Komplikasi pasca operasi kepala? Kata-kata mbak Hana tiba-tiba mengusikku. Memang itu adalah bercandaannya saja, tetapi entah mengapa hal ini membuatku mengingat operasi setahun yang lalu.
Semenjak lulus SMA, aku memang sering mengalami sakit kepala dan obatku selama kuliah adalah kafein. Aku rajin mengonsumsi minuman kopi latte instan dalam kemasan yang selalu tersedia di minimarket dan kantin kampus untuk mencegah ataupun meredakan sakit kepalaku yang dapat kapan saja datang.
Aku kembali berfikir, mengapa aku tidak merasakan getaran apapun dengan proses pendekatan yang berujung pernikahan dengan Tyo. Apakah ini dikarenakan operasi kepalaku setahun yang lalu? Ah, inikan tidak masuk akal, apa hubungannya antara kepala dengan hati ?
Tetapi hal ini mengingatkanku pada saat aku harus menjalani operasi hydrocephalus. Sebuah nama penyakit yang cukup asing bagiku.
Semua ini berawal semenjak SMA, dimana aku mulai sering mengalami sakit kepala, terutama setelah terkena sinar panas matahari. Hal ini berlanjut di masa-masa kuliahku. Minuman kemasan berkafein sudah menjadi teman terbaikku setiap hari.
Sakit kepala, pusing hingga migrain, sering kualami di masa-masa itu. Tetapi aku menganggapnya sebagai sakit biasa saja, sehingga tak pernah kuperiksakan ke dokter.
Aku tidak menganggap sakit kepalaku itu tidak wajar, karena aku mengira, sakit kepalaku dikarenakan oleh segala kesibukanku sebagai mahasiswi desain interior, yang sering membuatku kurang tidur atau bahkan tidur menjelang pagi. Beberapa kali aku baru tidur jam 1-2 malam dan dibangunkan 3 jam kemudian untuk shalat shubuh.
Lalu, pada pukul 7.30 paginya, aku sudah siap berada di dalam kelas, yang artinya aku berangkat ke kampus, paling lambat pukul 6.30 dengan menaiki bis.
Ketika memasuki masa kerja praktek, aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sebuah perusahaan konsultan interior spesialis interior kantor. Selama 4 bulan masa kerja praktekku, aku berangkat pukul 7 pagi, lalu kembali sampai di rumah paling cepat pukul 7.30 malam, tak jarang pada pukul 8.30 malam aku baru menapakkan kakiku di teras rumahku.
Aktivitas seperti itu adalah keseharianku selama 4,5 tahun di masa perkuliahan di sebuah universitas swasta yang terletak di Grogol, Jakarta Barat.
Kira-kira setahun setelah aku lulus kuliah, aku bekerja di perusahaan konsultan interior dan arsitektur yang didirikan oleh mas Verdi bersama 2 orang arsitek, kawannya yang berasal dari kampus yang sama denganku.
Pulang dan pergi dengan mengendarai mobil menuju kantor adalah keseharianku sesudah lulus.
Hingga suatu ketika, selama semalaman aku mengalami sakit kepala hebat. Paracetamol tidak lagi dapat meredakan sakit kepalaku. Sampai akhirnya aku muntah hebat di pagi hari, akibat sakit kepalaku yang tak kunjung usai.
"Lin, Lin kamu kenapa?" tanya ibuku setengah panik yang membuat ayahku segera menghampiriku.
"Kita ke UGD, sekarang!" seru ayahku.
Ayah dan ibuku pun segera membawaku menuju UGD rumah sakit langganan kami di bilangan Pulomas, Jakarta Timur.
Dokter UGD segera menyuntikkan obat pereda sakit di lenganku, yang membuat sakit kepalaku perlahan mulai berkurang.
"Sebaiknya Halina dikonsultasikan ke dokter spesialis penyakit saraf, untuk mengetahui lebih lanjut akan penyakitnya," ucap dokter jaga UGD yang bertugas.
Aku pun segera didaftarkan ke dokter saraf, di rumah sakit itu.
Dr. Sandy, SpS, adalah dokter yang menangani sakitku dan dengan wajah serius ia membaca statusku, lalu ia pun mulai bertanya, "Mulai kapan sakit kepalanya?"
"Beberapa hari ini sakit kepalanya nggak hilang, padahal biasanya setelah minum obat dan tidur, sakit kepalanya hilang," jawabku.
"Tadi pagi, Lina sakit kepala sampai muntah-muntah," tambah ibu.
"Sakit kepalanya, bagaimana? Di satu sisi atau menyeluruh? Hmm atau rasanya seperti berputar ?" tanya dr. Sandy.
"Semuanya sakit, Dok. Terus rasanya juga muter-muter, oleng gitu, Dok," jawabku.
Seperti biasa, dokter akan melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh. Tetapi kali ini, berikut dengan pemeriksaan keseimbangan. Aku diminta untuk berbaring, kemudian mengadap ke salah satu sisi dengan mata tertutup.
Seketika itu, aku merasa seperti jatuh dari ketinggian dan rasa pusing di kepalaku datang kembali, sehingga aku memejamkan mataku.
"Pusing, Lin?" tanya dr. Sandy.
"Iya, Dok," jawabku.
"Oke, duduk dulu sampai kamu stabil," ucapnya sebelum ia kembali ke meja periksa.
"Pak, Bu, mulai kapan Lina mengeluhkan sakit kepalanya?" tanya dr. Sandy kepada kedua orang tuaku.
"Sejak SMA, Lina beberapa kali mengeluh sakit kepala atau pusing, tetapi setelah beristirahat atau minum paracetamol, biasanya sakitnya menghilang. Sewaktu kuliah juga begitu, Lina selalu bilang, mungkin kecapean, karena kuliahnya memang cukup berat di jurusan desain interior. Setelah lulus, sudah jarang mengeluh sakit kepala, cuma beberapa hari belakangan saja keluhannya kembali datang," jawab ibu.
Mimik wajah dr. Sandy pun semakin serius, "Pak, Bu, mengingat perjalanan panjang sakit kepala Lina sudah tahunan. Kalau dihitung sejak SMA berarti sekitar usia 15-16 tahun, hingga saat ini usia Lina 24 tahun, berarti sudah sekitar 9 tahun ia mengalami sakit kepala. Untuk itu, jika tidak berkeberatan, saya minta pemeriksaan menyeluruh untuk kepalanya. Sekarang juga, kita lakukan CT-Scan otak, agar dapat dilihat letak masalahnya agar dapat segera ditangani," ucap dr. Sandy.
Pagi itu juga, aku melakukan pemeriksaan CT-scan otak dan beberapa menit kemudian hasilnya telah diantarkan ke dr. Sandy.
Wajah serius dari dr. Sandy yang membaca laporan hasil CT-scanku, membuatku menduga ada sesuatu yang tidak beres.
"Pak, Bu, hasil CT-scan menunjukkan adanya tumpukan cairan otak yang menekan saraf-saraf di otak, inilah yang menyebabkan Lina sakit kepala. Tetapi yang menjadi masalah, bagaimana bisa terjadi penumpukan cairan otak? Itu yang harus kita cari untuk dapat memberikan pengobatan yang tepat. Untuk itu saya minta agar Lina melakukan pemeriksaan lanjutan yaitu MRI. Maaf, untuk MRI biayanya tidak sedikit sekitar 1,5-2 juta. Sayangnya, saat ini rumah sakit kami belum mempunyai fasilitas MRI. Untuk itu saya berikan rujukan untuk melakukan MRI di RS Glen Eagles, Karawaci, Tangerang. Sampai saat ini, disanalah RS yang mempunyai mesin MRI terbaru dan hasilnya bisa ditunggu, karena dokternya standby," ucap dr. Sandy.
"Untuk biaya, in syaa Allah kami tidak ada masalah untuk kesembuhan Lina," jawab ayahku dengan tegas.
Keesokan paginya, dengan diantarkan supir dan ditemani ibu, aku berangkat menuju rumah sakit di bilangan Karawaci, Tangerang. Cukup jauh jarak yang harus kami tempuh untuk sampai di sana, sehingga kami harus berangkat awal, agar tidak kesiangan.
Sesampainya disana, tak lama menunggu, aku pun segera dimasukkan ke dalam tabung pemeriksaan MRI. Cukup berbeda dari saat pengambilan CT-SCAN, dimana kali ini aku diselimuti dan dipasangi headphone.
Headphone tersebut memperdengarkan suara alam, seperti gemericik air, suara burung-burung berkicau yang intinya untuk membuat rileks. Saking rileksnya, aku pun mulai mengantuk tetapi aku mencoba untuk tetap terjaga.
Akhirnya selesai sudah proses MRI yang pertama, bed MRI mulai bergerak ke luar, lalu perawat kembali masuk dan menyuntikkan kontras di lenganku, sebelum aku melakukan MRI yang ke-dua. Aku sendiri tidak tahu, kontras apa yang dimaksud. Sepanjang pengetahuanku tentang desain, kontras yang kuketahui hanyalah tentang pewarnaan.
Ternyata tidak ada perbedaan dari MRI yang pertama dengan yang ke-dua, keduanya sama-sama membuatku mengantuk. Akhirnya setelah 30 menit, MRI ke-dua ku berakhir.
Saatnya menunggu hasilnya, tetapi setelah hampir 30 menit, kami berdua masih menunggu hasilnya. Hingga akhirnya dokter radiologi memanggilku dan ibu.
"Maaf Bu, sedikit lebih lama, karena saya tidak dapat menemukan penyebab hydrocephalus ini," ucapnya sambil memperlihatkan foto hasil MRI tadi.
"Lin, coba kamu perhatikan, ini adalah cairan otak yang ada di kepalamu, saya perkirakan ini sekitar 10 kali lebih banyak dari normal," lanjutnya lagi sambil memperlihatkan foto MRI milik pasien lain sebagai perbandingannya.
Aku dan ibu pun terkejut.
"Jauh banget bedanya, Dok!" ucapku.
"Seperti yang tadi saya katakan, cairan otakmu kira-kira 10 kali dari ukuran normal. Masalahnya sekarang, saya belum menemukan penyebab penyumbatan yang menyebabkan cairan di otakmu terakumulasi seperti itu," jelas dokter radiologi.
Lalu dengan mimik yang cukup serius, ia menjelaskan, "Jadi otak manusia itu bekerja dan akan mengeluarkan cairan secara alami. Pada kasus hydrocephalus, itu terjadi karena adanya penyumbatan pada saluran pembuangan cairan, salah satunya karena adanya virus. Ini yang sedang saya cari, yaitu penyebabnya dan saya belum menemukannya."
"Dok, memangnya yang cairan otak normal itu sebesar apa, Dok?" tanyaku.
Ia pun menunjukkan hasil MRI otak dengan ukuran cairan yang normal, yang membuatku membelalakkan mataku.
"Jauh banget bedanya!" ucapku penuh keterkejutan.
"Itulah yang menyebabkan sakit kepala. Hal seperti ini jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan banyak hal, seperti kebutaan..."
"Buta? kok bisa, Dok?" tanyaku.
"Ya bisa, kalau tekanan cairannya menekan ke salah satu syaraf mata," jelasnya.
"Aaah pantesan, aku kan sempat pakai kacamata waktu SMA, mataku minus 1/4 sama 1/2, tapi sekarang sudah normal lagi," sahutku.
"Iya, bisa berpengaruh pada penglihatan, pendengaran dan aktivitas lainnya, yang terkena tekanan cairan. Hmmm, intinya kamu harus segera dioperasi untuk membuat saluran pembuangan cairan otak. Nanti dari otak kamu akan dipasang selang, namanya vp shunt, yang akan membuang cairan otakmu kembali normal. Nanti prosesnya akan dijelaskan oleh dr. Sandy, sekarang saya harus membuat surat diagnosis untuk dr. Sandy, tunggu sebentar lagi yaa," ucapnya sambil membalikkan kursinya ke arah komputer.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments