Pukul 02:00 pagi...
Rumah sakit tempat Nara bekerja tidak jauh dari rumahnya. Hanya berjarak 30 menit menggunakan Bus.
Gelap dan sunyi sudah biasa Nara lewati saat pulang berjaga malam. rumahnya yang memasuki gang kecil membuat dia harus berjalan kaki untuk sampai ke depan rumah.
Sesampainya di rumah, Nara membuka pintu menggunakan kunci cadangan. Nara langsung menuju ke dapur untuk mengambil air minum.
Ia meraba sekeliling yang gelap gulita karena lampu di matikan. Langkahnya terhenti saat ujung kakinya menyenggol sesuatu. Ia menunduk dan mengambil benda itu, lalu mengangkatnya.
"Pisau? Nenek memang ceroboh..!" rutuknya kemudian membuka pintu kulkas. Lampu kuning dari dalam kulkas membuat penglihatannya sedikit jelas. Dan ia sangat terkejut saat melihat pisau yang di pegang nya berlumuran darah.
Rasa dahaga yang tadi membeludak sontak terganti menjadi rasa takut. Tangannya gemetaran, ia meraih saklar lampu di atas kulkas dan dalam sekejap dapur itu menjadi terang.
"Mungkin saja nenek habis memotong ikan dan lupa membersihkan pisaunya.." lirihnya menenangkan diri, walau di pikirannya sudah banyak hal negatif.
Ia menggerakkan pelan kepalanya, lalu seketika nyawanya hampir hilang saat melihat Nenek tergeletak bersimbah darah di dekat pintu kamar mandi.
"Nenek...!" teriak Nara, pisau ia campakkan dan langsung memeriksa denyut nadi di leher Nenek.
"Tidak mungkin..." ia terduduk lemas, seluruh tubuhnya bergetar ketakutan saat mengetahui denyut nadi Nenek tidak ada.
Dengan tangan bersimbah darah, Nara menelpon Ambulance dari tempatnya bekerja. Setengah kesadarannya hampir hilang saat itu, takdir buruk apalagi yang menghampirinya kali ini?
15 menit kemudian...
Ambulance dan Dokter tiba bersamaan dengan Petugas Kepolisian. Mereka langsung menyegel rumah itu hingga membuat para tetangga penasaran.
Polisi dan tim forensik memeriksa semua benda yang terkait. Bercak darah, Pisau dan baju Nenek di amankan oleh Polisi.
Nara meringkuk di dekat jenazah sang Nenek, Dokter menyatakan bahwa Nenek nya sudah meninggal dunia. Sungguh miris, di tengah duka dan ketakutan ia malah di jadikan tersangka utama. Kedua tangannya di borgol dan dia harus ikut ke kantor polisi untuk di selidiki.
"Nenek...." tangisnya terisak, ia bahkan belum sempat meminta maaf atas ucapannya kemarin.
"Aku berharap Nenek mati agar Aku bisa hidup dengan tenang!" kalimat itu terus terulang di kepalanya. Sungguh ia sangat menyesal telah mengatakan itu.
Selama ini ia selalu berdoa agar hubungannya dan Nenek bisa seperti keluarga pada umumnya. Mengobrol, bercanda, dan tertawa bersama. Ia selalu meminta itu kepada Tuhan, tapi tak pernah di kabulkan.
Lalu kenapa Tuhan mengabulkan perkataan terkutuk itu? Jika memang Tuhan berencana mengambil nyawa Nenek, kenapa harus dengan cara seperti ini?
Lelucon macam apa ini? Ucapan sampahnya terkabul dan dia terseret ke dalam lembah hitam. Sungguh, jika ia bisa memilih lebih baik hidup sebagai anjing jalanan dari pada hidup dengan semua penderitaan ini.
...~...
Di ruang interogasi, Nara berhadapan dengan Detektif dan Kepala Polisi. Masih dengan darah di sekujur tangannya, Nara hanya bisa tertunduk dan terus menangis.
"Anda berhak menolak untuk bersaksi, Anda juga berhak di dampingi pengacara dan jika Anda tidak bisa mencari pengacara, Kami akan menunjuk pengacara untuk membantu." ucap Detektif berwajah garang itu.
"Aku tidak punya siapapun... Aku tidak melakukannya... Aku tidak membunuh Nenek." isak nya parau, ia benar-benar berharap ini hanya bagian dari mimpi buruk.
Melihat tangis dan keluguan Nara, Mereka juga kasihan. Namun siapa yang tau jika Nara sengaja bersandiwara agar identitasnya sebagai pembunuh berantai tidak terungkap.
"Baiklah Nona Nara, Apa Kau tau di tubuh Nenekmu terdapat tiga tusukan sejajar."
"Nenek pasti di bunuh oleh Psikopat itu, Bukan Aku yang melakukannya.." lirih Nara memelas, kedua pergelangan tangannya masih bergetar di kungkungan borgol.
"Bukankah Anda mengatakan membuka pintu dengan kunci cadangan? itu berarti sampai Anda tiba pintu masih terkunci kan? Kami tidak menemukan kerusakan di pintu ataupun jendela, tidak ada DNA orang lain di sana dan di pisau itu jelas sekali hanya ada sidik jari Anda."
"Aku memang memegang pisau itu, tapi Aku mengambilnya karena keadaan gelap, dan Kakiku tidak sengaja menyenggol pisau itu."
"Apa ada bukti? rekaman atau saksi yang bisa membenarkan ucapan Anda?"
Nara menggeleng, di rumah tua itu, jangankan CCTV. Memiliki kulkas saja ia harus bekerja keras selama tiga bulan. Saksi apalagi, Nara benar-benar terpojok oleh keadaan, ia tidak memiliki alibi ataupun pembelaan karena Dokter forensik mengatakan waktu kematian Nenek persis di jam 02:50 dimana Nara sudah tiba di rumah selama 20 menit. Waktu yang sangat cukup untuk menghabisi nyawa wanita tua yang tak berdaya.
...~...
Nara sudah tampak mengenakan baju tahanan, ia hanya tinggal menunggu persidangan yang akan membawa hidupnya ke surga, atau neraka. Jika di lihat dari situasinya, sepertinya Nara akan mendapat hukuman seumur hidup, atau hukuman mati. Mengingat fakta bahwa dia pembunuh berantai tak dapat di sangkal dengan kurangnya bukti.
"Tahanan 2151, Anda memiliki pengunjung." Polisi membuka sel tahanan dan meminta Nara keluar.
Nara bangkit dengan rasa penasaran, ia tidak punya siapa-siapa lagi sekarang. Lalu siapa orang yang mengunjungi seorang pembunuh? pastilah ia punya alasan khusus.
Di ruang kunjungan Nara terheran, ia duduk sambil terus memandangi wanita cantik dan berpenampilan elegan itu.
"Anda siapa?" tanya Nara ragu. Ia sama sekali tak pernah bertemu dengan wanita itu.
Wanita itu membuka kacamata hitamnya, kemudian tersenyum kepada Nara. "Saya Irene, usia Saya 35 tahun...."
"Apakah kita saling mengenal?" potong Nara.
"Tidak, maka itu Saya memperkenalkan diri." ujar Irene, wajah tegas serta tatapannya yang legam menunjukkan bahwa dia bukan wanita biasa.
"Apa Anda pengacara Saya?" Nara baru ingat, hari ini ia akan bertemu dengan pengacaranya. Mungkin saja itu Irene.
"Bukan, Saya kesini untuk membantumu bebas dari tuduhan pembunuhan."
Nara tercekat, bahkan polisi tidak bisa membantunya karena bukti kuat pembunuhan mengarah padanya, lalu kenapa orang asing ini bilang akan membantunya?
"Dari mana Anda tau kalau Saya bukan pelakunya?"
Irene tersenyum kecil, bibir merah terang nan tipis itu seolah menertawakan kebodohan Nara. "Pembunuh pasti akan merasa puas setelah melenyapkan tergetnya, sedangkan Kau? wajahmu penuh dengan ketakutan, kesedihan. Melihat mu hanya bisa tertunduk saat di sorot wartawan membuatku yakin Kau bukan pelakunya."
"Aku akan membebaskan mu..." imbuhnya, Nara seolah tak percaya mendengar itu.
"Akan sulit mengeluarkan ku dari sini, semua buktinya mengarah pada ku." Nara senang mendengar Irene akan membebaskannya, namun bagaimana caranya?
"Kau hanya perlu menjawab ku dengan jujur. Apa Kau benar-benar membunuh Nenekmu?"
"Tidak." sahut Nara yakin. Ia memberanikan diri menatap wajah cantik Irene yang sangat mengintimidasi.
"Maka percayalah padaku." senyum Irene merekah.
"Bagaimana caranya? Anda malah akan menjadi tersangka jika membantuku..."
"Tenanglah, Aku punya banyak uang. Semua akan berjalan dengan mudah jika uang yang berbicara." pungkas Irene percaya diri.
"Apa yang Anda inginkan? menjual ku?" tanya Nara tak percaya, ia tau di dunia ini tidak ada yang gratis. Jika Irene menawarkan bantuan yang begitu besar, pastilah Nara harus membayar dengan hal yang besar pula.
...************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments
Esti Restianti
ucapan adalah do'a,maka berhati"lah saat akan berucap,terutama kepada anak
2023-02-19
2
mbak i
kadang kata yang sengaja terucap,,,itu yang didengar malaikat,,,makanya kita selalu dianjurkan berkata yang baik baik😥😥nggak nyangka nenek beneran mati😥
2022-10-22
1
titissusilo
waduh,mau di apain tuh
2022-10-16
1