Aku dijadwalkan operasi pada pukul 8 pagi, 5 hari setelah aku diopname, dengan serangkaian perawatan dan pemeriksaan pra-operasi, termasuk pengambilan sampel darahku untuk pemeriksaan TORCH, guna melihat adanya yang kemungkinan yang menjadi penyebab hydrocephalus yang kualami.
Dari hasil pemeriksaan dinyatakan negatif, tetapi pada Rubella IgM dinyatakan positif, yang artinya virus itu ada dalam tubuhku hanya saja sudah tidak aktif. Sehingga dari pemeriksaan sementara, disimpulkan hydrocephalus-ku berasal dari virus Rubella di saat aku masih kanak-kanak.
Di sore hari ke-tiga, perawat mendatangiku, "Mbak, besok pagi sebelum operasi, saya cukur dulu rambutnya, yaa," ucapnya.
"Gundul plontos, Mbak?" tanyaku.
"Iya, untuk menghindari infeksi jika ada rambut yang masuk ke bagian yang dioperasi," jawabnya.
Maka dari itu, aku meminta mbak Hana untuk mencukur habis rambutku, karena aku tidak mau perawat yang mencukurnya.
"Mbak, aku digundulin sekarang aja," pintaku.
"Kan nggak ada gunting sama pisau cukurnya, Lin," jawabnya.
"Minta ibu bawain, nanti malam," ucapku.
Malam harinya, ba'da isya, ibu dan ayahku kembali datang menjengukku dengan membawa berbagai makanan kesukaanku, serta gunting rambut dan pisau cukur milik ayah.
"Mau dicukur sendiri?" tanya ibu.
"Iya, ajalah. Gunting dulu, Mbak," ucapku yang telah siap dengan rambut yang sudah kubasahi.
Ibu dan mbak Hana, menggunting rambutku yang panjangnya telah mencapai punggung. Keduanya tampak ragu dan perlahan-lahan memotongnya, sehingga membuatku tidak sabar.
"Langsung kras-kres aja, nanti juga digundulin," ucapku.
"Ya Allah, Lin. Aku mewek nyukurnya, nih," ucap mbak Hana.
"Mbak, ntar juga bakalan tumbuh lagi. Lagian ini kan cuma buat operasi aja, bukan karena kemoterapi," jawabku.
"Hush, jangan ngomongin penyakit lain! Kamu bikin aku ngeri aja!" protes mbak Hana.
Mungkin aku adalah pasien yang cukup unik, yang tidak banyak mempertanyakan pasca operasi, karena yang kupikirkan saat itu hanyalah, aku dapat segera sembuh dari sakit kepalaku yang menahun.
Ibu dan mbak Hana mulai menggunting rambutku, sedikit demi sedikit. Setelah dikiranya cukup pendek, ibu mulai menggunduli kepalaku menggunakan pisau cukur milik ayahku.
Tak membutuhkan waktu yang lama, rambutku sudah habis dicukur, menyisakan sedikit disana-sini yang tampak tidak karuan sehingga membuatku tertawa melihatnya.
"Aneh kamu, ah! Mau operasi kok malah ketawa," tegur mbak Hana.
"Kepalaku jelek banget, ih kek Putri Giok nggak sih, Mbak?" candaku.
Putri Giok adalah film Indonesia di tahun 1980, di tahun kelahiranku, aku sendiri tidak pernah menontonnya, tetapi ibu dan mbak Hana, sering memanggilku Putri Giok ketika aku masih balita, karena berulang kali, rambutku dicukur gundul.
Lalu aku mengambil pisau cukur dan berjalan menuju kamar mandi, untuk merapikan rambutku yang tersisa dengan dibantu mbak Hana. Setelah beberapa saat, tampilanku pun berubah.
"Waaaah, aku kinclong! Awas ada lampu taman lewat!!" candaku sambil berjalan ke luar kamar mandi.
"Gimana rasanya?" tanya ibu.
"Semriwing, adem," jawabku sambil tersenyum.
Aku lalu memakai jilbab instanku kembali sambil memegangi kepalaku yang licin sambil tertawa kecil.
Keesokan paginya, perawat ruangan datang membawa nampan yang berisi perlengkapan untuk mencukur rambutku.
"Aku sudah digundulin, Mbak," ucapku.
Wajahnya pun nampak terkejut.
"Sudah digundulin? Sama siapa?"
"Sama ibu dan Mbak Hana," jawabku.
Ia lalu meletakkan nampan yang berisi gunting rambut dan alat cukur di meja.
"Saya lihat dulu ya, Mbak?"
Aku pun membuka jilbabku dan memperlihatkan kilauan kepalaku yang bagaikan lampu taman.
"Eh iya, sudah bersih," ucapnya.
"Kayak di film-film kartun dong, mbak," candaku.
"Maksudnya?"
"Itu lho, bola yang mengeluarkan cahaya, yang bisa bikin silau," candaku lagi.
"Mbak, buruan deh si Lina ini dioperasi, mulai eror lagi nih anak!" sahut Mbak Hana yang membuatku kembali tertawa.
Perawat tersebut pun, kembali ke nurse station untuk mengambil kursi roda, yang akan digunakan untuk membawaku ke kamar operasi di lantai 2.
Sesampainya di lantai 2, aku berpamitan dengan kedua orang tuaku dan mbak Hana, sebelum masuk ke ruang operasi.
"Aku masuk dulu, ya," ucapku sambil tersenyum.
"Iya, ibu sama bapak juga mbak Hana, akan mendo'akan agar operasimu berhasil dan kamu kembali sehat tanpa ada bekas sakitnya.
Lalu, mereka mencium kedua pipiku dan memelukku erat, serta membisikkan untaian do'a untukku.
Setelah berada di ruang perantara antara kamar operasi dengan kamar observasi, aku diminta untuk mengganti pakaianku dengan baju operasi, sebelum aku dibawa ke kamar operasi atau yang biasa disebut OK (baca : OKA) oleh para perawat. OK sendiri diambil dari singkatan Operatite Kamer yang berasal dari bahasa Belanda.
"Mbak, silahkan ganti bajunya dengan yang ini."
Aku pun berjalan menuju kamar operasi yang disetel dengan suhu yang cukup dingin, yang berhasil membuat kakiku kedinginan.
"Silahkan berbaring disini," ucap seorang pria yang memakai pakaian operator OK.
Aku pun mengikuti perintahnya, dengan berbaring di meja operasi.
"Nama?" tanyanya.
"Halina Ramadhani."
"Usia?" tanyanya lagi.
"23 tahun, 9 bulan," jawabku.
"Baik, saya dr. Bram, saya adalah dokter anestesi. Saya yang akan membius dan memastikan kamu baik-baik saja hingga operasi berakhir."
"Ada yang mau ditanyakan?" tanya dr. Bram.
"Hmmm, nggak Dok," jawabku.
Tak lama kemudian, dr. Lucas telah tiba dan segera memasuki ruang operasi.
"Lina, sudah siap?" tanya dr. Lucas.
"In syaa Allah, sudah Dok," jawabku tegas.
"Baiklah kita mulai sebentar lagi," ucap dr. Lucas.
Dr. Bram pun menghampiriku kembali, "Lin, kita mulai yaa," ucapnya.
Pada saat itu, aku membayangkan akan dibius seperti adegan dalam film, dimana pasien akan dipasangkan masker yang berisi obat bius ke hidungnya, tetapi ternyata hingga akhir operasi aku tidak melihat adanya masker yang dipasang pada hidung atau mulutku.
Tentu saja baru ku ketahui belakangan, jika anestesinya diberikan melalui selang infus. Ah, adegan-adegan medis dalam film, ternyata terkadang memang tidak selalu sama dengan kenyataan.
Beberapa jam kemudian, aku mulai membuka mataku. Mataku masih sangat berat, karena efek anestesi yang belum sepenuhnya hilang, tetapi aku dapat melihat kedua orang tuaku dan mbak Hana yang berdiri di samping tempat tidurku.
"Sudah bangun, Lin?" tanya ibuku lembut.
Aku menjawabnya dengan mengedipkan kedua mataku.
"Mau minum?" tanya ibuku lagi.
Aku pun kembali mengedipkan mataku, untuk menjawab pertanyaannya.
Aku baru menyadari, jika aku sudah kembali ke ruang rawat VIP dan posisi tidurku tidak berbaring ketika ibu membawakan gelas, sehingga aku tidak perlu bangun untuk minum, karena posisi kepalaku berada sekitar 30-45 derajat dari tempat tidur.
Setelah aku minum, aku kembali tertidur hingga malam hari dan aku terbangun sekitar pukul 8 malam.
"Alhamdulillah sudah bangun. Pusing nggak, Lin?" tanya ibu.
"Nggak, tapi aku laper," jawabku.
"Oiya, kamu tidur seharian. Ibu tanya dulu, kamu sudah boleh makan atau belum," ucap ibu yang segera menelfon perawat.
Dokter Indra, dokter jaga ruangan dan perawat yang bertugas segera datang untuk memeriksa kondisiku.
"Lina sudah boleh makan, kok. Makanannya sudah diantar, kan?" tanya dokter Indra sambil melihat sekeliling ruangan.
"Sudah, Dok," jawab ibu.
"Makan sedikit-sedikit dulu, kalau mual langsung berhenti. Kalau ada apa-apa, pencet belnya saja ya," ucap dr. Indra sebelum meninggalkan ruangan.
Aku pun memulai menyantap buah terlebih dahulu. Kemudian ibu menyuapiku nasi dengan sop ayam. Aku hanya menghabiskan 3/4 porsi nasi, tetapi sopnya tetap kuhabiskan.
Kemudian, perawat datang kembali, untuk memberikan aku obat yang harus diminum setelah makan.
Selang 1 jam kemudian, tiba-tiba aku merasakan mual yang hebat, aku pun memuntahkan semua isi perutku.
"Lho, Lin! kamu kenapa?" tanya ibuku dengan panik. Lalu Ibu segera menekan tombol untuk memanggil perawat. Sesaat kemudian seorang perawat datang dan segera memanggil rekannya ketika melihatku muntah tanpa henti.
Dr. Indra segera berlari menuju kamarku dan setelah memeriksa kondisiku, kulihat ia menghubungi dr. Sandy, untuk melaporkan keadaanku.
Lalu, dr. Indra menyampaikan pesan dari dr. Sandy kepada orang tuaku.
"Halina harus segera masuk ICU, dr. Sandy akan segera datang," ucapnya.
Dr. Indra dan perawat segera mendorong tempat tidurku menuju ICU.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments