Malam itu pun aku dipindahkan ke ruangan ICU, untuk mendapatkan perawatan intensif. Dokter dan perawat mencoba mengatasi muntah-muntahku yang tak berhenti dengan menyuntikkan obat pada selang infusku.
Sesaat kemudian muntahku pun berhenti, menyisakan sakit kepala dan perut yang seperti ditarik akibat tekanan ketika muntah. Tenggorokanku juga terasa pahit, badanku pun lemas.
Dr. Sandy akhirnya datang untuk memeriksa kondisiku, ia dengan seksama membaca status yang digantung di bagian kaki pada tempat tidur.
Hari yang sudah larut membuatku tidak kuat menahan kantuk dan lelahnya setelah muntah hebat itu, tetapi aku masih dapat mendengar sedikit percakapan antara dr. Sandy dan kedua orang tuaku.
"Kondisi Lina merupakan efek pasca operasi, selain pusing, ada vertigo yang menyebabkan Lina muntah-muntah, seperti yang sudah saya jelaskan sebelumnya. Sebetulnya ini adalah reaksi normal pasca operasi hydrocephalus, yang mencetuskan muntah ini," jelas dr. Sandy.
"Padahal tadi Lina, sudah bisa masuk makanan, kok tiba-tiba muntah nggak berhenti?" tanya ibu.
"Cairan di dalam otak Lina, diperkirakan telah menumpuk sekitar 7-8 tahun lamanya. Jadi bisa saja karena tumpukan cairan yang telah lama terakumulasi di dalam otaknya, yaa kalau bahasa kasarnya, cairan lama yang mampet dialirkan kembali dan dibuang melalui lambung, kira-kira rasanya bagaimana ? Yaa seperti itulah kondisi Lina, ada benda asing yang dimasukkan ke dalam tubuhnya pasti ada masa adaptasi. Kami akan memonitor keadaan Lina disini, saya juga sudah menghubungi dr. Lucas, beliau akan segera kesini setelah selesai praktek poli," jelas dr. Sandy.
Tak lama kemudian, aku pun tertidur, tetapi entah pukul berapa, aku terbangun karena mendengar suara dr. Lucas yang sedang memeriksa kondisiku.
Aku membuka mataku perlahan, kepala bagian belakangku mulai terasa sakit, sepertinya efek anestesinya sudah habis.
"Gimana? Masih mual?" tanya dr. Lucas.
"Sedikit, Dok," jawabku lirih.
Dr. Lucas memeriksa kondisi badanku seperti dokter yang lain. Lalu, Dr. Lucas mengambil senter kecil.
"Lin, kamu ikuti arah cahayanya, ya," ucap dr. Lucas lagi.
Aku pun mengikuti arah cahaya dari senter tersebut dengan mataku.
"Ya, bagus. Nggak papa, semua normal. Nanti kamu akan merasa sakit di bagian jahitan itu, kalau nggak kuat, panggil perawat biar ditambah dosis anti nyerinya," jelasnya.
"Iya, Dok, trima kasih," jawabku.
Dr. Lucas lalu kembali berbicara dengan ibuku, sedangkan aku tidak melihat ayahku, sepertinya ia sudah kembali pulang ke rumah.
Sesudah dr. Lucas meninggalkan ruangan ICU, ibu langsung menghampiriku.
"Bu, bakalan berapa lama aku di ICU?" tanyaku.
"Sampai kondisi kamu benar-benar stabil, mungkin 3-4 hari. Kalau di ICU, dokter dan perawat bisa ngontrol dan mengawasi lebih cepat, jadi kalau ada apa-apa, kamu akan lebih cepat ditangani," jelas ibu.
Hari itu, tidak ada keluhan berarti, hanya sedikit mual dan nyeri pada kepala dan perutku.
Sore harinya, aku mendapatkan kunjungan dari 2 orang sahabat-sahabat SMAku.
"Ya Allah Lin, Lo berhasil bikin kaget kita semua! Wah, keren operasinya nggak cemen, langsung kepala!" ucap Sarah.
"Keren, yaa. Gue langsung ngalahin yang pernah operasi usus buntu," jawabku.
"Emang keren! Eh, ntar ini berapa?" tanya Sarah sambil menunjukkan 3 jari tangannya ke arahku.
"Sar, gue baru operasi kepala, bukan mata," jawabku.
"Alhamdulillah, Lina masih normal," balas Sarah.
"Eh, kapan Lu balik ke kamar biasa?" tanya Ayu.
"Nggak tahu, tergantung perkembangan kondisi gue, katanya sih gitu."
"Biar cepet ngembang, gimana kalau kita kasih ragi aja," ucap Sarah yang membuat Ayu menahan tawanya.
"Terserah Elu aje, dah," jawabku malas.
Sarah lalu berbisik padaku, "Lin, sebelah Lo kok rame amat ya?"
"Nggak tahu, yang penting kalian jangan ikutan rame," ucapku.
Setelah Sarah dan Ayu pulang, kulihat keluarga dari pasien di sampingku itu tampak bergantian masuk. Hingga akhirnya sampai sekitar 5-6 orang, mereka semua berdiri mengelilingi tempat tidur di sampingku.
Sepertinya mereka sedang berdo'a, karena aku mendengar kata-kata pujian dan permohonan kepada Tuhannya.
Hari semakin malam, ternyata mereka semakin ramai berkumpul, kali ini aku rasa mereka memanggil pendetanya, untuk mendoakan pasien.
Aku tidak bisa tidur sama sekali, karena mereka menggelar do'a yang dipimpin oleh Pendeta dengan puji-pujian berupa nyanyian di samping tempat tidurku yang harus kudengarkan. Hal ini membuatku bertanya, memangnya diperbolehkan berkumpul sambil bernyanyi di ICU. Kepalaku pun semakin sakit, lalu aku mengeluhkannya pada mbak Hana yang menjagaku.
"Aku panggil perawat, ya," jawab mbak Hana.
Perawat yang bertugas pun segera menghampiriku.
"Ada apa?" tanyanya.
"Mbak, aku ngantuk banget, tapi nggak bisa tidur," keluhku.
"Oh, iya. Itu neneknya lagi kritis, makanya mereka ngadain Misa disini. Sebentar yaa, aku tanyain ke dr. Ari, yaa," jawabnya yang mengetahui maksudku.
Tak lama kemudian, perawat tadi menghampiriku kembali bersama dr. Ari.
"Saya sudah tanyakan ke dr. Sandy, katanya malam ini kamu boleh minum obat tidur, biar kamu bisa istirahat," ucap dr. Ari, dokter jaga ICU.
Lalu perawat membantuku untuk meminum obatnya, tak lama setelah itu aku pun tertidur.
Lewat tengah malam, aku terbangun karena suara yang cukup ramai dari keluarga pasien sebelahku, tetapi tak lama kemudian aku kembali tertidur hingga sayup-sayup terdengar adzan Shubuh, tetapi aku pun tertidur kembali hingga matahari mulai menampakkan cahayanya di jendela.
Alhamdulillah, semalam aku tidur cukup nyenyak. Suasana ruang ICU pagi ini sangat tenang, tidak seperti semalam, yang ramai dengan penjenguk dan suara ventilator, bahkan pagi ini sudah tidak terdengar sama sekali suara-suara dari bed di sebelahku. Aku pun melihat tempat tidurnya telah kosong dan rapi.
"Mbak, pasien yang disebelah kemana? Kok sepi?" tanyaku kepada perawat yang sedang memeriksa cairan infusku.
"Tadi setelah shubuh, neneknya sudah meninggal," jawabnya.
"Oh pantas saja, kemarin mereka semua berkumpul dan berdo'a bersama," gumamku.
Hari itu di ICU pun kembali tenang dan membuatku dapat memulihkan kondisiku dengan nyaman.
Tetapi, aku kembali terganggu oleh suara radio di sore harinya. Entah siapa yang memutar radio di ruang ICU, "Memangnya boleh ya?" dalam hatiku bertanya.
Suara musik dari radio membuat kepalaku sakit kembali, aku merasakan bekas jahitan operasinya berdenyut, sehingga membuatku menahan sakit dengan memejamkan mata dan beristighfar.
Tak terasa aku kembali tertidur, hingga kudengar sayup-sayup suara dr. Sandy memarahi para perawat yang memutar radio. Beliau memarahi dengan suara yang perlahan, tetapi intonasinya sangat jelas dan tegas.
"Kamu ini kerja pakai otak atau tidak?! Ini ruang ICU! Pasien yang berada disini adalah pasien yang membutuhkan perhatian khusus, mereka harus dalam keadaan tenang! Kamu tahu, pasien saya baru selesai operasi kepala, mendengar suara musik atau suara yang keras akan membuatnya terganggu dan sakit. Saya akan laporkan tindakan kalian pada kepala ICU dan manajemen," ucapnya penuh emosi.
Setelah itu, dr. Sandy menghampiriku lalu meminta maaf.
"Lina, maafkan perawat itu, mereka nggak ngerti tanggung jawab. Maaf ya," ucap dr. Sandy.
"Begini, kondisi kamu sudah stabil, tidak ada mual dan muntah lagi. Saya sudah baca statusnya, kamu juga sudah bisa makan dengan baik. Untuk itu, kamu sudah bisa kembali ke ruang perawatan biasa, ya. Secepatnya kamu akan dipindahkan kembali," ucap dr. Sandy yang membuatku lega.
Malam itu, aku pun kembali ke ruang perawatan VIP yang jauh lebih nyaman ketimbang dengan ICU.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 60 Episodes
Comments