Aku adalah Halina Ramadhani, anak ke-tiga dari 5 bersaudara, 3 laki-laki dan 2 perempuan. Ayahku adalah salah satu pejabat di BUMN dan ibuku adalah ibu rumah tangga biasa.
Kakak pertamaku bernama Verdi Gama, ia 5 tahun lebih tua dariku dan ia adalah seorang mahasiswa jurusan akuntansi di salah satu universitas swasta di Jakarta.
Ervi Rihana, adalah satu-satunya saudara perempuanku, ia 4 tahun lebih tua dariku. Kami berdua lahir di bulan yang sama, yaitu pada bulan Agustus yang hanya selisih 3 hari, sehingga kami berdua memiliki banyak persamaan, kecuali wajah. Untuk urusan kemiripan, aku jauh lebih mirip dengan mas Verdi ketimbang dengan mbak Hana, hingga salah satu teman dari mas Verdi mengatakan, "Lin, kamu kalau pakai bedak item, waaah kamu jadi Verdi!!!", yaa perbedaan kami berdua selain gender adalah warna kulit yang sangat kontras. Kulitku putih kemerahan sedangkan Mas Verdi memiliki warna kulit sawo matang yang cenderung gelap khas Indonesia. Yes, we are black and white.
Selain Mas Verdi dan Mbak Hana, aku masih mempunyai 2 orang adik laki-laki, yaitu Ewing Dito dan Wawan Surya. Dito, kami memanggilnya bukan dengan nama depan, dia 4 tahun lebih muda dariku. Ia sangat pendiam dan memiliki warna kulit yang sama dengan mas Verdi. Yang aku sukai dari Dito adalah matanya yang cantik dan bulu matanya panjang. Selain itu, kami berdua sangat bertolak belakang, baik secara kepribadian maupun karakter.
Adikku yang terakhir adalah Wawan Surya, ia diberi nama Surya karena lahir di Surabaya. Diantara kami berlima, Wawan yang paling berbeda, selain kulitnya yang sangat putih, wajahnya pun berbeda dari kami, kakak-kakaknya. Tetapi ia lebih mirip dengan adik sepupu kami yang seumuran dengan Ewing. Kata ibuku, sewaktu adik sepupuku masih batita, ibuku sangat gemas dengannya dan mengatakan ingin punya 1 anak yang seperti dirinya. Sepertinya keinginan ibuku diijabah oleh Allah, ketika Wawan lahir, ia pun sangat putih, mirip dengan adik sepupu kami.
Setelah aku divonis menderita bocor ginjal, kegiatanku sangat terbatas, aku berhenti mengikuti kegiatan olahraga dan PMR yang sangat kusukai. Tetapi mau bagaimana lagi, aku tetap harus menerima sakit yang kuderita dengan segala larangan dari kegiatan yang kusukai.
Dua bulan sudah aku menjalani perawatan dari dr. Tedi, tetapi belum menunjukkan perbaikannya, karena dari hasil pemeriksaan darah dan urineku, masih saja diangka yang tinggi. Hal ini membuat kedua orang tuaku mulai berkonsultasi dengan teman-temannya untuk mencari tahu akan dokter internis terbaik di Jakarta, yang dapat menangani kasusku.
Akhirnya aku dibawa oleh kedua orangtuaku untuk memeriksakan diri ke dr. Mukidjan, SPD, di sebuah rumah sakit swasta besar di kawasan Jatinegara. Sesampainya di ruang tunggu, kulihat ramai sekali pasien-pasien yang sedang menunggu.
Saat sedang menungg, aku melihat ke sekeliling ruangan poli. Beberapa pintu sebelum ruang praktek dr. Mukidjan, terdapat praktek dokter umum, yang merupakan tetangga di komplek rumahku, namanya dr. Lusi. Saat itu, aku baru tahu kalau ia berpraktek disana. Lalu aku berbalik, untuk kembali melihat nama-nama dokter yang berpraktek lainnya dan aku menemukan nama dr. Tedi, yang ternyata ruang praktiknya saling berhadapan dengan dr. Mukidjan. Aku pun memberitahu ibuku.
"Bu, dr. Tedi praktek disini juga, tuh lihat," ucapku sambil menunjukkan pintu poli yang tertera namanya.
Ibuku pun tak kalah terkejutnya, tetapi kemudian ia berkata, "Yaa nggak papa, kan ini hak pasien untuk ganti dokter. Kita kan mencari pengobatan dari dokter yang tepat."
Aku pun sepakat dengan pendapat ibuku. Tak lama kemudian, namaku pun dipanggil untuk masuk ke dalam poli.
Aku beserta kedua orang tuaku pun segera memasuki ruang poli dr. Mukidjan, tetapi aku tidak langsung diperiksa oleh beliau, melainkan aku diperiksa terlebih dahulu oleh perawat untuk pemeriksaan tekanan darah dan berat badanku.
Ruangan polinya ternyata disekat menjadi 2. Sebelum bertemu dokter, pasien akan diperiksa terlebih dahulu oleh perawat, setelah itu menunggu sesaat sebelum pasien yang sedang berkonsultasi selesai di periksa.
Aku menunggu kira-kira sekitar 15 menit, hingga pasien sebelumku keluar, lalu namaku kembali dipanggil oleh perawat.
Kami bertiga pun memasuki ruang pemeriksaan, aku sedikit terhibur dengan penampilan dr. Mukidjan yang tak kuduga. Beliau terlihat sudah cukup sepuh, mungkin berusia diatas 65 tahun. Yang membuatku terhibur adalah penampilannya seperti engkong-engkong dalam film kungfu. Rambutnya putih dan berkacamata kecil yang sedikit melorot dari pangkal hidung. Tetapi suara beliau tidak bergetar seperti suara orang-orang tua di dalam film.
Yaaa, ini adalah efek terlalu banyak menonton film kungfu Jackie Chan dan Willy Dozan sewaktu SD.
"Halina? Ada keluhan apa?" tanya dr. Mukidjan.
"Ini Dok, putri kami mengalami edema (pembengkakan pada kaki yang berisi cairan), lalu kami periksakan ke dr. Tedi. Hasil diagnosis beliau, Lina terkena penyakit bocor ginjal. Tetapi setelah 2 bulan pengobatan, kami tidak melihat adanya perbaikan, bahkan wajahnya semakin sembab terutama setelah bangun tidur," jelas ibuku sambil memperlihatkan lembaran-lembaran hasil laboratorium.
Dr. Mukidjan nampak serius membaca setiap lembar kertas laporan hasil laboratorium tersebut.
Sesaat kemudian, beliau pun bertanya, "Sudah diberikan obat apa saja?"
Ibuku pun memperlihatkan obat-obatan yang telah ku konsumsi.
Dr. Mukidjan memeriksa satu persatu obatnya dan menuliskan catatan pada statusku.
"Ada diet khusus yang diberikan sebelumnya?" tanya dr. Mukidjan.
"Tidak ada, Dok. Cuma dokter Tedi menyarankan untuk mengkonsumsi protein lebih banyak, karena proteinnya banyak yang keluar melalui urine," jawab ibuku.
Mendengar jawaban ibuku, dr. Mukidjan pun mengerutkan dahinya.
"Halina, saya periksa dulu ya," ucapnya sambil memintaku untuk naik ke bed periksa.
Seperti pada umumnya, pemeriksaan standar rutin pun dilakukannya. Lalu ia mulai beralih pada jari-jari tanganku, sama seperti yang dr. Tedi lakukan. Kemudian ia melanjutkan pada kedua kakiku yang masih bengkak. Ia menekan dengan ibu jarinya dan seperti yang lalu, tekanannya meninggalkan bekas cekungan pada kakiku.
Ia pun menyudahi pemeriksaan fisikku dan kembali ke kursinya.
"Diagnosis dr. Tedi, tidak salah. Hanya saja, terapi pengobatannya yang kurang tepat," ucapnya.
"Jadi seharusnya untuk pasien penderita bocor ginjal, itu tidak boleh mengkonsumsi garam dan harus diet rendah protein dan lemak. Mungkin ini penyebab tidak adanya perbaikan. Untuk obatnya tidak ada masalah, ini adalah obat yang memang diberikan untuk penderita bocor ginjal, hanya saja dosisnya yang kurang tepat. Untuk itu, obatnya tetap ini saja, tetapi dosisnya saya rubah," lanjutnya lagi sambil menuliskan terapi pengobatanku.
"Untuk asupan protein yang dapat dikonsumsi itu dada ayam, tanpa kulit dan hanya boleh direbus atau dikukus. Gorengan harus dijauhi selama pengobatan," tambahnya lagi.
"Kalau untuk tumis, masih bisa kan, Dok?" tanya ibuku.
"Tumis boleh, tapi jangan pakai minyak sawit, gantinya minyak biji bunga matahari atau minyak kedelai," jelas dr. Mukidjan.
"Kalau untuk margarin?" tanya ibuku lagi, karena aku sangat suka memakai margarin untuk olesan roti tawar.
"Margarin cari yang rendah lemak dan garam, itu pun sangat sedikit penggunaannya. Misalnya untuk olesan di roti tawar, boleh saja tetapi tipis-tipis saja," jelas dr. Mukidjan.
"Oiya, stop makan mie instan, snacks kemasan dan soda yaa, karena kandungan garam dan lemaknya cukup tinggi," lanjutnya lagi.
Setelah mendengarkan penjelasan dr. Mukidjan, aku pun hanya membayangkan hidup tanpa mie instan, mie ayam, batagor, siomay dan semua jajanan yang ada di sekolah. Good bye, my cemilan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments
Dewa Rana
Bahasanya bagus, alur ceritanya runtut. Tetap semangat ya Thor 👍
2023-04-19
0
leneva
yg dibatasi garam 😓
semua makan lgs hambar
2022-09-29
2
Cahyaning Fitri
sehat² ya Halina.🥰🥰
2022-09-29
1