Tania berdiri tegak di teras rumah, dia terlihat menunggu seseorang yang aku sendiri tidak tahu, sedang aku melangkah dengan pasti mendekat ke pintu rumah mewah yang berdiri kokoh di hadapanku.
"Mbak Senja!!" Tania berlari kegirangan sambil memanggil namaku, aku yang melihat Tania berlari reflek ikut berlari sambil meneriaki Tania agar dia tidak ikut berlari.
"Tania, jangan berlari!" seruku, berusaha mencegah langkah kaki Tania yang terlihat semakin lebar dan cepat, bagaimanapun Tania tidak boleh sampai jatuh, apa lagi jila dia jatuh saat bersamaku.
"Aku kangen Mbak Senja," Tanpa berteriak sambil memelukku dengan erat.
Aku yang bingung dengan sikap Tania saat ini hanya bisa terdiam tanpa kata ataupun kalimat, sungguh Tania begitu aneh di mataku, aku hanya menemaninya bermain kemarin dia jadi selengket ini padaku, sungguh bukan hal yang wajar bagiku.
"Sudah Non, lepaskan!" pintaku yang tak ingin kejadian yang saat ini terjadi di lihat oleh orang lain meminta Tania untuk melepaskan pelukan yang kini mulai sedikit merenggang.
"Mbak kenapa pulang? kenapa tidak menginap di sini saja?" tanyaku yang merasa jika ada yang melihatnya, maka bisa di pastikan bakal ada salah satu orang yang akan memusuhiku karena ini melihatnya.
"Tugas Mbak memang tidak sampai malam, kenapa Nona Tania bertanya seperti itu?" jawabku sambil melempar pertanyaan ie arah Tania yang kini tersenyum manis ke arahku.
"Harusnya Mbak Senja menginap di sini temani Tania," ujar Tania dengan rengekan manja khas anak kecil yang sering aku dengar ketika anak tetanggaku sedang menginginkan sesuatu.
"Tidak bisa Sayang, Mbak harus pulang," jawabku.
"Kenapa Mbak Senja harus pulang?" tanya Tania dengan ekspresi wajah serius menatap penuh heran ke arahku.
"Mbak Senja punya rumah sendiri Tania, karena itulah dia harus pulang ke rumahnya," sahut pria yang ku tahu berapa Tuan Raka, orang yang paling ingin aku jauhi di dunia ini.
"Issh kenapa Daddy bilang seperti itu? aku tahu Mbak Senja punya rumah tapi kenapa dia tidak menginap saja, seperti Mbak Sari?" Tania kembali bertanya, pertanyaan Tania terdengar sedikit memaksa.
"Jangan memaksa sesuatu yang tidak bisa di lakukan Tania!" kata-kata yang cukup membuat Tania diam, dia terlihat begitu takut dan penurut pada Singa lapar yang benar-benar ingin aku jauhi.
"Maaf Nona, aku permisi dulu." Pamitku yang tak ingin terus terlibat dalam perdebatan seorang ayah dan anak yang ada di hadapanku itu.
Tania hanya diam, sedang Tuan Atma menatap tajam ke arahku dan aku berjalan msuk kedalam rumah tanpa memperdulikan keduanya.
Tepat pukul empat sore sudah waktunya aku untuk kembali pulang ke rumah setelah seharian penuh bekerja dan menyiapkan segala sesuatu yang perlu disiapkan di rumah mewah ini aku berjalan keluar dengan hati yang riang.
" Sam, " gumamku, saat melihat laki-laki yang sudah menemaniku sebagai sahabat selama tiga tahun itu berada di depan gerbang dengan motor yang sama, Sam duduk manis di atas motornya yang gue tahu pasti dia sedang menungguku.
"Sore Mbak senja," sapa Pak Santo yang kini sudah hafal denganku.
"sore Pak, Apa Bapak tidak pulang?" sebenarnya sejak kemarin aku begitu penasaran karena Pak Santo selalu saja ada di pos itu, apa dia tidak pulang? atau dia memang menginap di rumah ini?
"Mau pulang ke mana Neng tahu? Ini sudah menjadi rumah bapak," jawab Pak Santo, wajahnya terlihat sendu saat mengatakan Jika pos itu adalah rumahnya.
"Apa Pak Santo tidak ingin menemui keluarga Bapak? Atau hanya berkunjung untuk memastikan keluarga Bapak masih sehat dan baik-baik saja?" aku masih saja terus bertanya berharap Pak Santo menjawab pertanyaanku, dan menghilangkan rasa penasaran yang sejak kemarin membelenggu jiwaku.
"Bapak sudah tidak punya keluarga, Neng, Bapak Sebatang Kara, semua keluarga Bapak sudah meninggal karena gempa bumi yang dulu menimpa Desa bapak. " Pak Santo menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi padanya dan keluarganya, mendengar cerita Pak Santo membuatku teenyuh Harusnya Aku tidak menanyakan sesuatu yang mungkin bisa membuat hatinya semakin sedih, atau mengungkit sesuatu yang mungkin Sudah dikubur dalam-dalam oleh Pak Santo, Sungguh Aku sangat menyesal karena telah memaksakan diri untuk bertanya tadi.
"Tidak apa-apa, Neng, Bapak sudah mengikhlaskan semuanya, "jawab Pak Santo.
"Apa Laki-laki yang ada di depan sana itu pacar Neng senja?" tanya Pak Santo Seraya menunjuk ke arah Sam yang masih setia duduk di atas jok motornya.
"Bukan Pak, dia sahabatku," jawabku.
"Dia sudah seperempat jam berada di sana Neng, Sepertinya dia sangat mengkhawatirkan dan menyayangi yang Salma," ujar Pak Santo.
"Pak Santo bisa saja," sahutku dengan senyum yang merekah di pipi.
"Kalau begitu aku pulang dulu ya, Pak, sampai bertemu besok" pamitku sambil berlari mendekat ke arah gerbang untuk menemui Sam yang terlihat tersenyum ke arahku.
"Sudah lama menungguku di sini?" tanyaku yang mengingat ucapan Pak Santo jika Sam sudah menungguku cukup lama di depan gerbang ini.
"Tidak juga," jawabnya santai.
"Kenapa kamu mau menjemput dan menungguku? bukankah kamu juga punya kesibukan sendiri?" tanyaku pada Sam yang aku tahu saat ini juga sudah bekerja, meski hanya di perkebunan, tapi aku tahu dengan pasti jika dia memiliki kesibukan tersendiri untuk mengurus perkawinannya.
"Sudahlah, jangan bahas pekerjaanku, lagi pula itu kebun sudah sah jadi milikku, jadi tak ada yang bisa mengatur ataupun memaksaku saat bekerja," seperti biasa Sam yang memang masih tergolong dari keluarga kaya menjawab ucapanku dengan jawaban seenaknya.
"Meskipun itu kebun milikmu, tapi kamu harus tetap menjaga kedisiplinan, agar kariyawanmu juga ikut disiplin," aku yang merasa sudah menjadi sahabat yang sangat dekat hanya bisa menasehati tanpa bisa memaksa nya.
"Iya, nanti aku bakal lebih disiplin lagi," sahut Sam.
Aku yang merasa puas setelah mengomel langsung naik ke atas motor. Mengajak Sam agar dia segera melajukan motor kembali pulang.
"Loh, Kok belok ke sini?" tanya ku saat motor yang di kendarai Sam melaju ke arah yang berbeda.
"Kita cari makan dulu. Setelah itu baru pulang," jawab Sam.
Sam memang sering sekali mengajakku makan setiap kali dia menjemput atau pulang bersama, dan aku terbiasa dengan itu.
Kali ini Sam memilih restauran yang menyediakan masakan khas nusantara dan pilihanku jatuh pada menu nasi padang yang memang aku suka.
"Ini untuk Ibu di rumah nanti." Ujar Sam seraya memberikan satu bungkus nasi padang utang sempat dia pesan tadi, Sam juga tidak pernah lupa untuk membungkus makanan yang kita makan untuk Ibuku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments