Hari yang mendebarkan pun tiba, Nara termenung sementara Perias menata rambutnya. Ia tertunduk sambil terus menggaruk ujung kuku, tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehidupannya yang dulu ia lewati dengan pertengkaran kini berubah 180 derajat.
Dalam 7 hari Nara merasakan badai besar seolah ini sebuah pintu menuju ambang kematian. Ia kehilangan Neneknya, di tahan atas tuduhan pembunuhan, di cecar seluruh masyarakat. Kemudian hari ini, ia menikahi seseorang yang sama sekali tak pernah ia lihat seumur hidupnya.
Entah ini keputusan yang tepat atau bukan. Nara yang tadinya hidup sengsara di bawah tekanan Neneknya, kini menuju ke kehidupan antah berantah sebab kematian Nenek nya pula.
"Nara, acara segera di mulai." Irene masuk sambil membawakan Nara kalung berlian.
"Anggap saja ini hadiah kecil dari ku." bisik nya. wajah elegan Irene terlihat sangat menonjol hari ini, riasan bold dan gaun merah tua menambah kesan hangat yang memancarkan kemewahan.
Nara hanya tersenyum saat Irene memakaikan kalung itu, hadiah kecil katanya. Padahal itu setara dengan 1 mobil mewah.
Irene mendampingi Nara, mereka keluar menuju altar pernikahan. Sepanjang langkahnya, wajah Nara terus tertunduk. Ia merasa sangat asing. Sendiri di tengah-tengah kerumunan orang-orang terpandang, seperti sedang berdiri di panggung pertunjukan.
Sampai lah ia di hadapan Pria yang akan menikahinya. Gugup dan takut, ia menyimak dengan seksama janji pernikahan yang di ucapkan Ammar dengan amat lantang.
Setelah Ammar selesai dengan janjinya, Nara pun mengucapkan janji yang tertulis di atas buku pernikahan mereka. Suaranya terdengar bergetar, di balik tudung berwarna putih nan berlapis menutupi wajahnya nafas Nara terdengar sangat laju.
Di hadapan Tuhan, di saksikan para tamu undangan. Resmi lah mereka berdua menjadi sepasang suami istri. Suami istri yang sah di mata Hukum dan Agama.
Di iringi tepuk tangan para tamu, Ammar meraih selendang di kepala Nara dan menyingkapkannya ke belakang. Wajah Nara masih tertunduk, ia tak berani menatap wajah Pria yang kini menjadi suaminya itu.
"Tatap wajahku." bisik Ammar, perlahan Nara mengangkat wajah dan pandangannya.
Garis rahang yang tegas, tatapan dingin namun tajam serta tubuh tingginya yang gagah membuat Nara terlihat sangat kecil di hadapan Pria itu.
Ammar tersenyum, senyum yang amat dingin dan kaku. "Senyum lah, Kau harus membuat pernikahan ini tampak nyata." tegas Ammar berbisik.
Barulah Nara tersenyum, ia berusaha membuka senyum selebar mungkin walau bibirnya bergetar takut. Mendengar suaranya saja benar-benar membuat Nara merinding.
Lesung pipi nya menyembul di balik senyum palsu itu. Mata mereka saling bertatapan seolah sedang merayakan kebahagiaan.
Satu persatu tamu mereka pun menyalami, memberikan ucapan selamat, serta mendoakan agar pernikahan mereka abadi di dunia dan di surga.
Seseorang yang di bicarakan Irene kemarin pun menghampiri pasangan pengantin baru itu. Dia adalah Damar, Pria paruh baya yang akan menjabat sebagai Pimpinan GT grup.
"Begitu Aku mencalonkan diri, Kau langsung menikah. Apakah pernikahan ini untuk merebut posisi itu hahahahah.." Damar melontarkan candaan yang sengaja ia jadikan sindiran.
Irene pun menghampiri mereka "Jaga ucapan Anda, jangan merusak acara pernikahan Ammar!" ketus Irene tak senang.
"Tenanglah, Aku hanya bercanda." Damar melemparkan tawa sambil menengguk minumannya.
"Kalian bahkan tidak saling mencintai, ck..ck.. Aku penasaran berapa banyak mereka membayar mu hingga Kau mau di nikahi olehnya." ia mencecar Nara dengan tatapan piciknya.
Nara yang terbawa suasana jengkel pun menyahuti Pria tua itu "Aku lebih penasaran, berapa banyak yang Anda inginkan hingga ingin merebut kursi Pimpinan."
Tawa Damar langsung pudar, tatapan piciknya berubah menjadi jengah.
Irene pun menjadi panik, ia lupa memberitahu Nara agar tidak asal bicara terutama bila di dekat Ammar.
"Tentu Aku membayarnya sangat banyak, Karena istri ku bukan wanita murahan." tukas Ammar mengimbuhkan, ia melingkarkan tangannya di pinggang Nara agar Damar semakin terpojok.
Nara hampir tak bisa bernafas saat itu, selama ini ia bahkan marah jika ada Pria yang memandanginya. Namun sekarang, ia malah harus membiarkan Pria asing itu menyentuh tubuhnya.
Irene sedikit lega mendengar itu, namun ia mengkhawatirkan Nara yang pasti akan di marahi oleh Ammar.
"Jangan menyentuhku.." bisik Nara.
Ammar mendengarnya, namun ia harus berpura-pura agar pernikahan itu terlihat indah dan nyata.
"Rileks..." bisik Irene dari kejauhan. Ia ingin Nara melepaskan nafasnya dan tersenyum dengan tenang.
Nara pula mengangguk, ia perlahan mengatur nafasnya. Wajahnya bahkan berusaha menghindar dari dada bidang Ammar. Sepanjang acara, ia terus mengepalkan jemarinya.
Sementara Ammar terus menyebarkan senyum palsu nya, menyambut para kolega dan teman dekat mendiang Papanya. Ia pun sungguh tersiksa, berdiri di sebelah orang asing, bertemu banyak orang dan melihat keramaian. ingin rasanya ia segera mengakhiri hari ini.
Setelah acara pernikahan mereka selesai, tanpa menyapa dan melihat istrinya Ammar langsung pulang ke rumah. Nara tak perduli soal itu, ia hanya memikirkan bagaimana caranya beradaptasi dengan kehidupan mereka nanti?
...~...
Keesokan harinya dari penthouse Nara di jemput seorang supir untuk mengambil barangnya di rumah Nenek. Irene tak ikut kali ini, ia sedang menyiapkan seluruh kamar di rumahnya. Nantinya ia akan menyuruh Nara memilih tidur di kamar mana saja, itu sebabnya ia bersiap.
Deburan ombak pesisir seolah menyambut kedatangan Nara. Baru beberapa hari ia tak menghirup udara disana, rasanya sangat tenang bisa menghirup udara itu lagi.
Bu Mina, tetangga dekat yang membuka warung nasi langsung berdiri melihat Nara turun dari mobil mewah. Ia tampak terharu dengan nasib anak itu. Entah apa yang akan terjadi padanya yang sebatang kara itu.
"Nara... Aku lega Hakim mencabut tuntutannya, Kau baik-baik saja kan?" ia menatap nanar wajah gadis itu.
"Aku baik-baik saja Bu, terimakasih sudah menjadi salah satu orang yang mempercayaiku."
"Tidak Nara, jangan berterimakasih. Aku justru harus meminta maaf padamu atas kesaksian yang ku berikan hari itu." Mina tampak menyesal, ia tidak tau jika satu kata saja yang ia ucapkan sebagai saksi maka satu fakta pula yang terungkap.
Saat hari kejadian Polisi mengintrogasi Bu Mina. Polisi bertanya apakah selama ini Nara dan Neneknya terlibat pertengkaran? Bu Mina yang tak tau apa-apa menjelaskan apa yang selalu ia dengar. Ia mengatakan kalau Nara sering mengumpat Nenek nya agar lebih cepat mati. Itu lah titik yang membuat motif Nara semakin kuat di mata Polisi.
"Tidak apa-apa Bu, semua sudah terjadi. Aku baik-baik saja sekarang. Jadi jangan khawatir." senyum Nara terkembang, ia tulus memaafkan Bu Mina.
Setelah beberapa menit bercengkrama dengan Bu Mina, Nara memasuki rumah Neneknya. Udara langsung terasa berbeda, terulang kembali semua kegaduhan ia dan Neneknya. Kini rumah itu akan sepi, seluruh kenangan yang ia miliki tertinggal di rumah itu.
Dengan tatapan berkaca, Nara mengamati seluruh sudut rumah. Terutama titik dimana sang Nenek tergeletak bersimbah darah. Ia berharap ada petunjuk yang tertinggal, andai saja ia pulang lebih awal saat itu. Pasti semua ini tidak akan terjadi.
...*****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
🌺awan's wife🌺
lanjut terusssss
2022-10-15
1