara keluar dari kamarnya, ia melihat pintu kamar Ammar yang sedikit terbuka. Ia pun menyelinapkan pandangan untuk mengetahui apakah Ammar sudah bersiap. Ternyata di dalam sana Ammar tengah meminta tolong Irene untuk memasangkan dasinya.
"Pasangkan dasi ku." pinta Ammar, ia memang tak pernah pandai memakai dasi sendiri walaupun Irene sudah mengajarinya beribu kali.
Dengan tatapan malas, Irene memutar matanya. Ia mendekati Ammar, namun tiba-tiba matanya tertuju kepada Nara yang sedang memperhatikan mereka dari lantai satu.
"Kau lupa sudah punya istri? Kenapa masih menyuruhku?" cela Irene, ia membuka pintu kamar kemudian keluar tanpa membantu Ammar.
"Irene..!" panggil Ammar, namun Irene tak membalikkan badannya dan terus melenggang.
Ammar pun turun sembari menenteng dasi nya, ia menyusul langkah jenjang Irene yang mengabaikannya.
"Kau bisa memasang dasi?" tanya Irene pada Nara yang sedari tadi memperhatikan mereka.
"bi..bisa." sahut Nara ragu, tidak mungkin Ammar bersedia jika ia yang memasang dasinya kan?
"Pasangkan untuknya. Aku akan pergi lebih dulu untuk memeriksa persiapan acara nanti." Irene beranjak, meninggalkan senyum tipis yang tersirat. Ia memang selalu memeriksa semuanya sendiri, mengandalkan orang lain tidak ada dalam kamusnya.
Dari jarak satu meter, Ammar melemparkan dasinya kepada Nara. Gelagapan Nara menangkap dasi itu, kemudian ia menghela nafas saat mendapatkannya.
Tanpa bertanya, Nara maju perlahan mendekati Ammar yang membuang muka.
"Menunduk.." bisik Nara, ia tak bisa menjangkau leher Ammar karena tinggi badannya.
Raut angkuh tampak sangat jelas di wajah Ammar. Meskipun hanya untuk memasang dasi, Ammar tak sudi menunduk kepada orang asing seperti Nara.
"Kau menyuruhku menunduk padamu?" ketus Ammar, tentu saja itu membuat batin Nara kesal.
"Saya tidak setinggi Irene," belum selesai ia berbicara, Ammar sudah berdiri di depan sofa agar Nara naik kesana. jadi ia tak perlu menunduk pada Nara.
"Naiklah." titah Ammar.
Sambil menggerutu, Nara hanya bisa menurut. "ingin sekali ku ikat lehernya sampai tercekik!" umpatnya menahan emosi.
Perlahan Nara melingkarkan tangannya ke leher Ammar, menjalin simpulan dasi yang dulu ia pernah pelajari sewaktu SMA. Namun memasang dasi untuk sekolah dan untuk acara besar seperti ini sungguh dua hal yang berbeda, tangan Nara sampai tak bisa berhenti bergetar. Apalagi saat ia mau tak mau harus menatap lekat garis leher Ammar, rasa gugupnya semakin menjadi.
Bibir Nara saling mengatup, membuat lesung pipi nya menyembul di sana. Wajahnya pun memerah saat ia sadar sudah dua kali mengulagi simpulan dasi namun tak kunjung selesai, ia sungguh bingung kenapa tiba-tiba bisa lupa langkah-langkah dasar memasang dasi.
Saat ia tengah ketar-ketir karena telah membuang waktu, tiba-tiba Ammar menggerakkan tangan dan menempelkan ibu jarinya tepat di lesung pipi yang sedari tadi mengusik penglihatannya.
Jemari Nara yang tengah sibuk seketika terhenti. Detak jantungnya pun memberontak hingga menimbulkan debaran tak menentu.
Nara memberanikan diri menaikkan pandangannya. Ia mengawali dengan memperhatikan lengan Ammar dan berlanjut menyusuri hingga ke wajah.
"Apa yang Anda lakukan?" Nara mencekam, ia merasa Ammar seperti melewati batas.
Ammar tak bereaksi, ia menatap tajam Nara kemudian mengangkat ibu jarinya. "Aku tak suka melihat nya." tukasnya. ternyata ia menempelkan plaster luka di lesung pipi Nara, berwarna senada dengan kulit.
Mendengar itu Nara hanya bisa mendengus kesal, apa yang salah dengan lesung pipi itu? beberapa orang bahkan menginginkannya. Kenapa Ammar malah sangat anti melihat itu.
"Sudah.." ucap Nara, ia turun dari sofa kemudian beranjak lebih dulu menuju mobil. Ammar pula meminta agar mereka memakai mobil yang berbeda.
"Hei tunggu! bukankah ini terlalu erat?" seru Ammar menggema.
Nara berbalik, tersenyum kecil kemudian melempar tatapan sinis "Memang begitu caraku memasang dasi." ia terkekeh dalam hatinya. Tak memperdulikan Ammar yang berusaha melonggarkan dasi itu.
Mobil yang membawa Nara pun melenggang, meninggalkan ia yang merasa sesak dengan ikatan dileher. "Awas Kau tikus licik!" rutuknya dengan wajah dan tatapan jengah.
...~...
Seluruh petinggi GT grup sudah berkumpul di kursinya masing-masing. Di barisan belakang terdapat pula para wartawan yang meliput pelantikanya. Sudah lama masyarakat merindukan kebijakan GT grup yang sangat berpengaruh bagi perekonomian mereka, uang pensiun, jaminan kesehatan, serta jaminan pendidikan bagi para anak yang orang tua nya bekerja di sana.
Para anggota yang sudah lama menantikan pelantikan ini tampak berseri-seri, mereka tak sabar menantikan masa emas yang dulu pernah di janjikam Pimpinan Erland. Beliau pernah mengatakan, apa yang di lakukan Ammar akan sama dengan apa yang ia tetapkan di perusahaan.
Sejak Damar menjabat sebagai Direktur Utama, ia merubah segala kebijakan yang di buat oleh Pimpinan Erland. Tentu itu berdampak negatif bagi para Anggota maupun Karyawan. Maka dari itu mereka sangat menantikan kursi Pimpinan menjadi milik Ammar.
Lain hal dengan Damar dan antek-anteknya, ia terlihat masam dengan senyum pahit di lontarkan. Bertahun-tahun ia berusaha menguasai GT grup, apalagi saat mendengar Ammar memiliki trauma dan tak mau menjalin hubungan. Membuatnya semakin berpikir ia akan menang, namun siapa sangka Irene dan Ammar membalikkan keadaan di detik terakhir perjuangannya.
"Saya Ammar Dawson, berjanji akan mengembalikan semua kebijakan yang telah di buat oleh mendiang Pimpinan Erland dan Denias. Mulai hari ini, Saya akan memimpin langsung baik itu Induk, maupun anak perusahaan yang berada di naungan GT grup!"
Lampu kilat terus menangkap dan merekam Ammar di atas podium. Di sisi kanannya ada Irene yang menerima haknya sebagai wakil Pimpinan. Dan di sisi kiri ada Nara yang mendampingi Ammar sebagai istrinya.
Setelah sesi pelantikan, Para wartawanpun melakukan sesi tanya jawab mewakili masyarakat. "Apa kebijakan yang selama ini mencekik karyawan dan para pensiunan akan di hilangkan sepenuhnya?"
"Semua kebijakan yang dulu pernah di buat oleh Pimpinan Erland akan berlaku lagi mulai detik ini." sahut Ammar tegas.
"Lalu soal pendidikan anak? terutama mereka para orang tua yang meninggal saat memiliki ikatan kerja?" tanya wartawan itu lagi.
"Kami akan mendukung anak mereka hingga ke jenjang yang tertinggi. Terutama bagi mereka yang memiliki uang jaminan kesehatan, Kami akan menyerahkan uang itu dan menambahnya dua kali lipat kepada ahli waris." Ammar pula menjabarkan bagaimana mereka akan menyikapi dana pensiun yang selama beberapa tahun ini di lenyap kan.
"Ada rumor bahwa pernikahan Anda hanya pura-pura agar bisa duduk di kursi Pimpinan. apakah itu benar?"
Seketika suasana menjadi hening, wajah Ammar tampak berubah di bawah sorot lampu. Ia memperhatikan wajah Damar, satu-satunya orang yang pasti mengatur pertanyaan itu.
"Apakah masyarakat perduli akan hal itu? Tanpa menikah pun mereka pasti menginginkan semua kebijakan itu kembali. Bukan hanya Saya yang ingin mengambil keuntungan, melainkan kita semua."
"Jika itu benar, bukankah artinya Anda membohongi para petinggi? Semua orang tau Pimpinan membuat surat wasiat agar Perusahaan di serahkan kepada Anaknya apabila mereka sudah menikah. Bahkan Kita semua tau mendiang Pimpinan akan membagi rata sahamnya kepada petinggi apabila Anda tak mengambil langkah tahun ini."
"Siapa yang masih menginginkan saham Pimpinan Erland? Saya akan memberikannya tapi kalian harus meninggalkan perusahaan." tegas Ammar, ia tau betul wartawan itu hendak menjebaknya.
Para petinggi tak bergeming, mereka malah ingin kembali membangun kesejahteraan para pekerja lewat kekuasaan Ammar.
Ammar pun tersenyum kecil di hadapan para wartawan, ia mengucapkan kalimat penutup kemudian mempersilahkan Nara memberi kata sambutan sebagai istri Pimpinan.
"Saya harap Anda yang hadir dan menyaksikan acara ini mendukung penuh suami Saya untuk mengembalikan kesejahteraan..." gugup? tentu saja, ia merasa sedang berdiri di tengah medan perang.
"Berita tentang Anda menyebar luas belum lama ini. Apakah kalian semua merencanakan hanya untuk menarik simpati publik?" lagi-lagi wartawan bertopi hitam itu melempar pertanyaan yang memojokkan.
"Simpati? siapa yang menginginkan simpati dengan cara seperti itu? Alih-alih pembunuhan, bukankah lebih baik Kami membangun seribu yayasan untuk menarik simpati masyarakat?"
"Lalu siapa yang menjebak Anda? apakah mungkin itu orang yang ingin menjatuhkan Pak Ammar?" tanya wartawan yang lain.
"Entahlah.. yang pasti Saya akan segera menemukan pelaku nya."
Nara benar-benar ingin pulang saat ini, seluruh pertanyaan wartawan terlalu menjurus dan tak bisa di jelaskan olehnya.
Entah mereka ingin mempermalukan dirinya, atau mereka memang ingin menjatuhkannya. Semua terasa memojokkan dirinya pada masa kelam itu.
...**********...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
dina firara
hemmmmm.
bu mina ,,
korek api 3berlian
3 tusukan pisau
lesung pipi
wah wah wah...
2022-12-05
1
Mis moon
es kepal milo dia mah🤣
2022-10-21
1
NayaRaa Chika
karna lesung pipi kamu bisa jatuh cinta sama Nara yaa Babang es balok
2022-10-21
1