Kutemukan Cinta Di Ujung Senja
Namaku Senja, aku tak punya nama panjang, orang tuaku memberi nama itu bukan tanpa alasan, aku lahir saat sore hari bersamaan dengan munculnya sang senja, indah memang, tapi keindahan senja itu tak bisa terus di nikmati karena senja datang hanya sekilas, sama seperti dia yang datang untuk pergi.
Pagi yang cerah penuh semangat baru, terutama bagi diriku yang saat ini tengah bersemangat untuk mencari keberuntungan, dengan baju hitam putih yang baru saja di setrika oleh Ibuku semalam yang kini sudah melekat di tubuhku.
"Pagi, Ibu," suaraku menggema di ruang makan, meski rumahku tak sebesar rumah para konglomerat, tapi rumahku memiliki ruangan yang lengkap dan cukup asri, menurutku.
"Anak perempuan kok teriak-terisak kayak gitu, gak pantes, jangan di ulangi lagi!" sahut Ibu yang kini sedang menyiapkan makan untukku, Ibu memang memiliki nada suara pedas saat aku melakukan hal yang tidak Baik, tapi aku tak pernah mempermasalahkan, toh yang dia lakukan juga demi kebaikanku.
"Maaf bu, aku sangat bersemangat saat ini, karena itulah suaraku menggelegar bagai petir saat badai datang," ujarku seraya berjalan mendekat ke arah Ibu yang masih sibuk mengambil nasi dan lauk yang dia masak khusus untukku.
Sulastri adalah nama Ibuku, kolot memang, tapi aku tidak perduli, yang aku tahu, Ibuku seorang wanita pejuang, dan aku ingin seperti dirinya, aku anak satu-satunya, Ayahku pun sudah lebih dulu menghadap sang ilahi, karena itulah aku menyebut Ibuku seorang wanita pejuang, jika membicarakan kebaikan orang tuaku padaku, maka tidak akan pernah ada habisnya, bahkan hingga seharian penuh aku tidak akan pernah selesai untuk menceritakan segalanya.
Ibuku sudah cukup tua, karena itulah dia tak seproduktif dulu, meski begitu Ibu tidak pernah putus asa, dia mencari pekerjaan yang mampu dia kerjakan, walau hanya sebagai buruh cuci, Ibu tetap semangat untuk mengerjakannya.
"Kamu rapi sekali Pagi ini, memangnya kamu mau ke mana?" tanya Ibu sambil melihatku yang memang sudah berdandan sangat rapi.
"Apa Ibu lupa? bukankah semalam aku sudah bilang kalau hari ini aku mau melamar pekerjaan?" sambutku sambil melahap nasi dan lauk yang sudah Ibu siapkan, walaupun makan dengan lauk tempe dan tahu, tapi aku tetap bersyukur masih bisa makan hari ini.
"Astaghfirullah, Ibu lupa," ujar Ibu yang kini juga ikut makan bersamaku.
"Kamu mau melamar kerja di mana?" Ibu kembali bertanya.
"Entahlah, aku masih mencoba mencari pabrik atau restauran yang membuka lowongan kerja," jawabku dengan ekspresi lesu.
"Loh, kok jadi lesu seperti itu? harusnya kamu tetap Semangat, ingatlah jika takdir setiap orang sudah ditulis sebelum dia dilahirkan jadi tetap semangat dan jangan pernah menyerah! " Ibu selalu berdo'a agar aku terus berjuang tanpa mengenal kata menyerah.
"Baik, ibu," sahutku dengan senyum yang mengembang, tak ada lagi yang bisa aku berikan kepada ibu saat ini selain hanya senyuman yang aku harap bisa membuatnya merasa jauh lebih baik atau lebih tenang.
Sungguh pagi yang indah bagiku, saat aku bisa melihat ibu tersenyum itu artinya duniaku masih baik-baik saja.
"Bu, aku pergi dulu. Jangan lupa doakan aku agar aku bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik sesuai dengan harapanku," aku hanya bisa meminta doa dari Ibu tak ada lagi yang bisa aku lakukan selain itu.
"Doaku selalu menyertaimu, Nak, ingat jangan menyerah dan terus saja berusaha!" Ibuku tak pernah bosan untuk selalu menyemangatiku yang terkadang menyerah karena keadaan.
"Ibu tenang saja, aku akan selalu ingat pesan ibu dan aku tidak akan pernah lupa untuk tetap berusaha sesulit apapun tantangan yang akan aku lewati nanti," ujarku dengan harapan ibuku bisa merasa tenang dan tidak memikirkanku lagi.
"Hati-hati!" pesan ibu.
Satu kata yang tak pernah terlupa, selalu keluar dari bibir ibuku.
Aku melangkah ringan dengan semangat yang kembali berkobar dengan sejuta harapan, aku melangkah melewati setiap rumah dan tokoh-tokoh yang berada di pinggir jalan, aku menghampiri setiap satpam yang kulihat tengah berada di luar pabrik tak berhenti aku bertanya apa di sana sedang membutuhkan karyawan atau tidak, meski langkahku sudah jauh dan semangatku semakin berkorbar tapi tetap saja aku tak menemukan lowongan pekerjaan hingga akhirnya aku menyerah, aku memilih duduk di bawah pohon menatap jalan dan melihat sekeliling ada begitu banyak orang yang berlalu-lalang saat ini, tapi aku tetap memikirkan kenapa aku tak bisa menemukan pekerjaan.
"Bagaimana ini? aku masih tidak menemukan pekerjaan, apa yang harus aku katakan pada ibu?" lirihku menatap langit yang terlihat begitu cerah tapi tak secerah kehidupanku.
'Brak!!!'
Suara benturan terdengar begitu keras mengejutkanku yang tengah menengadakan kepala menatap langit dengan hati sejuta harapan yang mungkin takkan pernah bisa tercapai.
"Astagfirullah ada apa itu?" tanyaku.
Tanpa banyak berpikir aku berdiri dan berlari mendekat ke arah jalan raya di mana sudah ada banyak orang yang berkerumun di sana.
"Ada apa ini? " Tanyaku sambil terus mencoba menerobos masuk melewati kerumunan orang yang sudah berkumpul di sana.
"Itu Mbak, ada nenek-nenek nyebrang jalan tidak lihat-lihat dan terserempet sepeda motor," jelas seorang laki-laki paruh baya yang lebih dulu berada di TKP.
"Astagfirullah kasihan sekali nenek itu," ucapku yang tak tega melihat seorang nenek yang tergeletak tak berdaya di tengah jalan.
Aku yang memang tidak pernah tega melihat orang lain kesusahan tak mampu lagi menahan diri untuk tidak menolong atau berpura-pura tidak tahu, dengan langkah cepat aku langsung menghampiri sang nenek yang entah siapa karena aku juga baru melihatnya di sini.
"Nenek bangun! " ujarku sambil meletakkan kepala nenek yang ada di hadapanku tepat di paha kemudian menepuk pelan pipinya berharap sang nenek masih bisa membuka mata.
Apa yang kuharapkan benar-benar terjadi, perlahan tapi pasti nenek yang sedang kupangku kepalanya perlahan membuka mata dan tersenyum ke arahku.
"Tolong telepon cucuku!" pinta sang nenek dengan tangan yang gemetar, Sang nenek terlihat berusaha dengan keras mengulurkan sebuah ponsel yang aku yakini pasti ada nomor cucu yang dia maksud.
"Apa nomor cucu nenek ada di sini?" tanyaku seraya menunjukkan ponsel nenek yang masih terlihat gelap karena belum dinyalakan.
"Iya, di dalam ponsel itu hanya ada nama cucuku, tidak ada kontak lain selain itu," jawab sang nenek dengan senyum yang mengembang meski terlihat lemah tapi sang nenek masih bisa tersenyum dan berusaha berbicara dengan lancar meski suaranya terdengar begitu lemah.
Aku yang merasa kasihan tak
lagi bertanya, aku langsung menggerakkan tangan dengan lincah di atas benda pipih yang sedang ku pegang.
"Apa ini nomor cucumu, nenek?" tanyaku Seraya menunjukkan layar ponsel yang masih menyala kehadapan sang nenek yang terlihat semakin lemah.
"Iya, nak? "Dengan nada lembut yang terkesan lemah.
Tut ... tut ... Tut ....
Suara nada tersambung terdengar begitu keras di telingaku, tapi masih tetap saja tak ada yang menyahut, hingga nada dering terakhir terdengar suara seorang laki-laki berbicara dengan tegas dan penuh wibawa, sejenak aku terpaku mendengar suaranya, dia terdengar seperti seseorang yang punya wibawa dan kekuasaan tapi aku yang tak tega melihat nenek yang sedang tergeletak lemah di tengah jalan mencoba menghilangkan segala pikiran buruk yang terlintas dalam benakku.
"Assalamualaikum, maaf apa benar ini nomornya~" aku tak mampu meneruskan ucapanku ketika aku menyadari jika saat ini aku tidak tahu siapa nama dari nomor yang tadi aku tekan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments
Rifda Farnida
hallo bk Rif aku rifda bk
2022-09-28
0
Zia Azizah
yuk lebih teliti lagi, banyak yang salah diketik jadinya arti kalimat cerita lumayan membingungkan pembaca 😁🙏🏻
2022-09-26
0
Zia Azizah
ucapku
2022-09-26
0