Setelah selesai mandi, sholat dhuhur dan makan siang. Luna menghabiskan waktunya di kamar sambil memainkan hpnya, ia mendengarkan musik pakai headset sambil baca novel dari salah satu aplikasi yang ia suka. Banyak cerita yang bisa ia baca secara gratis dan ia cukup mengandalkan kuota saja.
Sebenarnya Luna juga ingin menjadi salah satu author di aplikasi itu, hanya saja Luna masih belum siap dan ia masih harus banyak belajar dengan membaca banyak karya orang lain. Mungkin nanti, jika dia sudah siap, baru ia akan terjun menjadi author, jadi bukan hanya jadi pembaca setia saja.
Jam setengah dua, Laras mendapatkan chat dari Laras.
[Lun, aku sudah ada di depan rumah kamu nih. Jangan lupa bawa uang ya, soalnya aku lagi bokek nih wkwkwkwk]
Membaca pesan itu, membuat Luna tersenyum geli. Ia pun segera mematikan lagunya dan menutup aplikasi cerita yang ia baca. Lalu ia keluar dari kamar sambil membawa uang seratus ribuan. Ia berjalan menuju depan rumah di mana kini Laras tengah menunggunya.
Karena halamannya yang cukup luas, ia masih harus berjalan menuju gerbang dan membuka gerbang sendiri, karena di sini belum ada pak satpam. Dulu sempat ada, hanya saja dia memilih resign karena sakit yang di deritanya. Dan sejak saat itu, Ariel belum mencari pengganti Pak Dar-satpam yang resign itu.
"Maaf ya lama," ujar Luna yang melihat Laras tengah menunggu dirinya di depan rumahnya.
"Gak papa, santai aja," Laras tersenyum ke arah Luna. Melihat tampilan Luna, membuat Laras tak percaya karena kini sahabatnya itu berubah seratus depalan puluh derajat. Luna emang cantik, dengan tinggi semampai dan tubuh ideal. Namun semakin ke sini, Luna semakin cantin kulit putihnya, apalagi Luna seperti sangat terawat sekali. Luna juga memakai pakaian bermerek, yang tentunya harganya tak sebanding dengan baju yang ia pakai.
"Ayo masuk, Ras," ajak Luna yang sudah membayar taxi itu.
"Eh, I ... iya," jawab Laras gugup.
"Kamu itu kenapa sih?" tanya Luna terkekeh melihat Laras yang gugup berhadapan dengannya.
"Aku grogi aja, lihat penampilanmu sekarang. Kamu makin cantik, Lun," sahut Luna jujur.
"Kamu bisa aja, Ras. Ayo masuk, kamu pasti capek kan setelah perjalanan jauh," ujar Luna sambil menggandeng tangan Laras. Ia merasa senang akhirnya bisa bertemu dengan sahabat lamanya itu, selama ini mereka hanya bisa berkomunikasi lewat Wa aja.
"Tadi gimana perjalanannya?" tanya Luna sambil membuka pintu rumah utama. Sedangkan Laras ia merasa takjub dengan rumah yang cukup luas dan mewah ini. Bahkan sejak ia berada di depan gerbang, ia sudah merasa rendah diri melihat gerbang hitam yang menjulang tinggi, belum lagi halaman rumah yang cukup luas. Di tambah ketika ia melihat rumah itu yang sangat luas, berbeda dengan rumahnya yang ada di kampung. Dan ia merasa lebih takjub lagi saat Luna membuka pintu rumahnya.
"Hei, kenapa kok bengong. Ayo masuk," ajak Luna. Ia tau mungkin Laras merasa kagum dengan rumah miliknya. Dulu juga ia merasakan hal yang sama, tapi lama-kelamaan ia pun mulai terbiasa.
"Iya. Rumah kamu besar banget Lun. Luas dan juga mewah," puji Laras sambil melangkahkan kakinya untuk masuk.
"Ini bukan rumah aku, tapi rumah Mas Ariel, Ras."
"Tapi kan kamu menikah dengannya, Lun. Yang artinya ini rumah kamu juga, kan?" tanya Laras.
"Hehe iya juga sih. Iya sudah kamu duduk dulu ya, aku mau ke belakang dulu," sahut Luna sambil berjalan ke belakang. Ia mencari Bibi Imah dan ternyata Bibi Imah tengah rujak'an jambu bersama Bibi Neni di tamah belakang.
"Bi Imah, boleh aku minta tolong?" tanya Luna setelah berada di dekat mereka.
"Iya, Non. Mau minta tolong apa?" tanya Bibi Imah sambil menyuapi jambu yang sudah di baluri bumbu rujak.
"Sahabat saya sudah datang, Bi. Saya minta tolong buatkan jus alpukat ya, Bi. Sama kue kering atau apalah yang bisa buat camilan. Sekalian Bibi masakin yang enak ya buat sahabat saya," pinta Luna sambil menatap kedua Bibi itu yang sangat menikmati rujak nya. Andai Ariel tak tergila-gila dengan tubuh idealnya, dan tak memberikan perintah ini dan itu. Tentu ia ingin bergabung dengan Bibi Imah dan Bibi Neni untuk rujak an. Apalagi siang-siang gini, sambil mengobrol, tentu jauh lebih nikmat.
"Siap, Non. Bibi buatkan dulu ya." Dan setelah itu Bibi Imah pun segera bangkit dari tempat duduknya, ia berjalan ke arah kran dan mencuci kedua tangannya dan mengelapnya dengan kain yang sudah di sediakan di samping kran. Lalu Bibi Imah berjalan ke arah dapur untuk membuat pesanan Luna.
"Non Luna gak mau nyicipin dulu?" tanya Bibi Neni.
"Sebenarnya sih pengen, Bi. Tapi enggak deh, saya takut itu bisa membuat tubuh saya gemuk," jawab Luna terkekeh.
"Makan satu biji gak akan bikin gemuk, Non. Coba aja dulu, saya yakin Non pasti suka. Apalagi jambunya saya ambil dari kulkas dan masih dingin. Ayo coba satu dulu," desak Bibi Neni sambil menjulurukan piring yang berisi jambu yang sudah di potong kecil-kecil itu. Tentu kulitnya juga sudah di kupas dan jambunya juga sudah di cuci bersih.
Karena tak tahan godaan, akhirnya Luna menyerah. Ia mengambil satu jambu itu dan mencoleknya ke bumbu rujaknya. Bumbu yang di buat sendiri oleh Bibi Imah.
"Gimana, Non? ENak, kan?" tanya Bibi Neni sambil melihat raut wajah Luna yang sangat menikmatinya.
"Emmm ya, sangat enak Bi. Dulu sebelum nikah sama Mas Ariel. Saya juga suka rujak'an sama anak kos Bi. Hampir tiap Minggu, sayangnya semua itu sudah gak bisa di lakukan lagi," tutur Luna dengan raut wajah sedihnya.
"Padahal menurut saya gak papa Non, sesekali makan apa aja yang Non suka. Asal gak ketahuan. Lagian Non itu setiap hari olah raga jadi gak akan mudah gemuk. Enggak perlu terlalu menjadi istri penurut. Bukan maksud Bibi, mengajari Non menjadi istri durhaka. Hanya saja, Bibi gak tega Non terlalu di kekang kayak gini. Bahkan untuk makan aja, semuanya harus diatur," papar Bibi Neni. Ia gak tega melihat majikannya itu tak bisa sebebas istri orang di luar sana.
"Pengennya sih gitu, Bi. Hanya saja, saya malas bertengkar jika sampai ketahuan. Saya lebih milih menghindari pertengkaran Bi dari pada harus adu mulut. Iya sudah Bibi nikmati aja rujaknya, saya mau ke ruang tamu dulu."
"Iya, Non."
Dan setelah itu, Luna pun kembali ke ruang tamu meninggalkan Bibi Neni yang masih menikmati acara rujak annya di taman belakang.
"Maaf ya, Laras. Aku lama," ujar Luna sambil duduk di sofa yang tak jauh dari Laras.
"Gak papa, santai aja Lun. Suami kamu mana?" tanya Laras.
"Mas Ariel jam segini masih kerja, Ras. Tapi Mas Ariel titip salam buat kamu, dia minta maaf karena gak bisa menyambut kedatangan kamu, soalnya Mas Ariel ada meeting dan gak bisa di tunda ataupun di batalkan."
"Enggak papa, Kok. Aku ngerti, suami kamu pasti sibuk banget."
"Ya gitulah, kalau hari Senin sampai Sabtu, dia sibuk banget. Bahkan tak jarang pulang malam, karena harus lembur. Hanya hari Minggu, dia ada waktu buat aku."
"Ya gak papa, Lun. Yang penting kan dia setia di luar sana, dan dia benar-benar bekerja buat membahagiakan kamu. Berkat dia, kamu kan bisa seperti sekarang. Menikmati hasil jerih payah dia yang bekerja tanpa kenal waktu."
"Iya juga sih."
Saat mereka mengobrol, Bibi Imah datang membawa nampan. Ia menaruh Jus Alpukat di atas meja di depan Laras dan di depan Luna. Sedangkan kue kering dan beberapa camilan lainnya di taruh di tengah-tengah mereka.
"Makasih ya, Bi," tutur Luna lembut.
"Sama-sama, Non." Setelah itu, Bibi Imah pun pergi dari sana, karena masih harus masak. Sebenarnya tadi Bibi Imah sudah masak untuk makan siangnya, tapi sekarang ia harus masak lagi buat menyambut kedatangan Laras. Namun tak apa, Bibi Imah akan senang hati melakukannya, karena ini permintaan Luna, majikannya yang sangat baik hati. Namun sebelum masak, ia pergi menghampiri Neni dan masih sempat-sempatnya memakan beberapa jambu biji yang sudah hampir habis.
"Kamu sudah ketemu sama sahabat Non Luna?" tanya Bibi Neni sambil melihat wajah Bibi Imah.
"Ya, dia mah biasa aja. Gak ada apa-apanya di banding Non Luna. Bahkan dari segi kecantikan pun, bagai langit dan bumi."
"Syukurlah. Aku senang mendengarnya. Tapi kita harus hati-hati. Non Luna itu terlalu baik orangnya, dan akan mudah di manfaatkan oleh orang lain."
"Ya, kamu benar. Kita harus jadi pendukung Non Luna dan harus bisa membantu Non Luna apapun yang terjadi. Walaupun kata Non Luna, dia itu sahabat terbaiknya. Tapi kita kan harus tetap hati-hati dan waspada. Jangan sampai film yang sering kita tonton di Indoresmi akan menjadi kenyataan dalam kehidupan Non Luna."
"Kamu benar."
"Iya sudah, aku mau masak dulu. Kamu habisin aja jambunya, aku sudah kenyang." Dan setelah itu Bibi Imah pergi dari sana untuk memasak. Sedangkan Bibi Neni benar-benar menghabiskan jambunya yang sudah sisa dua biji itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 250 Episodes
Comments