"Lin, ayo turun," Bulik Tini, adik dari ayahku memanggilku untuk turun menuju meja akad.
Aku pun terkejut karena aku tidak mendengar suara Tyo mengucapkan kalimat ijab kabulnya, suara terakhir yang kudengar hanyalah suara ayahku.
Jantungku pun berdegup dengan kencang, membuat kedua tanganku gemetar. Aku pun mengikuti Bulik Tini menuruni anak tangga, dengan didampingi oleh Mbak Hana dan Teh Yuni. Perlahan ku menuruni anak tangga dan berharap aku tidak melakukan kesalahan yang membuatku jatuh dari tangga, seperti pada adegan konyol di film komedi. Untung saja Teh Yuni memberikan selop berhak rendah, yang membuatku tidak kesulitan untuk berjalan dan nyaman untuk dipakai selama dipajang saat resepsi nanti.
Berjalan menuruni anak tangga hingga meja akad nikah merupakan perjalanan terpanjang yang pernah kulewati. Semuanya terasa berjalan dengan lambat dan lama. Aku pun tersenyum, selayaknya seorang pengantin di hari berbahagianya menyambut semua mata yang memandang ke arahku, si Ratu sehari.
Jantungku, sungguh ia tidak mengurangi detakannya, malah ia berdetak semakin cepat, sehingga membuatku gugup luar biasa. Aku melihat Tyo berdiri menyambut kedatanganku dengan senyuman menghiasi wajahnya.
Senyumku sedikit ku paksakan, karena kegugupanku lebih mendominasi rasa saat itu.
"Ananda Halina Ramadhani, silahkan cium tangan suaminya, Tunggul Prasetyo," ucap penghulu.
Dengan terpaksa aku melakukan apa yang diucapkan bapak penghulu. Ya, jika boleh memilih, aku sangat tidak ingin melakukannya di depan tamu-tamu yang hadir, tetapi aku sadar, jika hari ini adalah hari dimana aku menjadi TOMAS (tontonan massal).
Fotografer dan kameramen mengarahkan lensanya ke arah aku dan Tyo, yang masih terlihat kaku. Lalu aku pun mengikuti arahan MC untuk mencium tangan Tyo, yang telah sah menjadi suamiku.
"Silahkan duduk kembali, untuk penandatanganan buku nikah," ucap MC.
Aku pun duduk dengan menghadap pada lembaran-lembaran kertas yang harus ku tandatangani termasuk buku nikah.
"Harus tanda tangan sekarang, ya? Nggak bisa ditunda nanti atau besok, gitu?" tanyaku dalam hati karena jantung ini masih belum berdamai dengan suasana yang tenang.
Aku pun mulai menandatangani dokumen-dokumen pernikahanku yang tentu saja dengan tangan yang gemetar karena si jantung yang tak kunjung memperlambat detakannya, yang menghasilkan tanda tangan tanpa tertandingi oleh siapapun juga. Coba angkat tangan, bagi yang mempunyai tanda tangan 'keriting' pada buku nikahnya. Yup, that's mine, my signature on my wedding book is amazingly curly. Aku pun melirik ke arah Tyo yang tampak tenang dan sukses menandatangani berkasnya dengan sempurna.
"Kok bisa nggak keriting? Emangnya dia nggak nervous?" tanyaku dalam hati.
Acara pun dilanjutkan dengan nasihat pernikahan, yang disampaikan oleh ustadz Ibadurrahman. Ustadz yang biasa mengisi kajian rutin ibu-ibu di lingkungan rumah orang tuaku.
Aku tidak dapat berkonsentrasi mendengarkan tausyiah beliau, dikarenakan kegugupanku. Aku melihat ke arah para tamu, lalu aku melihat Mbak Hana dan Mbak Devi, istri dari Mas Verdi, yang sedang berdiri dan tersenyum ke arahku. Ingin rasanya aku melambaikan tanganku ke arah mereka berdua, tetapi aku tetap harus duduk dengan anggun hingga seremonial ini berakhir tanpa sedikitpun mengeluarkan jurus OVJ-ku.
Setelah beberapa saat, rangkaian rukun nikah telah selesai dilaksanakan, tiba saatnya untuk sungkem kepada orang tua. Momen sakral yang penuh haru, yang sering ku saksikan dimana pengantin dan orang tua akan menangis haru dan bahagia.
"Silahkan Mbak Halina Ramadhani untuk sungkem kepada bapak dan ibu, diikuti oleh Mas Tunggul Prasetyo," ucap MC.
Teh Yuni pun membantuku untuk melakukan prosesi sungkeman kepada kedua orang tua ku dan Tyo.
Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan, aku hanya berlutut dan ibuku mulai menangis, aku rasa ini adalah tangisan bahagia, begitu juga dengan ayahku yang matanya terlihat berkaca-kaca.
Sepertinya di momen sungkeman ini semuanya menangis, kecuali aku yang berusaha ikut terharu. "Aaarrggh, aku pengantin macam apa?" kesalku dalam hati.
Setelah sesi yang membuat orang-orang menangis haru bahagia, tibalah sesi foto bersama.
Entah berapa kamera yang telah siap mengabadikan momen ini, selain kamera dari pihak studio 88.
"Hooo, mungkin begini rasanya menjadi orang terkenal yang ditunggu-tunggu kehadirannya di tengah-tengah wartawan," pikirku dalam hati.
"Dipegang tangannya!"
"Kurang mesra! Jangan kaku dong!"
"Senyumnya mana?"
Sahutan-sahutan dari anggota keluarga besar orang tuaku, yang memecahkan kesakralan acara. Aku pun membalasnya dengan memberi lirikan tajam ke arah mereka, tentu saja hal ini lebih meramaikan suasana.
"Hei, pengantin dilarang sewot, anteng aja," sahut Lik Hari, adik dari ibuku yang memang terkenal iseng.
"Lin inget, hari ini kamu harus jadi cewek," canda mbak Hana pagi tadi sebelum aku dirias, yang membuatku berusaha untuk tampil anggun
Mbak Hana memang sering menegurku agar aku tampil feminim, karena gaya berpakaianku sangat berbeda dengannya yang anggun dan manis.
Pengambilan foto keluarga pun dilaksanakan, setelah sesi foto berdua, aku dan Tyo selesai.
Foto keluarga yang tampak berat sebelah, karena walaupun aku dan Tyo sama-sama 5 bersaudara, tetapi semua keempat kakak Tyo sudah berkeluarga dan memiliki buah hati. Sementara di keluargaku, baru Mas Verdi dan aku yang sudah menikah, itupun di tahun yang sama dengan jarak hampir 4 bulan.
Waktu telah menunjukkan lewat pukul 9, aku dan Tyo diarahkan untuk ke kamar pengantin, guna bersiap untuk acara resepsi di gedung pada pukul 11.00-14.00. Sementara itu, para tamu menikmati sarapan mereka.
Sesaat sampai di kamar, kami berganti pakaian dengan busana resepsi. Lebih tepatnya aku berganti pakaian di dalam kamar mandi.
Setelah selesai berganti pakaian, aku pun mengganti kerudungku, yang kemudian dihias dengan rangkaian melati dan tiara mungil di atas kepalaku. Rangkaian melati yang kupilih juga cukup sederhana, hanya berupa 4 untaian melati di kanan dan kiri.
Tak lama, ibu masuk ke dalam kamarku sambil membawakan aku sepiring nasi kuning lengkap beserta aneka lauknya
"Lin, sambil makan," ucap Ibu.
"Tyo, sarapan dulu," lanjut Ibu.
"Iya, Bu. Mas, ke bawah duluan, ya. Sayang sarapan dulu," ucap Tyo sesaat sebelum keluar kamar yang membuatku membelalakkan mataku.
"Waaa, dia sudah mulai ganti panggilan? Waaaa kok cepat amat?!" ucapku dalam hati.
Aku hanya memakan beberapa suap saja, karena perutku masih belum berdamai dengan kegugupan ini.
Sementara itu, Teh Yuni memperbaiki riasanku atau lebih tepatnya menebalkan riasanku, agar tampak segar di kamera nantinya.
Ibuku kembali masuk ke dalam kamar, "Sudah, Teh?" tanya ibu yang memeriksa kesiapan ku.
"Sudah. Ayo, Neng," jawab Teh Yuni.
Aku pun berjalan keluar kamar dengan kebaya berwarna broken white dengan payet kaca berwarna pelangi. Ternyata, Tyo telah menungguku di depan pintu kamar, ia pun menggandengku untuk menuruni anak tangga.
Sesampainya di bawah, tamu-tamu dan keluarga sudah menuju ke gedung resepsi yang hanya 5 menit dengan berkendara.
Aku pun segera masuk ke mobil ayahku yang sudah dihiasi dengan pita di depan dan dibelakangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
shofia
Sebenarnya namanya siapa? Tulus atau Tunggul?
2022-09-17
0