Aku tetap bersekolah biasa selama sakit ini, hanya 2 kali dengan total 10 hari aku tidak masuk sekolah dikarenakan pembengkakan pada wajahku, yang membuatku terlihat aneh. Setelah kupikir-pikir, di saat bengkak itu, wajahku terlihat seperti seseorang yang mengalami komplikasi suntik botox pada wajahnya.
Di saat aku tidak masuk sekolah, teman-teman kelasku datang menjengukku di rumah, sambil membawakan catatan dan tugas-tugas dari sekolah.
"Nih catatannya, ini PR-nya trus ini tugas-tugas di kelas," ucap Tami yang membawakan catatan dan tugas-tugas dari sekolah untukku.
"Makasih Tam. Eh, ada cerita apa di sekolah?" tanyaku.
"Biasa aja, nggak ada Lo jadi sepi, nggak ada yang ngelawak, nggak ada yang jutek, nggak ada yang buat dicontekin," jawab Tami santai.
"Hmmm, ternyata kehadiranku sungguh bermakna, yaa," candaku.
"Iye, sangat bermakna banget dah. Buruan masuk, biar kita bisa contekan PR lagi," ucap Tami.
"Doain biar gue cepet sehat, jadi bisa ngasih Lo semua contekan lagi," jawabku santai.
Setelah bengkak pada wajahku telah berkurang, aku kembali bersekolah seperti biasa, hanya saja aku tidak mengikuti kegiatan olah raga dan mundur dari kegiatan ekstrakurikuler PMR, yang kusukai. Semua itu harus kulakukan, karena salah satu pantangan yang harus kupatuhi adalah menghentikan semua kegiatan fisik yang melelahkan. Hal itu pun sangat disayangkan oleh para senior PMR-ku di sekolah, karena aku dianggap salah satu yang berprestasi dalam kegiatan ekstrakurikuler itu. Aku juga mundur dari kegiatan remaja masjid yang kuikuti bersama dengan mbak Hana.
Setelah setahun lebih, pengobatanku pun kian hari mulai menampakkan hasil yang positif, kandungan protein dalam urinku perlahan berkurang. Begitu juga dengan pembengkakan pada tubuhku pun juga ikut jauh berkurang, bahkan kakiku sudah mulai terlihat normal dan berat badanku pun berangsur-angsur normal kembali.
Aku sudah berteman dengan rasa hambar pada semua makananku. Kuning telur, ayam krispi, semua makanan dengan kandungan lemak tinggi sudah kutinggalkan 100%, selama pengobatan berlangsung. Gorengan dan semua makanan yang menggunakan minyak goreng, praktis kutinggalkan semua. Serba kukus dan rebus, menjadi andalan menu makanan sehari-hariku.
Lalu bagaimana rasanya ketika lebaran tiba? Aku masih boleh menikmati opor, sambal goreng kentang dan hati, tetapi tanpa santan. Bayangkanlah rasa lebaran yang harus kujalani selama hampir 3 tahun.
Jadwal kontrol ke dokter dan cek laboratorium, yang pada awalnya setiap pekan selama 3 bulan, menjadi perdua pekan di 3 bulan berikutnya. Kemudian setelah hampir 2 tahun, berangsur-angsur berkurang hingga sebulan sekali dan 3 bulan sekali.
Sakitnya jarum suntik yang mengambil darahku, sudah tak lagi kutakuti, bahkan aku sangat rileks dan santai setiap darahku diambil. Perawat-perawat laboratorium pun sudah layaknya seperti keluarga yang selalu menyambutku dengan penuh senyuman dan canda tawanya.
"Sepertinya Lina sudah sehat nih, kita bakalan nggak ketemu lagi deh," ucap salah satu perawat yang selalu mengambil darahku.
"Eh harusnya kita ikut senang dong, kalau Lina nggak kesini lagi, artinya sudah sehat, mukanya aja sudah cerah," sahut perawat lainnya.
"Makasih, Mbak. Makasiiih banget sudah sabar ngambil darahku yang susah ini. Makasih juga buat do'anya, ya Mbak," ucapku kepada mereka semua sambil satu persatu kusalami.
Mereka pun memberikan senyuman terhangat yang membuatku bersyukur, aku telah mengenal mereka yang selalu sabar mengambil darahku dengan pembuluh darah yang tipis ini dan juga selalu menyambutku bagaikan keluarga.
Jadwal kontrol ke dokter yang sedari awal pemeriksaan ditemani oleh kedua orang tuaku, kemudian dilanjutkan hanya berdua dengan ibuku sampai akhirnya beberapa kali aku hanya sendiri atau pun ditemani oleh mbak Hana. Hal itu mungkin membuatku menjadi satu-satunya pasien remaja yang sering datang berobat sendirian atau hanya berdua dengan kakakku tanpa didampingi oleh orang tuaku. Hal ini bukan karena mereka tidak menyayangiku, tetapi aku yang memilih untuk berobat sendiri, karena sudah menjadi rutinitas yang menjadi tanggung jawab untuk kesembuhanku.
Lagipula setelah melihat hasil laboratorium, kedua orang tuaku percaya akan kemajuan dari pengobatan yang aku jalani dan nantinya aku akan sembuh total dari penyakit ini.
Hingga 2 tahun kemudian, aku telah menginjakkan kakiku di bangku SMA. Hasil laboratorium terakhirku menunjukkan angka normal pada keseluruhan pemeriksaan, aku pun kembali memeriksakan diriku ke rumah sakit dengan ditemani oleh kedua orang tuaku.
"Sudah selesai, ya Lin. Selamat, kamu sudah sehat, sudah bisa makan normal kembali," ucap dr. Mukidjan pada pemeriksaan terakhirku.
"Jadi aku sudah boleh makan mie instan, roti, rendang, ayam krispi, semua itu, Dok?" tanyaku untuk memastikan.
"Boleh, semua pantangan kamu sudah selesai, kamu sudah bisa makan makanan dengan normal. Tetapi tetap harus dijaga asupan lemaknya, jangan berlebihan. Satu hal lagi, kamu masih belum boleh kecapekan, jadi pilih aktivitas yang tidak banyak mengandalkan fisik, olahraga boleh, tetapi yang ringan-ringan saja, misalnya jalan cepat, lari-lari kecil atau olahraga permainan, seperti bulu tangkis, basket itu masih boleh. Pokoknya jangan yang berat-berat, yaa," jelas dr. Mukidjan.
"Trus, kapan aku periksa lagi ?" tanyaku.
"Kamu sudah sehat, sudah sembuh, sudah tidak perlu datang untuk periksa lagi. Pengobatan kamu sudah selesai, tapi kalau kamu mau, kamu bisa periksa setahun lagi, dengan pemeriksaan rutin di laboratorium seperti biasa, jika hasilnya tetap normal, kamu tidak perlu kesini," jelas dr. Mukidjan.
"Jadi Lina sudah sehat 100%, ya, Dok?" tanya ibuku.
"Iya, Bu. Halina sudah sehat dan jangan khawatir, penyakitnya tidak akan kembali," jawab dr. Mukidjan yang membuatku dan kedua orangtuaku lega.
Akhirnya setelah hampir 3 tahun menjalani perawatan diet ketat, aku pun dinyatakan telah sehat kembali. Bayangan pizza dan burger telah berlarian di kepalaku.
"Lin, alhamdulillah kamu sudah sehat. Semua ini karena Allah, sakitmu dan kesembuhanmu semuanya dari Allah, yang telah berhasil kamu lewati dengan ikhlas. Sekarang tugasmu adalah menjaga agar sakitmu tidak datang kembali, jadi harus tetap jaga kondisi, jangan kecapean dan makan yang teratur," ucap Ayahku dalam perjalanan pulang.
"Lina kok diingetin tentang makan, hambar tanpa rasa aja masih mau makan daripada lapar, apalagi sekarang bisa makan apa saja sepuasnya. Pasti sudah mikir makanan yang mau dibeli, iya kan?" canda ibuku yang memang sangat tepat sekali.
"Ih ibu maa, tahu aja. Aku pingin beli pizza atau burger, boleh?" tanyaku penuh semangat.
"Boleh, pesan sepuasnya saja nanti kalau sudah sampai di rumah," jawab ayahku yang membuatku bersorak dalam hati.
Sesampainya di rumah, tanpa menunggu lagi aku segera memesan makanan kesukaanku untuk merayakan kesembuhanku.
"Congratulations and celebrations, trus lanjutannya apa, aku nggak tahu," dendang mbak Hana.
"Makan ajalah!!'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Tufa Hans
Alhamdulillah... Akhirnya sembuh
2022-09-28
1